BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Mahasiswi Semester 7 Jurusan PPKn Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unpas sekaligus Pendiri Komunitas Indonesian Safety Girl Desi Laela Shofiatun Nisa mengungkapkan bahwa kekerasan berbasis gender terhadap perempuan di lingkungan pendidikan paling banyak terjadi di perguruan tinggi.
Pada periode tahun 2015-2021 ada 67 kasus kekerasan terhadap perempuan di lingkungan pendidikan. Kekerasan yang terjadi di lingkungan pendidikan yakni kekerasan seksual 87,91 persen, psikis dan diskriminasi 8,8 persen. Lalu, kekerasan fisik 1,1 persen.
“Adapun hasil catatan tahunan komnas perempuan tahun 2022 mengenai kasus kekerasan terhadap perempuan, Jawa Barat menduduki angka tertinggi yaitu 58.395 kasus kekerasan terhadap perempuan,” tuturnya kepada PASJABAR, Rabu (21/9/2022).
Desi melanjutkan bahwa kekerasan terhadap perempuan itu diantaranya yaitu pelecahan seksual, arti pelecehan seksual sendiri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), adalah sebuah pelanggaran batasan seksual orang lain atau norma perilaku seksual, atau dapat diartikan sebagai tindakan yang meremehkan, yang bertujuan untuk merendahkan martabat manusia dan bermotif seksual.
Sebuah tindakan dapat dikategorikan sebagai pelecehan seksual apabila tindakan tersebut membuat seseorang merasa tidak nyaman.
“Tindakan itu sendiri dapat berupa tindakan fisik, maupun melalui ekspresi, gestur tubuh, ucapan dan lain sebagainya, yang terkait seksualitas manusia,” tambahnya.
Ia melanjutkan, kasus pelecahan seksual semakin marak terjadi di lingkungan perguruan tinggi, baik secara verbal maupun non-verbal.
Sebagai mahasiswa, tindakan pelecehan seksual pun kerap terjadi di lingkungan perguruan tinggi. Saat ini beberapa media kampus sudah mulai menguak kasus-kasus pelecehan seksual yang terjadi di kampusnya.
Padahal seharusnya sebagai tempat menuntut ilmu, institusi pendidikan, khususnya universitas, dapat menjamin keselamatan para akademisinya.
“Kurangnya penanaman pendidikan seks sejak dini menjadi salah satu penyebabnya, berkaitan dengan seksualitas, sengaja maupun tidak, maka itu sudah bisa disebut pelecehan seksual,” ungkapnya.
“Namun sayangnya, kesadaran akan tindakan pelecehan seksual ini masih sangat minim. Masyarakat masih bias atau belum familiar dengan isu seksual seperti ini. Kita sendiri pun bahkan masih belum sadar atau bahkan memaklumi tindakan pelecehan yang terjadi di lingkungan sekitar kita,” imbuhnya.
Dengan dikeluarkannya peraturan Mendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Lingkungan Perguruan Tinggi, dimana perguruan tinggi harus membuat satgas berupaya untuk mencegah kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
“Hal ini kampus, sebagai institusi pendidikan, dituntut untuk memberikan ruang aman bagi mahasiswa, dan menguatkan payung hukum mengenai pelecehan seksual, agar tercipta ruang yang kondusif untuk semua bentuk aktivitas pendidikan di dalamnya,” ungkapnya.
Desi pun mengajak kepada semua perempuan dan orang-orang yang berpotensi sebagai korban pelecehan seksual, untuk secara tegas menyampaikan ketidaksukaannya ketika berada dalam situasi yang tidak nyaman, sehingga pelecehan tidak diteruskan.
“Sebagai mahasiswa kita harus tetap meningkatkan kesadaran akan pentingnya menerima korban dan mendukung pemulihannya. Jangan sampai, korban tidak diberi ruang untuk menyalurkan isi hatinya, sehingga menyebabkan trauma. Ingat bahwa kita memiliki hak atas diri kita. Jangan sampai orang lain dengan mudah mengambil hak tersebut. Jangan diam, korban tidak sendiri, katakan dan berani!,” pungkasnya. (tiwi)