BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Anggota Komisi I DPR RI Muhammad Farhan menyentil keberadaan lima juru bicara (jubir) pemerintah yang ditugaskan berbicara seputar vaksinasi COVID-19.
Seperti diketahui, kelima jubir itu adalah Wiku Adisasmito, Reisa Broto Asmoro, Lucia Rizka Andalusia, Siti Nadia Tarmizi, dan Bambang Heriyanto. Mereka berasal dari berbagai instansi yang bertugas menjadi jubir yang berhubungan dengan tupoksi instansi masing-masing.
Namun, sejak diumumkan pekan lalu, keberadaan jubir ini dinilai tidak terasa gaungnya. Kehadiran mereka pun dirasa tak efektif.
“Saya tidak mengerti, mengapa lima jubir pemerintah yang ditunjuk untuk menjelaskan tentang vaksin ini seperti tidak terdengar di mana pun,” kata Farhan, Senin (14/12/2020).
Ia menyoroti beberapa hal yang saat ini menjadi polemik di masyarakat seputar vaksin. Padahal, kehadiran kelima jubir itu harusnya menjadi penenang dan penyampai informasi yang benar. Sehingga, masyarakat belum betul-betul paham apa itu vaksin.
“Narasi komunikasi publik yang dibangun oleh pemerintah (melalui jubir) tidak jelas. Vaksin ini harus dipersepsikan sebagai apa? Solusi semua permasalahan akibat pandemi? Atau salah satu dari sekian banyak solusi?” cetusnya.
Dampaknya, pandangan seputar vaksin ini menjadi polemik liar di masyarakat. Sebab, mereka tak mendapatkan informasi utuh yang harusnya jadi tugas jubir.
“Akibatnya sekarang masyarakat berspekulasi macam-macam soal vaksin COVID-19 ini. Mulai dari risiko dan manfaatnya, sampai ke pertanyaan siapa yang dapat gratis, siapa yang wajib, siapa yang harus bayar,” jelas Farhan.
Bahkan, saat ini menurutnya ada petisi dari masyarakat ke DPR yang meminta vaksin COVID-19 digratiskan. Itu sebagai respon dari pernyataan Menkes Terawan Agus Putranto bahwa ada 25 juta dosis vaksin gratis dan 75 juta masyarakat dapat membelinya.
“Bahkan Menkes juga tidak clear, siapa yang wajib dan siapa yang bisa beli. Jadi, bisa disimpulkan sampai sekarang masalah vaksin ini masih sangat belum jelas untuk masyarakat,” tegas Farhan.
Selain optimalisasi para jubir, ia berharap berbagai hal seputar vaksinasi dijalankan dengan baik. Salah satunya proses distribusi. Ia juga berharap vaksin diberikan secara merata kepada masyarakat Indonesia. Namun, ia menegaskan perlu transparansi di dalamnya.
“Kita semua diberi vaksin dengan prinsip keadilan. Keadilan bisa tercapai jika ada transparansi. Maka diharapkan pemerintah bisa memberikan transparansi program vaksinasi nasional ini,” tuturnya.
Sementara soal gaya komunikasi pemerintah seputar vaksin, ia mengapresiasi adanya slogan ‘Tak Kenal Maka Tak Kebal’. Hal itu diharapkan membuat masyarakat tertarik untuk mengetahui seputar vaksin. Tapi, komunikasi berupa slogan saja tidak cukup. Karena itu, tugas jubir harus lebih dimaksimalkan.
“Saat ini kita perhatikan ada komunikasi (slogan) ‘tak kenal maka tak kenal’. Ini layak diapresiasi sebagai usaha untuk membuat kita mengerti apa itu vaksin COVID-19. Sayangnya, tidak terlihat usaha lain. Sehingga, lima jubir vaksin COVID-10 suaranya nyaris tak terdengar,” paparnya.
“Tampaknya ada kegagalan koordinasi di antara lembaga negara dengan BUMN yang menangani COVID-19. Tercermin dari optimisme yang tiba-tiba membeludak karena kedatangan 1,2 juta dosis vaksin Sinovac. Padahal BPOM tegas tidak akan mengeluarkan izin pemakaian darurat dalam waktu dekat,” tandas Farhan. (ors)