NEW YORK, WWW.PASJABAR.COM– Sejak pemimpin terpilih Myanmar Aung San Suu Kyi dikudeta pada 1 Februari, sudah lebih dari 60 pengunjuk rasa tewas dan sekitar 2.000 orang ditahan oleh pasukan keamanan, kata kelompok pembela Asosiasi Bantuan untuk Tahanan Politik.
Pada Rabu, tembakan gas air mata dan peluru karet oleh pasukan keamanan membuat ratusan pengunjuk rasa anti junta terjebak hingga larut malam di dua distrik di Yangon.
Dilansir dari Reuters dan Antara, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Rabu (10/3/2021) mengutuk kekerasan terhadap para pengunjuk rasa di Myanmar dan mendesak militer untuk menahan diri.
Namun, para negara anggota Dewan Keamanan tidak berhasil mencapai kesepakatan untuk menyebut pengalihan pemerintahan Myanmar oleh militer sebagai kudeta.
Dewan juga gagal mengeluarkan ancaman lebih lanjut terhadap junta Myanmar karena Cina dan Rusia menentang langkah itu.
Beberapa pengunjuk rasa yang berhasil menghindari blokade, yang dipasang oleh polisi di jalan-jalan sekitar distrik itu, menceritakan bahwa sejumlah orang ditangkap. Mereka juga bercerita bahwa beberapa orang yang ditangkap dipukuli.
Di New York, Dewan Keamanan PBB menyatakan, “mengutuk keras kekerasan terhadap para pengunjuk rasa damai, termasuk terhadap perempuan, pemuda, dan anak-anak.
“Dewan menyeru militer untuk menahan diri sepenuhnya dan menekankan bahwa Dewan mengamati situasi dengan cermat.”
Namun, kalimat-kalimat yang mengutuk kudeta dan mengancam kemungkinan tindakan lebih lanjut telah dihapus dari teks rancangan Inggris itu, karena ditentang oleh China, Rusia, India dan Vietnam.
Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres mengatakan ia berharap pernyataan Dewan Keamanan itu akan mendorong militer Myanmar untuk menyadari bahwa “sangat penting” semua tahanan dibebaskan dan hasil pemilihan November dihormati.
Guterres mengakui bahwa Myanmar, sebelum kudeta, bukanlah “demokrasi yang sempurna”.
“Masih sangat di bawah kendali militer dalam banyak aspek, yang membuat kudeta ini semakin sulit dipahami, terutama tuduhan soal kecurangan pemilu oleh mereka yang sebagian besar menguasai negara,” katanya.
Sementara itu dalam upaya untuk meningkatkan tekanan terhadap militer Myanmar karena terus melakukan tindakan keras, Departemen Keuangan Amerika Serikat pada Rabu menjatuhkan sanksi pada dua anak pemimpin militer Min Aung Hlaing serta enam perusahaan yang mereka kendalikan.
“Kekerasan tanpa pandang bulu oleh pasukan keamanan Burma terhadap pengunjuk rasa damai tidak dapat diterima,” kata Direktur Kantor Pengawasan Aset Luar Negeri, Andrea Gacki, yang menyebut Myanmar dengan Burma. (*)