BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Konflik Rusia-Ukraina menambah kesulitan pemulihan ekonomi di berbagai negara di tingkat global. Indonesia sebagai salah satu negara yang terdampak konflik tersebut. Indonesia juga dihadapkan pada tantangan pencapaian target pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen guna mewujudkan Indonesia Emas 2045.
“Konflik ini menambah kesulitan kita untuk mensyukuri bahwa exit dari pandemi akan muncul semangat baru, tetapi ternyata belum bisa,” kata Rektor Universitas Padjadjaran Prof. Rina Indiastuti yang dikutip dari laman unpad.ac.id pada Rabu (19/10/2022).
Dia menegaskan, hal terbaik dalam mengantisipasi berbagai dampak global tersebut adalah mengakselerasi penyelesaian konflik Rusia-Ukraina. Upaya ini diperlukan agar dunia tidak memasuki krisis baru setelah pandemi.
“Kami tidak ingin masuk ke new crisis. Krisis pandemi sudah cukup, jangan lagi ada krisis baru,” ujarnya.
Rektor Unpad ini menjelaskan, dampak konflik Rusia-Ukraina terlihat dari berbagai bidang. Mulai dari kenaikan harga minyak dunia, krisis pangan, efek ke perdagangan internasional, hingga meningkatnya angka kemiskinan global.
Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis tersebut menyoroti dampak kemiskinan di tingkat global. Pasca pandemi dan gangguan stabilitas politik akibat konflik menyebabkan angka kemiskinan penduduk global meningkat. Hampir semua negara telah meluncurkan intervensi sesuai kondisi sosial, politik, dan ekonominya.
Persiapan Indonesia dalam Pemulihan Ekonomi Global
Indonesia sendiri menyiapkan berbagai intervensi dalam menghadapi kondisi ini. Opsi pertama adalah pembukaan keran investasi untuk menciptakan lapangan kerja. Menurutnya, untuk meningkatkan investasi, Indonesia harus memperoleh kepercayaan global. Namun, hal ini perlu dibarengi dengan kesiapan di tingkat mikro.
“Kita juga ingin memastikan di tingkat mikro, kalau investasi masuk, Indonesia aman, gak? Tenaga kerja jadi produktif, gak? Bayangkan kalau mereka masih kesulitan memenuhi kebutuhan dasar pangan,” ucapnya.
Sebagai tindak lanjut dari efek domino tersebut, perubahan kebijakan fiskal berupa peralihan subsidi energi yang dialihkan menjadi bantuan langsung untuk rakyat miskin diharapkan dapat merangsang daya beli masyarakat.
Kendati demikian, kebijakan ini perlu ditinjau seberapa lama Indonesia bertahan dalam situasi ini. Ini disebabkan, konflik Rusia-Ukraina juga turut menyumbang kenaikan inflasi dan menyisakan fiskal yang sempit.
“Yang perlu diperhatikan adalah kapasitas fiskal, pengendalian inflasi, dan opsi penambahan utang. Ini yang perlu menjadi perhatian. Kalau berlama-lama takutnya menjadi ‘lelah’,” paparnya. (*/ran)