BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Saat ini hoaks masih banyak menyebar di media sosial. Tentunya hal ini perlu diwaspadai selain menjerat pelaku hoaks, kesadaran literasi masyarakat pun harus terus ditingkatkan agar ke depan hoaks bisa berkurang.
Dosen Program Studi Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran S. Kunto Adi Wibowo, M.Comm., PhD, membeberkan beberapa motif mengapa hoaks masih banyak beredar di Indonesia.
“Motifnya banyak, tetapi yang bisa cepat diidentifikasi adalah ekonomi,” ungkap Kunto seperti yang dilansir dari unpad.ac.id pada Sabtu (23/1/2021).
Pada motif ekonomi, produsen hoaks sangat mungkin mendapat keuntungan ekonomi. Baik dari jumlah hits suatu laman hinga monetisasi iklan yang dipasang pada informasi hoaks tersebut.
Atau ada pula keuntungan ekonomi dalam arti lain, seperti berhasil memengaruhi pembaca untuk mengonsumsi atau tidak mengonsumsi produk tertentu yang ujungnya menguntungkan produsen hoaks.
Motif selanjutnya, kata Kunto, adalah motif politik. Motif ini lebih pada bagaimana membangun kekuatan politik dari hoaks yang disebarkan. Ini disebabkan, politik sangat bergantung pada opini publik.
“Ketika opini publik bergeser tentu saja akan ada kekuatan politik yang diuntungkan dan dirugikan,” tuturnya.
Motif ketiga adalah memainkan sisi psikologis pembaca. Pandemi dan peristiwa bencana yang terjadi akhir-akhir ini melahirkan situasi yang tidak menentu dan memiliki kepastian yang rendah. Situasi ini yang memicu sejumlah orang untuk mengaitkannya dengan sesuatu.
Misalnya, banyak hoaks seputar Covid-19 merupakan konspirasi, sehingga orang tidak perlu takut akan pandemi tersebut.
“Ini sangat bahaya. Tenang yang berlebihan saat krisis itu bahaya,” kata Kunto.
Selain tiga motif tersebut, ada sejumlah motif lainnya, seperti menciptakan teori untuk meninggikan kelompok identitas tersebut atau bahkan mengajak orang ke jalan yang benar tetapi dengan cara hoaks.
Peneliti media sosial ini menjelaskan, ada tiga cara yang bisa dilakukan untuk memerangi hoaks. Untuk memerangi jangka pendek, setiap platform media sosial sebaiknya memiliki fitur yang memudahkan pengguna untuk mengidentifikasi atau menyetop sebaran hoaks.
Hingga saat ini, belum ada fitur yang sangat bagus untuk menghentikan laju hoaks di media sosial. Karena itu, kata Kunto, platform harus secara agresif melakukan pelacakan dan mengidentifikasi hoaks yang beredar, sehingga tidak mudah disebarkan pengguna.
Untuk jangka menengah, Kunto mendorong adanya penegakan hukum yang tegas. Hukum yang tegas akan memberikan efek jera dan edukasi kepada penyebar hoaks. Selain itu, penegakan hukum juga jangan tebang pilih.
“Kalau mau lewat hukum harus bisa siapa saja,” kata Kunto.
Sementara untuk jangka panjang adalah membangun kemampuan literasi orang. Kemampuan literasi tidak hanya ditentukan dari kemampuan kognitifnya saja.
Berdasarkan penelitian disertasinya, Kunto melihat bahwa kemampuan kognitif belum bisa mempredikasi kemampuan identifikasi hoaks.
“Contohnya, IQ-nya tinggi, pendidikannya sudah S3, tetapi nyatanya masih sangat rentan untuk terpengaruh hoaks, apalagi untuk informasi yang sesuai dengan sikap saya. Ini masalah emosional bukan kognitif,” kata Kunto. (*)