HEADLINE

Ini Pandangan Komisi V DPRD Jabar Terkait Permen PPKS dan RUU TPKS

ADVERTISEMENT

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Wakil Ketua Komisi V DPRD Provinsi Jawa Barat, Abdul Hadi Wijaya sepakat dengan beberapa organisasi Islam yang sempat beraudiensi dengan pihaknya. Untuk meminta DPR mencabut, Peraturan Menteri Pendidikan Kebudayaan Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi (Permendikbudristek) Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS). Juga menolak Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS)

“Yang terjadi adalah, ketika masing-masing berbicara dan masing-masing setuju dan Permen ini harus dicabut,” tegas Gus Ahad sapaan akrab Abdul Hadi Wijaya, , Kamis, (25/11/2021).

Gus Ahad menjelaskan, pemahaman mengenai Permendikbudristek No. 30 dan RUU TPKS harus diperluas. Mengingat sama halnya pada saat pengesahan Peraturan Menteri dan RUU tersebut, tidak berbeda dengan saat pengesahan RUU Cipta Kerja. Itu merupakan suatu pembodohan, agar masyarakat tidak tahu apa isi Permen dan RUU tersebut.

“Pemahaman harus diperluas, karena bangsa Indonesia ini masih kurang minatnya untuk membaca. Ini ada semacam bentuk sistematis pembodohan untuk melarang masyarakat untuk tahu. Ini menjadi modus, seperti RUU Cipta kerja omnibuslaw yang ketika rapat pengesahan banyak konstitusi yang dilarang untuk berbicara atau intrupsi,” beber Gus Ahad.

Menurut Gus Ahad, kondisi politik saat ini di Indonesia, bisa dibilang tidak berimbang terutama yang berada di pusat dibandingkan tingkat provinsi, kabupaten, dan kota. Sehingga keputusan dari pusat, harus diterima.

“Saya rasakan pertarungan ideologis, lewat kondisi politik yang tidak berimbang terjadi di tingkat nasional, di provinsi, kabupaten kota lebih cair,” ucap Gus Ahad

Penggunaan frasa ambigu

Sementara itu, Ketua Umum PW KAMMI Jabar, Ahmad Jundi menyebut, Permendikbudristek Nomor 30 ini menjadi polemik. Akibat penggunaan frasa, yang masih ambigu dan menimbulkan multitafsir, seperti kalimat “tanpa persetujuan korban” yang ada dalam peraturan tersebut.

“Penggunaan frasa “tanpa persetujuan korban”, menjadi ambiguitas dan menimbulkan multitafsir,” ujar Jundi.

Menurutnya, Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia ke VII di Jakarta pun, menolak akan Permendikbudristek Nomor 30 tersebut. Karena bertentang dengan syariat Islam dan UUD 45.

“Ketentuan-ketentuan yang didasarkan pada frase “tanpa persetujuan korban” dalam Permendikbudristek bertentangan dengan nilai syariat, Pancasila, UUD 45, perundang-undangan lainnya, dan nilai budaya Indonesia. Sehingga Permendikbudristek ini harus dicabut,” tegas Jundi.

“Hal ini menjadi suatu ancaman kebangsaan, di mana pandangan umat beragama diabaikan dan dikebelakangkan. Dibandingkan aspirasi kebebasan seksual,” tutup Jundi. (ytn)

Yatti Chahyati

Recent Posts

Jalur Alternatif Bandung-Garut Kembali Lancar Usai Pohon Tumbang

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Polres Garut memastikan arus lalu lintas di jalur alternatif Bandung-Garut, wilayah Kamojang,…

14 menit ago

Erick Thohir: Dukungan Swasta Kunci Transformasi Sepak Bola Nasional

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada para sponsor…

1 jam ago

Kementerian PPPA Targetkan UPTD PPA di Semua Daerah pada 2025

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) menegaskan pentingnya peran pemerintah daerah…

2 jam ago

Riksa Latifah Melakukan Hobi Sambil Mengejar Mimpi

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM-- Menjalani hari-hari dengan hal positif, adalah hal yang dilakukan oleh Riksa Latifah, yang…

3 jam ago

Banjir Meluas di Kabupaten Bandung, 12.250 Keluarga Terkena Dampak

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Banjir yang melanda di Kabupaten Bandung sejak Rabu, 20 November hingga Minggu…

3 jam ago

Pilkada Serentak 2024: Komdigi Dorong Partisipasi dan Keamanan Digital

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Kementerian Komunikasi dan Digital mendukung pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah atau Pilkada Serentak…

4 jam ago