BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Pakar UGM mengingatkan semua pihak terkait kemungkinan adanya bahaya sekunder atau bahaya tidak langsung, yang ditimbulkan dari erupsi Gunung Semeru. Adapun potensi bahaya sekunder tersebut, seperti banjir bandang yang membawa material vulkanik di daerah hulu.
“Erupsi selesai, potensi ancaman bencana masih ada. Bulan Desember, Januari, dan Februari kita perlu memperhatikan potensi aliran lahar dan juga erupsi susulan,” beber dosen Fakultas Geografi UGM, Dr. Danang Sri Hadmoko S.Si., M.Sc., dikutip dari laman UGM, Rabu (8/12/-2021).
Lebih lanjut, Danang menjelaskan, fenomena La Nina memunculkan potensi hujan tinggi. Sehingga masyarakat yang berada di area sungai, yang berhulu di Gunung Semeru perlu waspada. Masyarakat juga harus menghindari aktivitas dalam radius bahaya, yang sudah ditetapkan pihak PVMBG.
“Beberapa sungai yang berhulu di Semeru itu perlu diwaspadai, supaya ketika terjadi aliran lahar di bagian tengah dan hilir yang banyak pemukiman bisa terselamatkan,” sambung Danang.
Selain itu, kata Danang terdapat pula potensi material yang masih panas, sehingga proses evakuasi perlu dilakukan dengan hati-hati dan melibatkan pihak-pihak, yang memahami kondisi gunung api.
Warga di sekitar area erupsi, sebut Danang dianjurkan selalu menggunakan masker dan kacamata pelindung. Hal ini untuk menghindari bahaya kesehatan akibat abu vulkanik, yang mempunyai kandungan silika dan berukuran mikro.
Waspada dari 2012
Pakar Geofisika UGM, Dr. Wahyudi, M.S. mengungkapkan, sejak 2012 sebenarnya Gunung Semeru telah dinyatakan memiliki status level 2 atau waspada. Kemudian pada September 2020, mulai teramati aktivitas berupa kepulan asap putih dan abu-abu setinggi 200-700 m di puncak Semeru.
Aktivitas serupa berlanjut di Oktober 2020 setinggi 200-1000 m, dan pada 1 Desember 2020 terjadi awan panas sepanjang 2 – 11 km ke arah Kobokan di lereng tenggara. Pada 90 hari terakhir, tampak adanya peningkatan aktivitas kegempaan, terutama gempa erupsi.
“Ada yang mencapai 100 kali per hari, ini sudah bisa dijadikan prekursor terjadinya erupsi yang lebih besar,” imbuh Wahyudi.
Wahyudi mengatakan guguran kubah lava yang dipicu tingginya curah hujan, menyebabkan terjadinya luncuran awan panas yang jarak luncurannya cukup jauh, yaitu mencapai 11 km. Secara saintifik, curah hujan yang tinggi bisa menyebabkan ketidakstabilan pada endapan lava.
“Pada beberapa kasus, faktor eksternal seperti curah hujan yang tinggi memang bisa menyebabkan thermal stress dan memicu ketidakstabilan dalam tubuh kubah lava. Kubah lava sudah tidak stabil, dipicu hadirnya curah hujan tinggi menyebabkan adanya longsor,” pungkasnya. (ytn)