BANDUNG, PASJABAR.COM — Aliansi Cagar Alam Jawa Barat mengadakan konferensi Pers Penolakan SK 25/MENLHK/SETJEN/PLA2/1/2018/Penurunan Status Cagar Alam Kamojang dan Papandayan Menjadi Taman Wisata Alam pada Rabu (23/1/2019) di Kafe Kaka Jalan Tirtayasa No 49 Bandung.
Turut hadir dalam kegiatan ini Volunteer Sadar Kawasan, Pepep Koordinator Aliansi Cagar Alam Jawa Barat, Yogi Kidung Saujana kemudian Forum Kader Konservasi Indonesia, Dedi juga perwakilan Kabupaten Bandung Yudi serta dari Fro Fauna Herlina.
Koordinator Aliansi Cagar Alam Jawa Barat, Yogi Kidung Saujana mengungkapkan, bahwa Jawa Barat merupakan wilayah di mana bencana alam seperti banjir, longsor, dan kekeringan memiliki relasi kuat dengan kerusakan alam dan pelanggaran yang terjadi di setiap level kawasan.
Tak terkecuali kabupaten Bandung dan Garut di dalamnya, di mana setiap bencana yang berhubungan erat dengan kerusakan lingkungan, erat pula kaitannya dengan pelanggaran-pelanggaran di setiap level kawasan kehutanan.
“Kerusakan dan pelanggaran terhadap lingkungan di Jawa Barat, khususnya Bandung dan Garut terjadi di setiap wilayah kehutanan, dari kawasan lindung hingga kawasan konservasi, bahkan di dalam kawasan dengan level Cagar Alam. Padahal, Cagar Alam secara ekologis maupun fungsi kawasan formal adalah satu-satunya level kawasan yang sama sekali tidak memberikan toleransi terhadap pemanfaatan langsung, sehingga kegiatan serupa rekreasi/wisata pun tidak diperbolehkan di dalam kawasan Cagar Alam,” paparnya.
Cagar Alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi, memiliki fungsi ekologi yang kompleks, khususnya sebagai laboratorium alam yang menjadi habitat bagi hidupnya berbagai flora dan fauna, sehingga sebagai kawasan ekologi khusus, Cagar Alam fungsi utamanya berperan sebagai sebagai sistem penyangga kehidupan, di mana urgensinya melampaui pemanfaatan langsung untuk kepentingan ekonomi.
“Dengan kata lain, Cagar Alam adalah satu-satunya harapan dan benteng terakhir kelestarian alam secara ekologis, sebab ketika kawasan lain di luar Cagar Alam seperti produksi dan lindung memberikan toleransi pemanfaatan langsung, hanya Cagar Alam-lah yang secara formal dan fungsional menutup kemungkinan itu,” lanjutnya.
Namun, fakta di lapangan menunjukkan kondisi sebaliknya, di mana intervensi terhadap kawasan Cagar Alam terjadi sejak lama, dan terkesan dibiarkan. Salah satu kenyataan tersebut bisa dengan mudah ditemui di kawasan Cagar Alam Kamojang tepatnya di hutan dan danau Ciharus, di mana intervensi manusia dengan latar belakang pelanggaran ekonomi hingga rekreasi dibiarkan selama bertahun-tahun.
“Bahkan, pelanggaran tersebut secara ekologis telah menciptakan dampak lingkungan yang mengubah keutuhan, dan bahkan menciptakan kerusakan.
Terjadinya pelanggaran dan kerusakan di kawasan Cagar Alam Kamojang mendorong masyarakat sekitar dan forum komunitas dari berbagai daerah melakukan gerakan “save ciharus”, “save cagar alam” dan “sadar kawasan” di mana sejak tahun 2012 hingga saat ini terus melakukan upaya perbaikan, pencegahan pelanggaran, dan kerusakan dengan melakukan sosialisasi terhadap pengunjung; penyadartahuan; hingga restorasi di sekitar kawasan Cagar Alam yang terdampak,” terangnya.
Alih-alih mendukung masyarakat dalam upaya penyelamatan kawasan Cagar Alam, awal tahun 2019 masyarakat yang tergabung dalam gerakan penyelamatan kawasan Cagar Alam Kamojang dikejutkan dengan keluarnya SK 25 KLHK tahun 2018 yang mengubah dan menurunkan lebih dari 4000 Ha luasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan dari fungsi Cagar Alam menjadi Taman Wisata Alam.
Celakanya lagi, dari dokumen kronologi penerbitan SK, disebutkan motivasi perubahan fungsi luasan tersebut diterbitkan untuk melegalkan eksplorasi tambang panas bumi di kawasan Cagar Alam Kamojang dan Papandayan. Artinya, dengan diturunkannya fungsi dan status kawasan ini, dengan sendirinya akan melegalkan intervensi, bukan hanya dalam bentuk rekreasi seperti motor trail dan wisata yang selama ini telah diadang oleh masyarakat yang tengah melakukan kampanye, melainkan dengan diturunkannya fungsi dan status kawasan, setiap praktek tambang panas bumi yang melibatkan alat-alat berat kemudian legal memasuki kawasan Cagar Alam.
“Penurunan status kawasan ini tentu tidak bisa diterima, baik secara ekologis dengan mempertimbangkan fungsi kawasan, secara formal peraturan kawasan Cagar Alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi, secara sosial yang melibatkan keterlibatan masyarakat yang telah melakukan upaya berbaikan.
Selain dasar penolakan di atas, hal lain yang tidak kalah penting adalah penurunan fungsi dan status kawasan ini akan menjadi preseden buruk, baik bagi upaya konservasi yang dilakukan secara swadaya oleh masyarakat, maupun preseden buruk bagi kawasan lain di bawah level Cagar Alam dan di bawah level kawasan konservasi,” ulas Yogi
Sebab, fungsi kawasan setingkat Cagar Alam pun ternyata tunduk demi kepentingan di luar ekologi, apalagi kawasan lain yang secara formal tidak dilindungi sebagaimana ketatnya kawasan Cagar Alam.
“Dengan ini, atas nama Aliansi Cagar Alam Jawa Barat, kami menyampaikan sikap menolak dan manuntut dicabutnya SK 25 KLHK 2018 menuntut dilakukan investigasi terhadap kemungkinan pelanggaran di dalam kawasan Cagar Alam sebelum terbit SK
menuntut ditegakkannya supremasi cagar alam sebagai level tertinggi kawasan konservasi menuntut dipastikannya kelestarian Cagar Alam di Jawa Barat dan Indonesia pada umumnya, baik dari ancaman penurunan status kawasan, maupun intervensi-intervensi lainnya yang diakibatkan tidak beroperasinya supremasi hukum Cagar Alam,” pungkasnya hari itu. (Tan)