BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Guna mengembangkan potensi yang dimiliki daerah yang ada di Indonesia, menurut Sekretaris Bidang Pengabdian Masyarakat Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB, Deny Willy Junaidy, Ph.D., kegiatan pengabdian masyarakat yang dilakukan harus fokus pada potensi dari daerah tersebut.
Hal ini, katanya telah diakui dan banyak dikembangkan oleh beberapa negara di dunia, yang dikenal dengan one village one product (OVOP).
“One village one product (OVOP) ini sebenarnya merupakan konsep pengembangan desa yang diinisiasi oleh seorang Gubernur di Kota Oita, Jepang bernama Morihiko Hiramatsu. Saat itu, sang gubernur kota ini mampu mengubah kondisi Provinsi Oita yang sebelumnya ditetapkan sebagai wilayah provinsi paling miskin menjadi daerah provinsi percontohan di Jepang,” katanya dalam rilisnya, Selasa (25/1/2022).
Pada dasarnya, istilah OVOP ini mulai dikenalkan Hiramatsu saat Provinsi Oita terancam mati akibat peristiwa eksodus besar-besaran yang dilakukan penduduknya pada tahun 1979.
Upaya ini diawali dengan keputusan Hiramatsu untuk mengundang para champion masing-masing desa, ke dalam suatu pertemuan. Dalam rapat tersebut, ia mendapatkan informasi bahwa setiap daerah di Provinsi Oita memiliki potensi yang baik untuk dikembangkan.
Akibatnya, Hiramatsu pun memutuskan untuk melakukan dukungan dan pelatihan kepada para champion tersebut untuk mulai melakukan berbagai usaha meningkatkan kondisi perekonomiannya. Selang beberapa tahun, usaha Hiramatsu ini berhasil dan Provinsi Oita pun tidak lagi ditetapkan sebagai kategori daerah termiskin di Jepang.
Salah satu buktinya adalah mereka berhasil mengembangkan banyak desa untuk berkreasi sesuai potensi, seperti Yuzu dan Taketa Village yang memanfaatkan pertanian jeruk lemon sebagai pusat perekonomian mereka.
“Saat eksodus di Oita itu terjadi, Gubernur Hiramatsu tidak langsung mengundang investor. Namun, yang ia lakukan adalah mengadakan pertemuan dengan para champion dan kemudian melakukan dukungan kepercayaan diri kepada mereka agar mampu memanfaatkan potensi daerahnya masing-masing,” ungkapnya.
OVOP di Indonesia
Berdasarkan fenomena ini, Denny berpendapat bahwa prinsip OVOP ini juga bisa diterapkan dengan baik di Indonesia. Ia yakin, setiap daerah di negara ini pasti memiliki ciri khas dan keunikannya masing-masing. Oleh karena itu, sebagai salah satu perguruan tinggi yang selalu berperan aktif dalam upaya pengembangan daerah-daerah terpencil di Indonesia, ITB telah menerapkan konsep OVOP ini.
Dari sekitar 270 program pengabdian masyarakat yang dilakukan setiap tahunnya, ITB selalu memastikan bahwa kegiatan tersebut selalu berfokus kepada potensi yang dimiliki oleh masing-masing daerah binaannya.
Ia menyebutkan, Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat (LPPM) ITB selalu mendesain program pengabdian masyarakat dengan berfokus pada potensi daerah binaan dengan empat kategori. Pertama pemberdayaan desa, kedua pemulihan ekonomi, ketiga mitigasi dan adaptasi bencana, serta keempat industri kreatif dan pariwisata. Dengan membagi wilayah Indonesia ke dalam pola lima lingkar bagian, ia yakin mampu mendeteksi daerah-daerah mana saja yang memang membutuhkan kegiatan pengabdian masyarakat ini.
“Kami membagi wilayah pengabdian masyarakat ini ke dalam lima lingkar. Yaitu: wilayah di sekitar lingkungan kampus ITB, Provinsi Jawa Barat, Pulau Jawa, daerah yang berlokasi di luar pulau Jawa, dan wilayah perbatasan serta wilayah 3T (Terluar, Tertinggal dan Terjauh). Harapannya pembagian pola lima lingkar ini akan memberikan persebaran yang merata dalam kegiatan pengabdiannya nanti,” jelasnya. (*/ytn)