Oleh: Deden Ramdan (Sang Bobotoh Kolot Unpas)
Sebenarnya selama pertandingan sepak bola di Stadion Kanjuruhan, Persebaya VS Arema berjalan normal. Bahkan sampai usai dengan kemenangan Persebaya. Namun usai pertandingan, seorang Aremania masuk lapangan sambil berlari membawa bendera Persebaya Surabaya yang dicoret.
Kemudian aksi itu diikuti oleh Aremania lainnya yang masuk ke dalam lapangan dan jumlahnya makin banyak. Situasi kemudian mulai sulit untuk dikendalikan. Aparat bertindak tegas dengan menembakan gas air mata ke arah tribun.
Dari insiden tersebut, banyak korban yang jatuh Karena terinjak oleh suporter lain yang panik dalam situasi tersebut. Ada pula yang jatuh karena sesak napas akibat gas air mata. Minimnya ketersediaan air buat membasuh muka memperparah keadaan.
Ada 130 orang meninggal, termasuk 2 petugas Polisi. Masih ada 180 orang yang masih dalam perawatan. Tentu yang tewas akan bertambah. Dari 40.000 penonton, tidak semua anarkis. Hanya sebagian, sekitar 3.000 penonton turun ke lapangan.
Penyebab Banyaknya Penonton Meninggal Dunia
Penggunaan gas air mata dalam insiden di Kanjuruhan disinyalir menjadi salah satu penyebab banyaknya penonton meninggal dunia. Padahal aturan FIFA, Stadium Safety and Security Regulations, pasal 19 ayat b, dijabarkan penggunaan gas air mata dan senjata api untuk pengendalian massa dilarang.
Penggunaan gas air mata itulah yang dinilai menjadi masalah dan sebagai pemicu timbulnya korban nyawa lebih dari 100 jiwa suporter Arema. Ada pertanyaan apakah aparat keamanan tidak memahami standar operasional prosedur (SOP) pengamanan pertandingan sepak bola.
Dalam aturan Federasi Sepak Bola Internasional atau FIFA terkait pengamanan dan keamanan stadion (FIFA Stadium Saferty dan Security Regulations), secara jelas dinyatakan petugas keamanan tidak diperkenankan memakai gas air mata.
Menurut regulasi itu pasal 19-b tentang petugas penjaga keamanan lapangan (pitchside stewards) yang berbunyi, “No firearms or crowd control gas shall be carried or used” (senjata api atau gas pengendali massa tidak boleh dibawa atau digunakan).
Semua sudah terjadi. Seandainya tidak ada tembakan gas air mata, mungkin tidak ada korban jiwa yang berjatuhan.
Toh yang berada di Stadion Kanjuruhan semuanya suporter tuan rumah, tidak ada suporter Bonek yang hadir karena sejak awal sudah dilarang datang ke Malang untuk menghindari bentrokan. Kalaupun untuk menghalau suporter, cukuplah gunakan watercanon yang risiko cederanya lebih kecil.
Kasus Lain yang Hampir Mirip Seperti di Stadion Kanjuruhan
Soal penggunaan tembakan gas air mata ini juga pernah terjadi saat kerusuhan suporter di Stadion Gelora 10 November Tambaksari Surabaya pada 2012 saat laga Persebaya versus Persija Jakarta.
Hampir mirip dengan yang terjadi di Kanjuruhan, ribuan suporter yang meringsek ke lapangan Tambaksari dibubarkan aparat keamanan dengan tembakan gas air mata. Mereka berlarian menyelamatkan diri dan berdesakan menuju pintu keluar yang sempit hingga ada satu korban tewas dan puluhan lainnya terluka.
Tragedi Kanjuruhan kini menjadi laga kedua yang paling banyak memakan korban jiwa dalam sejarah sepak bola jumlahnya melebihi korban tragedi Hillsborough yang memakan 96 jiwa pada 1989.
Tragedi Hillsborough yang terjadi pada laga semifinal Piala FA antara Liverpool dan Nottingham Forest menjadi salah satu alasan dari revolusi sepak bola di Inggris.
Penyebab dan jumlah korban yang hampir sama dengan tragedi Kanjuruhan membuat peristiwa ini bisa dijadikan contoh sepak bola Indonesia untuk mulai berbenah
Berikut dua hal yang bisa dipelajari dari tragedi Hillsborough agar peristiwa di Stadion Kanjuruhan tidak terulang:
Pertama: Investigasi yang terang-terangan
Penyelidikan mengenai tragedi Hillsborough sempat tidak menemui titik terang dalam waktu yang lama.
Hal ini disebabkan oleh sikap pemerintah Inggris dan Kepolisian Yorkshire Selatan yang menutup-nutupi kasus ini.
Sikap yang ditunjukkan dua institusi besar tersebut terbukti tidak menghasilkan solusi dan justru menyakiti keluarga korban tragedi Hillsborough.
PSSI dan Kepolisian Indonesia bisa belajar dengan megusut kasus di Stadion Kanjuruhan secara dalam.
Revolusi sepak bola Indonesia dibutuhkan demi mencegah tragedi yang sama berulang di masa depan.
Kedua: Satu Tiket Satu Kursi
Salah satu bentuk nyata dari perubahan yang terjadi setelah tragedi Hillsborough adalah penghapusan area teras di dalam stadion.
Para penonton yang diperbolehkan masuk stadion harus sesuai dengan jumlah kursi yang ada.
Sebelum tragedi Hillsborough, teras stadion menjadi area paling berbahaya meski sudah dibatasi dengan pagar besi.
Penonton sering membludak dan rawan gesekan yang menyebabkan luka-luka di area tersebut.
Akhirnya, Asosiasi Sepak Bola Inggris (FA) memberlakukan peraturan bahwa semua penonton hanya bisa menyaksikan pertandingan lewat tribune stadion.
Salah satu penyebab tragedi Kanjuruhan adalah kelebihan kapasitas stadion saat pertandingan berlangsung.
Panitia Jual Tiket Melebihi Kapasitas
Panitia pelaksana disebut menjual tiket melebihi kapasitas 30 ribu penonton yang seharusnya ada di Stadion Kanjuruhan.
Panpel dibawah supervisi PSSI perlu mengawasi secara ketat penjualan tiket di setiap pertandingan misalnya dengan Penjualan Tiket Online dengan Status Pembeli yang Jelas, terkalkulasi dan terverifikasi agar kelebihan kapasitas seperti pada tragedi Kanjuruhan tidak terjadi lagi.
Seluruh pelaku dan komunitas sepak bola di Tanah Air sepakat tragedi Kanjuruhan harus menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk interospeksi. Siapa yang harus disalahkan dalam peristiwa ini, semua masih akan diinvestigasi tim gabungan karena hingga kini juga belum ada pihak yang menyatakan “saya bertanggung jawab atas kejadian ini”.
Sambil menunggu hasil investigasi, mari kita jadikan kasus di Stadion Kanjuruhan ini sebagai pelajaran besar, berharga sekaligus evaluasi total terkait penyelenggaraannya.
Jadikan kasus ini sebagai pelajaran, namun tidak perlu membabibuta dengan beberapa pernyataan seolah sepak bola olahraga yang dipersepsikan melekat dengan kerusuhan berpotensi menimbulkan kematian dan sebagainya.
Kemudian ‘diperkuat’ oleh cara Kerja PSSI dan Penyelenggara Pertandingan yang cenderung bekerja secara tidak profesional, Aparat bekerja tidak selaras dengan SOP Pengamanan Pertandingan Sepakbola yang seharusnya dan Suporter yang tidak fairness dan datang ke stadion dengan semangat pokoknya kesebelasannya kudu menang yang notabene mendegradasikan akal sehat padahal secara faktual sepak bola Indonesia hari ini sedang bangkit dan sedang asik-asiknya untuk dinikmati bahkan ditunjuk menjadi tuan rumah Piala Dunia U-20 Tahun 2023.
Suatu situasi yang ambigu & ironi tentunya, oleh sebab itu mari kita semua bertindak waras dan berfikir jernih untuk kemajuan kehormatan dan Masa depan Sepakbola negeri ini We Are Saddened By The Kanjuruhan Stadium Malang Case. Hopefully This Incident Will Be A Valuable Lesson For Anyone Who Loves Football. (*/ran)