BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Menjadi wadah bagi kegiatan-kegiatan perdamaian di Indonesia adalah latarbelakang dari berdirinya Sekolah Damai Indonesia (SEKODI) atau School of Peace Indonesia.
Ketua SEKODI, Lioni Beatrik Tobing mengungkapkan bahwa SEKODI adalah sebuah perkumpulan yang didirikan atas kesepakatan bersama oleh para alumni School of Peace dari seluruh Indonesia.
“School of Peace sendiri merupakan kegiatan belajar selama tiga bulan mengenai nilai-nilai perdamaian melalui pendekatan kearifan lokal dengan menganalisa struktur kehidupan sosial dalam rangka mencapai tujuan perdamaian dunia,” terang Lioni kepada pasjabar, belum lama ini.
School of Peace diselenggarakan oleh ICF (Interfaith Cooperation Forum) yang merupakan forum dialog perdamaian se-Asia.
Kegiatan ini telah rutin dilaksanakan sejak tahun 2006 di berbagai negara Asia: 2006-2012 di India, 2013 di Srilanka, 2015-2016 di Kamboja, dan 2017 di Indonesia dengan peserta yang berasal dari negara-negara di Asia.
Alumni School of Peace yang berasal dari Indonesia berjumlah 17 orang, berasal dari latar belakang yang berbeda seperti karyawan swasta, penulis, dosen, pekerja sosial, mahasiswa, pendeta, relawan, fotografer, dan lain-lain.
Para alumni ini secara rutin melakukan pertemuan nasional setiap tahun sejak tahun 2012 untuk membicarakan kegiatan-kegiatan yang telah dilakukan oleh alumni-alumni di daerahnya masing-masing terkait isu-isu perdamaian.
“SEKODI mengidentifikasi visi yang kuat tidak hanya akan mengarahkan pekerjaan, tetapi juga memberikan energi dan tantangan untuk bekerja penuh semangat dan efektif bagi transformasi keadilan dan perdamaian,” ucapnya.
Lioni menambahkan bahwa SEKODI mengembangkan sebuah visi untuk keadilan dan perdamaian antar agama demi tercapainya hubungan yang harmonis. Di mana Semua kegiatan SEKODI bertujuan sebagai gerakan untuk keadilan dan perdamaian antar keyakinan yang akan menghasilkan perubahan dari reaksi ke arah transformasi.
“Kami juga memiliki misi untuk menciptakan kalangan muda sebagai pelopor Transformasi.
Bekerja untuk transformasi pribadi dan sosial dengan menggunakan pendekatan berbasis masyarakat untuk semua kegiatan,” terangnya.
Di samping itu, sambung Lioni SEKODI juga berupaya untuk mengidentifikasi isu di dalam masyarakat dan memulai proses transformasi bersama-sama, dan membantu masyarakat dari beragam agama, etnis dan perspektif untuk memulai proses dari sekedar toleransi ke partisipasi yang aktif dengan cara dialog.
“Pendekatan SEKODI untuk menciptakan perdamaian dan keadilan antar agama membutuhkan pembangunan jaringan di tingkat lokal dan nasional,” ucapnya.
Adapun program School of Peace Tahunan di Indonesia, diprioritaskan untuk pemuda Indonesia meliputi Training of Trainer For Vocational Skill (TFT) Drama, Teater, Musik, Pertanian, Usaha Kecil, Video Maker, Community Organizing, Pendidikan Anak, Gender, dan Lingkungan Pengembangan Kurikulum Keterampilan Kerja Penggalangan Dana Lokakarya Peningkatan Kapasitas untuk Alumni Sekolah Damai/Mitra/Jaringan, Program Magang Website/Kampanye Promosi Kunjungan Lapangan.
“Saat ini anggota SEKODI sekitar 200 orang dan mereka diarahkan untuk menjadi influencer di komunitasnya masing-masing. Sehingga SEKODI mengkader anggotanya bukan untuk aktif di SEKODI melainkan membekali anggotanya untuk bekerja lebih di komunitasnya masing-masing,” ucapnya.
Adapun acara yang sudah dilaksanakan oleh SEKODI meliputi Kelas Mingguan Sekolah Damai Indonesia dengan berbagai topik di Bandung, Jogja dan Batusuya, menggelar Anti Racism Workshop, Kelas Feminisme, program Divergents dan lainnya.
“Untuk rencana ke depan kami masih ingin tetap memberikan kelas-kelas mingguan, membuat seri video mengenai dialog dan kelas perdamaian bersama AMSAW,” ulasnya.
Terakhir Lioni berharap bahwa SEKODI dapat menjadi organisasi yang dapat membangun jembatan bagi perdamaian dan para peserta yang terlibat dalam kegiatan SEKODI dapat bertransformasi menjadi lebih berempati terhadap orang lain dan lingkungan. (tiwi)