Panik. Begitulah respon sebagian besar masyarakat, sesaat setelah Presiden Joko Widodo mengumumkan dua warga Indonesia positif terpapar virus Corona pada 2 Maret 2020. Masyarakat memburu masker, pencuci tangan steril, memborong sembako, dan menerima begitu saja informasi terkait virus Corona dari media sosial, tanpa diverifikasi lagi. Terjadi gesekan sensitivitas yang negatif, saat orang menolak jabat tangan karena menghindari penularan.
Kejadian rasa takut intens tiba-tiba yang memicu reaksi fisik yang disebabkan oleh peristiwa tertentu atau panik sebenarnya sesuatu yang wajar dan normal dalam perspektif komunikasi kesehatan (LittleJohn, Foss, Oetzel, 2017) kepanikan muncul karena ada ketidakpastian dan keraguan tentang apa yang sebenarnya terjadi. Sejak virus Corona terdeteksi awal Januari 2020 di Wuhan, China, pemerintah menyatakan Indonesia aman-aman saja. Tidak ada aksi atau regulasi yang spesifik sebagai langkah antisipasi penyebaran Corona. Akhirnya, keyakinan pemerintah itu menjadi bumerang saat Corona benar-benar ada di Indonesia. Yang dilupakan berbagai pihak, situasi tentang penyebaran virus dapat berubah dengan cepat, mendadak dan seketika.
Persoalannya sebagian masyarakat tampaknya belum mengetahui perencanaan penanganan darurat menghadapi virus Corona dan bagaimana manajemen krisis penanggulangan penyebaran virus yang akan dilakukan pemerintah. Meski sebenarnya Pemerintah Juni 2019 telah mengeluarkan Inpres Nomor 4/2019 tentang Peningkatan Kemampuan Dalam Mencegah, Mendeteksi, dan Merespons Wabah Penyakit, Pandemi Global, dan Kedaruratan Nuklir, Biologi dan Kimia, tapi realiatasnya belum tersosialisasi secara massif.
Dalam peristiwa ini pesan-pesan kesehatan yang seharusnya disampaikan oleh pemerintah diungkapkan secara terang benderang, jujur, terbuka artinya dari kasus pandemi virus corona pada gilirannya akan berdampak pada merosotnya derajat kesehatan, melemahnya ekonomi, dan turunnya modal sosial yang akan dihadapi masyarakat, belum disampaikan secara terbuka, setidaknya hingga awal Maret 2020. Komunikasi publik yang dilakukan pun, ada yang melanggar konvensi tentang wajib melindungi identitas pasien, keluarga, termasuk pelarangan menyebutkan nama rumah sakit tempat pasien dirawat. Belakangan baru pemerintah mengeluarkan protokol penanggulangan virus Corona. Termasuk protokol komunikasi yang mengatur kepala daerah untuk menghindari pemakaian kata-kata genting atau krisis agar masyarakat tidak panik.
Beberapa negara seperti Italia, Filipina telah menerapkan kebijakan Lockdown yang artinya satu situasi yang melarang warga untuk masuk ke suatu tempat karena kondisi darurat. Lockdown juga bisa berarti negara yang menutup perbatasannya, agar tidak ada orang yang masuk atau keluar dari negaranya. Hal itu dilakukan guna mengurangi penyebaran kasus virus corona atau covid-19 di negara mereka untuk mencegah penyebaran virus corona yang lebih luas.
Beberapa pemerintah di daerah di Indonesia melakukan semacam parsial lockdown antara lain meliburkankan sekolah selama 14 hari dan melarang kegiatan pertemuan yang lebih dari 10 orang. Termasuk acara wisuda pun ditunda sampai waktu yang tidak ditentukan. Kebijakan ini jauh lebih baik untuk mengontrol, memonitoring dan evaluasi dampak penyebaran ini.
Yang mengkhawatirkan dari data WHO ternyata Indonesia menduduki rangking 2 angka kematian akibat virus corona setelah Italia. Memang Pemerintah sedang diuji kecakapan dalam mengelola manajemen krisis bencana virus ini, Singapura banyak yang terinveksi tapi tidak ada korban jiwa, karena negara ini tanggap dan sigap.
Ini tentu situasi yang tidak menguntungkan artinya jika terus terjadi yang muncul kemudian adalah suasana negeri ini menjadi from bad to loose tentu sesuatu yang tidak kita harapkan oleh sebab itu terbentang tugas pemerintah agar terus meningkatkan kapabilitasnya guna memiliki kecepatan dan kepekaan dalam merespon dan memberikan informasi yang benar,tepat dan akurat kepada publik. selain mampu meningkatkan kapabilitas pengelola komunikasi publik serta terus meningkatkan efektifitas komunikasi publik.
pengelolaan manajemen krisis terkait isu Virus Corona yang dilakukan oleh pemerintah dengan leading sector Kemenkes. Mulai dari perkembangan berita di berbagai media massa sampai berita hoaks yang muncul dan cara penanganan isu tersebut. Dimulai dari mempelajari analisis situasi, penyebarannya, menemukenali objek yang primer yaitu masyarakat yang baru berpergian. Kemudian yang sekunder yaitu WNI dan petugas yang terlibat, lalu yang tersier, lintas program yaitu beberapa kementerian dan lembaga yang digandeng supaya informasi keluar dari sumbernya yang harus selalu well informed, dan konektif terhadap perkembangan isu, membangun jaringan yang baik dengan media dan menggunakan media komunikasi secara responsive dan dinamis termasuk menangani isu di tengah pesatnya media-media dalam menyampaikan informasi. “menjelaskan bahwa penanganan krisis secara efektif memiliki syarat 3 in 1. Persyaratan penanganan krisis itu ada 3, 3 in 1. Pertama adalah strong leadership, kepemimpinan itu harus kuat, kalau tidak akan lemah sekali komunikasinya. Kemudian The right governance structure, maksudnya panduan komunikasinya, tata caranya harus ada. Begitu krisis terjadi harus ada panduan dan dari hari ke hari itu diperbarui dengan perkembangan krisis itu. Kemudian, yang ketiga adalah competent team, tim yang kompetensinya cukup untuk menangani krisis. Kalau salah satu tidak ada, penanganan krisis akan lemah.
Namun dari semua itu yang paling penting menurut Mathew W Seeger dalam Best Practice in Crisis Communications : An Expert Panel Process (2016)) adalah pentingnya manajemen komunikasi krisis dimana manajemen ini merupakan salah satu langkah yang harus ditempuh bila muncul wabah penyakit menular baik lokal maupun global. Ada empat tahap yang dilakukan. Pertama pencegahan dengan menangani lokasi pertama kali terjadi penyebaran virus. Kedua melakukan persiapan manajemen krisis dengan melibatkan dan berkoordinasi berbagai pihak. Ketiga, membuat rujukan dan pola tindakan yang seharusnya dilakukan bila masyarakat terpapar virus seperti ke rumah sakit mana bila ada pasien ingin berobat. Keempat, belajar dari krisis sebelumnya, pemerintah harus membuat sistem untuk menangkal agar penyebaran virus tidak terulang lagi.
Selanjutnya, Seeger menawarkan perlu membuat model penanggulangan bencana kesehatan. Pertama, komunikator harus memiliki peran penting dalam pengambilan keputusan dan memahami bagaimana komunikasi memainkan peran pada semua tahapan proses. Selanjutnya membuat blue print untuk menginformasikan risiko penyakit yang akan dihadapi masyarakat serta rencana darurat yang akan dilakukan. Pada tahap ini, tidak lupa pula melibatkan dialog dengan publik dan berkoordinasi dengan sumber atau lembaga yang kredibel dan bereputasi. Pesan-pesan kesehatan terkait risiko yang akan dihadapi harus dikomunikasikan secara jujur dan terbuka. Serta memahami posisi masyarakat, yang merupakan korban dari penyebaran penyakit.
Media harus diberikan akses untuk mendapatkan informasi terbaru. Mengingat pentingnya pesan tersebut, juru bicara yang ditunjuk harus mengetahui bagaimana berkomunikasi secara efektif dengan berbagai sumber media. Dalam hal ini, pemerintah menunjuk juru bicara penangangan wabah virus Corona pada selasa 3 Maret, atau satu hari setelah pemerintah mengumumkan adanya pasien positif Corona di Indonesia.Tentu saja, tugas lain juru bicara menyampaikan empati dan perhatian kepada masyarakat yang terpapar virus, sekaligus menggambarkan kepedulian.
Terakhir, pesan fokus agar masyarakat dapat melakukan penanganan kesehatan secara mandiri untuk keluar dari tertularnya virus. Maka lembaga resmi harus memberikan instruksi yang jelas tentang apa yang harus dilakukan individu, keluarga, dan komunitas yang lebih besar. Sehingga manajemen komunikasi krisis fokus pada wacana pembaruan penanggulangan penyakit.
Harus diakui, pemerintah dan pemangku kepentingan, sejak awal sudah melakukan berbagai upaya penanggulangan penyebaran virus Corona. Namun kepanikan masyarakat tempo hari, menjadi gambaran bahwa rujukan penanggulangan darurat Corona, belum sepenuhnya dipahami masyarakat. Semoga, kepanikan-kepanikan berikut tidak terulang kembali.
Secara derivative Pemerintah pusat hendaknya menunjuk komando dan SOP nya untuk penanggulangan masalah ini. Siapa top leadernya yang bisa menjadi rujukan termasuk pusat informasi terpadu. Seperti menunjuk tim leader satgas penanggulangan virus corona dan menunjuk penanngung jawab dari aksi ini yang dilengkapi dengan fasilitas dan tim yang memadai, sehingga tindakan bisa teratasi segera hal lain yaitu. mengadakan call center sebagai pusat informasi dan mengaduan masyarakat jika dilapangan ditemukan hal-hal yang emergensi.yang tidak kalah penting melakukan edukasi yang masih dan persuasif kepada masyarakat untuk menekan kepanikan publik. Hal ini bisa dilakukan melalui jalur pemerintahan dari mulai Pemda sampai yang terkecil seperti RT atau RW. Karena tidak menutup kemungkinan berita hoax dari media daring sangat masif. Dan terakhir adalah melakukan pemetaan dan informasi tentang peta kerawanan virus corona yang bisa menjadi pijakan dalam bertindak dengan demikian Insya Allah kita akan segera keluar dari krisis yang sangat menguras energi bangsa ini. Semoga. (*)