BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Masyarakat Anti Fitnah Indonesia (MAFINDO) didukung oleh Unicef melaksanakan penelitian bertema Social Inoculation 2.0. guna mengatasi dampak infodemi berupa sebaran hoaks vaksinasi Covid-19 yang menyesatkan publik dan mengganggu program vaksinasi.
Dilangsungkan sejak April 2020, penelitian telah mencapai tahap final dan dipublikasikan dalam acara Diseminasi Pendekatan Inokulasi Sosial Terkait Pengelolaan Hoaks/Misinformasi Dalam Rangka Peningkatan Cakupan Vaksinasi Covid19 pada Kalangan Rentan.
Diseminasi berlangsung serempak di 3 kota yang menjadi lokasi ujicoba model intervensi, yaitu Medan, Bandung dan Makassar, pada Senin (12/9/2022).
Diseminasi menghadirkan para stakeholder terkait dengan isu infodemi dan cakupan vaksinasi khususnya pada kalangan rentan seperti warga lanjut usia (lansia), meliputi unsur Dinas Kesehatan, Dinas Komunikasi dan Informatika, pegiat literasi, pegiat kesehatan, akademisi, hingga kepolisian.
Di Kota Bandung diseminasi berlangsung di FIKOM Universitas Islam Bandung (Unisba) dengan narasumber Nilla Avianty Kasi Promke Dinkes Kota Bandung, Darto, Ap,MM, Sekretaris Diskominfo Kota Bandung, Peneliti dari Jenewa Swasti Sempulur, dan dr. Nurcholis Majid dari Mafindo.
Turut hadir Prof Atie Rachmiatie selaku dekan Fikom Unisba yang membuka acara secara resmi.
Koordinator Riset Nasional Social Inoculation MAFINDO, Santi Indra Astuti menyatakan, hingga kini hoaks vaksinasi masih mendominasi hoaks-hoaks bertema Covid-19.
Penelusuran MAFINDO sepanjang Januari hingga Agustus 2022, terdapat 73 konten hoaks yang dilaporkan publik maupun yang dijumpai oleh para pemeriksa fakta MAFINDO.
“Porsi konten hoaks vaksinasi Covid-19 mencapai lebih dari 50%. Isinya sebagian besar mengulas KIPI atau kejadian ikutan pasca imunisasi, seperti hoaks tentang dampak vaksin booster, dampak vaksinasi Covid-19 pada anak, dan mempermainikan kebijakan vaksinasi,” tutur Santi yang juga merupakan Dosen Fakultas Ilmu Komunikasi (FIKOM) Unversitas Islam Bandung (Unisba).
Penelitian Social Inoculation 2.0 menggunakan mix method approach yang menggabungkan beberapa teknik pengambilan data, seperti survey, wawancara, dan diskusi kelompok terarah (focus group discussion).
Survey melibatkan 900 orang responden dan berlangsung di 6 kota, yaitu Medan, Banda Aceh, Makassar, Kendari, Jakarta, dan Bandung.
Adapun perwakilan Jenewa Institute yang mendampingi MAFINDO dalam survey, Nurholis, selaku memaparkan bahwa peningkatan wawasan/ pengetahuan merupakan salah satu faktor utama untuk meningkatkan kesadaran terhadap resiko Covid-19, resiko tidak divaksinasi, serta resiko terhadap hoaks bertema Covid-19 dan vaksinasinya.
Selain itu, hasil pemetaan segmen masyarakat dalam lingkup penelitian mendapati bahwa lansia adalah pihak yang paling rentan dalam situasi ini.
Di kalangan lansia, cakupan vaksinasi terdeteksi rendah, penerimaan terhadap vaksin rendah, sementara keragu-raguan terhadap vaksinasi sangat tinggi. Di sisi lain, lansia juga terbatas akses informasi dan komunikasinya, juga terbatas kepemilikan gawai maupun cara menggunakannya.
Akibatnya, mereka menjadi sasaran hoaks yang tersebar dari mulut ke mulut, percaya begitu saja tanpa memiliki motivasi maupun kemampuan untuk mengatasinya.
Dalam diseminasi, dipaparkan model intervensi yang diujicobakan sesuai temuan survey dan diskusi kelompok terarah, yaitu peer to peer consultation.
Model ini memanfaatkan kader sebagai ujung tombak untuk menjangkau lansia.
“Di sini, kader ditingkatkan kapasitasnya sedemikian rupa sehingga mereka memiliki kemampuan untuk mencoba membantu lansia yang terbatas akses informasi sehingga mudah tertipu hoaks. Selain itu, memotivasi lansia agar mengubah persepsinya tentang vaksinasi Covid-19 sehingga bisa meningkatkan cakupan vaksinasi” tutur dr Nurholis Majid mewakili tim Peneliti MAFINDO.
Ujicoba model intervensi berlangsung selama 1 (satu) bulan di Bandung, Medan, dan Makassar, melibatkan 43 kader dan 116 lansia.
dr Nurholis Majid melaporkan, sepanjang masa intervensi, kader telah berhasil melaksanakan 116 kegiatan mandiri yang menjangkau 901 khalayak di 3 kota.
Dari keseluruhan lansia yang dibina, lebih dari setengahnya mengalami perubahan baik dalam menyikapi isu vaksinasi, maupun dalam menumbuhkan awareness terhadap bahaya informasi menyesatkan.
Intervensi di kalangan kader berhasil meningkatkan self-efficacy (perasaan mampu melakukan perubahan), menambah kemampuan periksa fakta, berkomunikasi dengan lansia, sekaligus menguatkan motivasi untuk mengubah perilaku sasarannya.
“Alat bantu yang disiapkan untuk program ini ternyata juga bermanfaat bagi kader untuk menopang tugasnya di program-program lain. Di sinilah letaknya potensi keberlanjutan (sustainability) dari model intervensi peer to peer consultation dalam mengatasi gangguan hoaks apapun, ketika wabah terjadi,” tambahnya. (*/tiwi)