JAKARTA, WWW.PASJABAR.COM — Aliansi Mahasiswa Doktor Indonesia (AMDI) mengadakan unjuk rasa di depan Istana negara di Jalan Veteran, no. 17, Jakarta Pusat, dan Ristek dikti yang berlokasi di Gedung II BPP Teknologi, Jalan M. H. Thamrin No. 8, Jakarta Pusat pada Selasa (17/9/2019).
Ketua Umum AMDI 2018, Muharam Yamlean mengungkapkan bahwa unjuk rasa ini bertujuan untuk meminta pemerintah agar segera membuat Surat Penetapan untuk tambahan penerima Bantuan Satu Semester bagi mahasiswa doktor angkatan 2018 dan membuka beasiswa on-going untuk mahasiswa doktor angkatan 2018.
“Adapun latar belakang demo ini adalah mengingat bahwa pembangunan SDM adalah prioritas utama pemerintahan presiden Jokowi pada periode kedua. Dalam pidato penyampaian Visi pemerintahan keduanya dalam acara bertajuk Visi Indonesia di Sentul Bogor pada 17 Juli 2019, Presiden memastikan bahwa kualitas pendidikan akan ditingkatkan dengan salah satunya memastikan pemerintah akan hadir dan memfasilitasi serta membantu pendidikan dan pengembangan diri bagi talenta SDM Indonesia,” terangnya.
Peran Perguruan Tinggi dalam menjawab tantangan Indonesia, menyiapkan SDM unggul sangat vital. Perguruan tinggi merupakan salah satu garda terdepan dalam memimpin arah gerak Indonesia dengan inovasi dan riset, serta meyiapkan arus besar anak muda dalam bonus demografi Indonesia siap menjawab tantangan yang ada lewat pendidikan di Perguruan Tinggi yang berkualitas.
“Peningkatan kualitas PT haruslah dimulai dengan meningkatkan kualitas dan kualifikasi dosen yang menjadi elemen kunci proses pendidikan di Perguruan Tinggi. Dosen di Indonesia, sebahagia besar masih berpendidikan S2,” jelasnya.
Berdasarkan data yang dikeluarkan forlap Dikti (2017), jumlah dosen di Indonesia berkualifikasi S3 baru berjumlah 21.872 atau hanya 11,9% dari jumlah dosen di Indonesia yang berjumlah 183.335. Angka ini masih sangat jauh, apalagi jika dibandingkan dengan jumlah doktor per satuan penduduk. Indonesia, memiliki 143 doktor per satu juta penduduk.
Tertinggal jauh dari negeri tetangga Malaysia dengan jumlah doktor 503 per satu juta penduduk. Apalagi dengan negara maju yang rata-rata sudah memiliki ribuan doktor per satu juta penduduk. Pentingnya pendidikan doktoral terutama bagi dosen terutama tercermin dalam penyataan Mentri ristekdikti, yang mengatakan bahwa dosen di Indonesia harus minimal berkualifikasi S3.
Kemenristek dalam kesempatan berbicara di Universitas Riau pada 23 Juli 2016 mengatakan bahwa kekhawatiran dosen akan biaya pendidikan doktor tidak perlu disiaukan lagi. Dosen yang ingin sekolah lanjut tinggal menyiapkan diri sebaik mungkin, biaya pendidikan doktor akan difasilitasi oleh negara.
“Kenyataan berkata lain. Ribuan dosen yang telah mendaftar pendidikan Doktor di berbagai Universitas terbaik di Indonesia harus menelan pil pahit bahwa pada tahun 2018, Kementrian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang membawahi dosen di Indonesia tidak membuka beasiswa bagi pendidikan doktor. Alternatif pembiayaan yang disediakan LPDP lewat Beasiswa Unggulan Dosen Indonesia (BUDI) juga sangat sulit bahkan hampir mustahil diakses,” paparnya.
Muharam melanjutkan bahwa jeda pembukaan masa pendaftaran yang mendekati Libur Besar dan Cuti Bersama Idul Fitri dan Syarat lainnya membuat BUDI sepi pelamar. Tercatat dari Dir SDM Dikti tahun 2017 penerima beasiswa doktor tahun 2018 hanya berjumlah 78 orang, jauh dari target pemerintah mencetak 14.000 doktor baru pada tahun 2019.
“Tidak adanya fasilitas beasiswa yang disediakan negara, membuat ribuan dosen yang sekarang sedang menempuh pendidikan doktor angkatan 2018 terancam. Ketiadaan beasiswa ini membuat dosen yang sekarang sedang pendidikan doktor kehilangan fokus,” keluhnya.
Alih-alih berfokus pada riset, inovasi dan novelty yang akan dihasilkan, mahasiswa doktor diharuskan memikirkan masalah pendanaan pendidikan. Ketiadaan beasiswa juga membuat ancaman putus pendidikan akibat kehabisan dana menjadi semakin besar. Tidak hanyak pukulan bagi mashasiswa yang bersangkutan, putus pendidikan doktor juga akan membuat peringkat PT penyelenggara program doktor akan semakin sulit bersaing secara global.
“Efek jangka panjang, masalah-masalah tentang beasiswa dan pendanaan pendidikan doktor ini akan membuat dosen semakin tidak berminat untuk melanjutkan pendidikan,” terangnya lagi.
Perjuangan mahasiswa doktor angkatan 2018 menuntut negara hadir dalam memfasilitasi pendidikan mahasiswa doktor telah dilakukan sejak september 2018. Berbagai audiensi, rapat, percakapan pribadi, aksi massa kepada pihak kemenristek, DPR, KSP, Kemenkeu, dan banyak lagi sedikit menemui titik terang dengan dikeluarkannya Surat Penetapan Kementrian Riset, teknologi dan Pendidikan Tinggi, Direktorat Jenderal Sumber Daya Ilmu Pengetahuan, Teknologi dan pendidikan Tinggi nomor B/2620/D3.2/KD.02.00/2019 tentang Persetujuan Penetapan Dosen Penerima Bantuan Dana Beasiswa Satu Semester bagi Mahasiswa Program Doktor (S3) dalam Negeri Angkatan 2018 Tahun Anggaran 2019.
SK yang dikeluarkan cukup menjadi penambah darah bagi mahasiswa pada semester 3 yang sedang berjalan ini. Namun, kuota penerima yang hanya 300 orang membuat masih banyak mahasiswa doktor angkatan 2018, anggota AMDI tidak mendapat bantuan tersebut.
“Aksi unjuk rasa merupakan salah satu media penyampaian pendapat. Aksi massa merupakan titik terakhir ketika jalan dialog menemui jalan buntu dan berliku. Proses penambahan kuota yang telah disetujui Dirjen Pendidikan Tinggi, Prof Ali Gufron, rupanya tidak membuat proses penambahan kuota berjalan mulus. Proses yang harusnya sederhana, menjadi berbelit-belit dan memakan waktu lama dalam pemprosesannya,” jelasnya.
“Sehubungan dengan hal tersebut diatas, kami dosen-dosen dari Seluruh Indonesia yang sedang menempuh pendidikan Doktor angkatan 2018 berhimpun dalam Aliansi Mahasiswa Doktor Seluruh Indonesia menuntut Segera buat Surat Penetapan untuk tambahan penerima Bantuan Satu Semester bagi mahasiswa doktor angkatan 2018 dan membuka beasiswa on-going untuk mahasiswa doktor angkatan 2018,” paparnya
Mewujudkan dua point tuntutan diatas bukan hanya memastikan bahwa trek pembangunan perguruan tinggi di Indonesia sudah dalam jalur yang benar, tapi juga memastikan bahwa arahan Presiden dalam mewujudkan SDM Unggul telah dipahami dan dilaksakan betul oleh para pembantunya dan bukan retorika pemilu setiap 5 tahunan. (Tan)