BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Tim SPITS dari ITB melalui protype pembangkit listrik tenaga surya portabel mampu meraih juara I dalam Marine Paper Competition 2021. Kompetisi bertajuk Marine Icone digelar Fakultas Teknologi Kelautan (FTK) ITS, dimulai dari tahap pengumpulan abstrak pada 26 September 2021.
Sebanyak 45 tim dinyatakan lolos abstrak dan dilanjutkan ke seleksi full paper. 10 tim terbaik berhak melenggang ke babak final. Pada tahap ini, harus membuat poster serta melakukan presentasi di depan juri dari Kementerian ESDM dan dosen ITS pada 20 November 2021. Pengumuman kejuaraan dilakukan pada 21 November 2021.
Tim dari ITB ini terdiri dari dua mahasiswa Teknik Telekomunikasi, yakni Muhammad Miqdad Nadra dan Dicky Dwi Putra, serta Ramadani Putri dari Teknik Geodesi dan Geomatika. Tim ini membuat membuat inovasi Solar Power Plant with Internet of Things System (SPITS).
Dicky menjelaskan secara garis besar, SPITS memiliki dua system. Photovoltaic off grid dan sistem manajemen energi. Kedua sistem ini saling terintegrasi. Panel surya akan menangkap intensitas cahaya matahari dan energi, yang didapatkan akan disimpan pada baterai yang selanjutnya dapat dimanfaatkan masyarakat. Alat ini mampu menghasilkan daya 80 watt.
“Sistem manajemen energi akan membantu pengguna untuk mengetahui besar daya, tegangan, dan arus yang digunakan, serta kapasitas daya pada baterai,” kata Dicky.
Kelebihan yang ditawarkan alat ini adalah memiliki tegangan AC (220 V) dan DC (12 V), sehingga dapat digunakan untuk berbagai peralatan listrik. Memiliki sistem manajemen energi, bersifat portable, ramah lingkungan, dan tidak berisik. Harga pokok produksinya senilai Rp3.465.000.
Pengembangan
Alat ini dikembangkan atas kerja sama berbagai pihak di antaranya dosen pembimbing Wervyan Shalannanda, S.T., M.T dari kelompok keahlian Teknik Telekomunikasi, dan Dr. Ir. Agus Purwadi, M.T dari kelompok keahlian Teknik Ketenagalistrikan.
Alumni Teknik Tenaga Listrik 15, yakni Abdurrauf Irsal dan Muhammad Alif Mi’raj Jabbar, serta Adelia Kurniadi (Teknik Geologi) juga turut terlibat dalam pembuatannya.
Alat ini sudah menjalani pengujian photovoltaic dan tegangan output, yang dihasilkan AC (224 V) dengan frekuensi 49,9 Hz. Nilai tegangan dan frekuensi tersebut sudah sesuai dengan SPLN 1:1995.
“Pada umumnya, bencana yang sering terjadi adalah gempa bumi dan tsunami, karena kondisi geografis Indonesia. Berdasarkan kasus gempa bumi dan tsunami di Palu pada 2018 lalu, beberapa gardu listrik mengalami kerusakan pascabencana. Sehingga memengaruhi pasokan energi listrik. Perbaikannya pun membutuhkan waktu yang lama. Sedangkan kebutuhan masyarakat terkait energi listrik menjadi prioritas,” beber Dicky tentang ide awal pembuatan pembangkit listrik tenaga surya portabel.
Di sisi lain, mereka menilai potensi energi terbarukan di Indonesia cukup tinggi, salah satunya energi surya yang belum dioptimalkan potensinya. SPITS tidak hanya dapat diandalkan ketika bencana, tetapi juga bisa diterapkan di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal) yang masih terbatas akses listriknya. (ytn)