HEADLINE

Paguyuban Pasundan Gelar Webinar Membangun Toleransi Meredam Radikalisme

ADVERTISEMENT

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Pengurus Besar Paguyuban Pasundan bekerjasama dengan Mabes Polri menggelar Webinar Membangun Toleransi, Meredam Radikalisme di Lingkungan Pendidikan di Jawa Barat pada Senin (22/3/2021) via zoom yang ditayangkan langsung oleh Pas TV.

Turut hadir dalam acara ini Ketua PB Paguyuban Pasundan sekaligus Direktur Pascasarjana Unpas, Prof.Dr.H.M.Didi Turmudzi M.Si,. Serta narasumber Rektor IAILM Suryalaya, Dr. Asep Salahudin dan Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan.

Dalam sambutannya Prof.Dr.H.M.Didi Turmudzi M.Si,. menyampaikan bahwa dunia pendidikan turut berpartisipasi dalam menangani masalah ujaran kebencian dan intoleransi. Maka dari itu hal ini menjadi sebuah diskusi yang penting.

“Dalam diskusi ini turut diikuti pakar para pimpinan perguruan tinggi, kepala sekolah juga budayawan mudah-mudahan dapat menghasilkan hal yang bermanfaat, sebagian bagian dari kontribusi Paguyuban Pasundan untuk negara dan bangsa. Kami juga mengucapkan terimakasih kepada Mabes Polri. Di mana bukan kali ini saja kami melakukan kerjasama, semoga berlanjut terus,” terang Prof Didi.

Ketua PB Paguyuban Pasundan sekaligus Direktur Pascasarjana Unpas, Prof.Dr.H.M.Didi Turmudzi M.Si,. Membuka acara webinar (tiwi/pasjabar)

Prof Didi menambahkan bahwa pendidikan adalah sebuah lembaga yang mempunyai tugas untuk melahirkan seorang anak didik yang asalnya tidak baik menjadi baik, yang tidak mampu menjadi mampu yang tidak terampil menjadi terampil, maka dari itu lembaga pendidikan harus memastikan perkembangan anak didik secara benar.

“Lembaga pendidikan memiliki peran strategis dalam perkembangan pola pikir seorang anak, jika sejak pendidikan dasar yaitu SD, SMP dan SLTA sudah dicelupkan dengan nilai-nilai toleransi maka kesananya tidak akan terlalu berat. Karena di pendidikan dasar masih homogen masih mudah untuk dibentuk,” ucapnya.

Adapun visi dari Paguyuban Pasundan adalah menjaga dan memelihara budaya sunda serta mengembangkan syiar Islam. Di dalam budaya sunda maupun ajaran Islam, melakukan ujaran kebencian dan perilaku intoleransi adalah hal yang salah, sebaliknya agama dan budaya mengajarkan kasih sayang.

“Wajah asli budaya dan Islam adalah ramah dan toleran, Rasulullah SAW juga mengajarkan bersikap tegas bukan keras kepada sesama yang memiliki perbedaan dalam berkeyakinan,” ujarnya.

Prof Didi melanjutkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini ujaran kebencian dan intoleransi sedang tumbuh berkembang disekitar kita dan hal ini menjadi sebuah ruang kontemplasi untuk mengintropeksi diri dalam metode pembelajaran ataupun pengelolaan dalam dunia pendidikan.

Sementara itu, Rektor IAILM Suryalaya, Dr. Asep Salahudin menyampaikan bahwa sejatinya keragaman bukan menjadi sumber perpecahan namun keberagaman adalah untuk membangun nilai-nilai universal.

“Jawa Barat memiliki indeks kekerasan atas nama agama yang tinggi, tentu hal ini menjadi perhatian bagi warga Jawa Barat. Karena hal ini menjadi paradoks dengan nilai agama dan budaya yang ramah dan toleran,” jelasnya.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan radikalisme sambung Asep, sebagaimana yang diutarakan oleh Charles Kimba dalam bukunya ketika agama menjadi bencana yakni pengakuan kebenaran mutlak, ketundukan buta terhadap pimpinan, gandrung terhadap jaman ideal, menghalalkan segala cara untuk meraih tujuan dan mengartikan perang suci secara menyesatkan.

Untuk masalah radikalisme dan tantangan di dunia pendidikan, disebabkan beberapa hal seperti kegagalan politik SARA, pengajaran yang bersifat indroktinasi, dialog antar agama yang elitis dan terlalu teosentris ekspansi ideologi transnasional.

“Untuk mengatasi hal ini perlu adanya jalan moderasi yaitu dengan mempertemukan tiga identitas antara Keislaman, kesundaan dan keindonesiaan serta dengan strategi pencapaian yakni pemahaman pendidikan inklusif, penguatan inklusi sosial, perwujudan keadilan sosial, perlembagaan nilai nilai pancasila dan keteladanan,” tandasnya.

Sementara itu, Pendiri NII Crisis Center, Ken Setiawan memaparkan bahwa radikalisme tidak mengenal batasan usia, strata pendidikan, kelas ekonomi maupun profesi baik ASN maupun karyawan swasta termasuk kalangan pendidikan.

Di mana NII Crisis Center juga banyak mendapatkan laporan guru yang dilingkungan mereka terpapar radikalisme dan antipancasila.

“Hal ini jangan dibiarkan, langkah yang harus kita lakukan adalah membangun kembali semangat nasionalisme, belajar agama kepada yang ahlinya. Wangsitnya sama seperti narkoba jangan coba-coba,” ucapnya.

Saat ini ucap Ken, sudah banyak hoaks yang merajalela dan kita dikepung oleh radikalisme yang mencoba untuk terus mengadu domba antar suku, agama dan golongan.

“Nasionalisme bela negara adalah poin penting, melakukan apa yang kita bisa lakukan sesuai kompetensinya dalam menangani masalah intoleransi dan radikalisme,” tutupnya. (tiwi)

Tiwi Kasavela

Recent Posts

Harga Pangan Naik: Cabai Rawit Merah Sentuh Rp46.000 per Kg

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Harga beberapa komoditas pangan mengalami kenaikan pada Jumat (20/9/2024) pagi. Dilansir dari…

48 menit ago

Dedi Mulyadi Tekankan Pentingnya Keadilan dalam Dialog Kebhinekaan di Bandung

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Bakal calon Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menghadiri acara Dialog Kebhinekaan di…

3 jam ago

RSUD dan Dinsos Bandung Gelar Khitanan Massal untuk 60 Anak

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Dinas Sosial (Dinsos) Kota Bandung bersama dengan Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD)…

3 jam ago

Keseimbangan Hubungan Antarmanusia

Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan) BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Ajaran…

6 jam ago

WJIS 2024, Jawa Barat Alami Pertumbuhan Ekonomi 4,95 Persen

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- West Java Investment Summit 2024 yang sudah berjalan ke enam kalinya mencatatkan…

13 jam ago

Pelajaran untuk Persib Usai Dipermalukan Port FC

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Persib Bandung menelan pil pahit. Melawan Port FC dalam laga perdana Grup F AFC…

14 jam ago