Bandung, WWW.PASJABAR.COM – Di dunia kedokteran, banyak fakta menarik yang bisa diulas. Mulai dari tulisan resep dokter yang sulit dibaca, studi kedokteran yang memakan waktu lama, hingga jasad manusia (kadaver) yang digunakan untuk belajar anatomi.
Apa alasannya? Berikut tanya jawab seputar dunia kedokteran bersama Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Pasundan (Unpas) Prof. Dr. Dedi Rachmadi, dr., Sp.A(K)., M.Kes. yang dirangkum dari Podcast Unpas Talk Episode 40.
-
Kenapa tulisan dokter sulit dibaca?
Kalau tulisan resep dokter susah dibaca, bagaimana petugas farmasi bisa memahaminya? Padahal, jika petugas farmasi salah membaca resep obat, risikonya bisa berbahaya. Dikhawatirkan, pasien menerima jenis obat atau dosis yang tidak sesuai rekomendasi.
Menurut Prof. Dedi, banyaknya pasien yang harus diperiksa dalam waktu praktik terbatas membuat dokter lebih mementingkan informasi dari pasiennya untuk menentukan penanganan yang perlu dilakukan, dibanding menyempurnakan tulisannya.
“Bagi orang yang mendalami ilmu kedokteran dan obat-obatan sebetulnya tidak ada masalah, karena mereka pasti mengerti istilah-istilah medis dan memiliki pemahaman yang sama. Singkatan aturan minum, nama obat, dan lain-lain mereka paham. Berbeda dengan pasien atau orang awam,” katanya.
-
Kenapa masa studi Kedokteran memakan waktu lama?
Bukan rahasia umum kalau kuliah di jurusan Kedokteran butuh waktu lebih lama dari jurusan lain. Mahasiswa Kedokteran akan menghabiskan waktu sekitar 7 tahun masa studi.
“Ilmu yang dipelajari sangat komprehensif. Dokter harus bisa menilai suatu penyakit dari berbagai aspek supaya pasien tidak bertambah parah, bahkan mengupayakan pengobatan untuk menghindari kematian dan kecacatan,” terangnya.
Selain menjalankan kuliah reguler selama 3,5 – 4 tahun, mahasiswa kedokteran juga harus melewati tahapan co-assistant (koas) atau program profesi dokter yang umumnya berlangsung 2 tahun.
Di tahap koas, mahasiswa akan berhadapan dengan pasien dan mesti siap mendiagnosis penyakit, memeriksa fisik pasien, sampai membuat resep.
“Setelah melewati tahapan itu, barulah mahasiswa Kedokteran disumpah dan diberi gelar dokter. Masa studi tersebut juga belum termasuk program spesialisasi,” lanjutnya.
-
Kalau dokter sakit, apakah dokter juga berobat ke dokter lainnya?
Prof. Dedi mengatakan, dokter bisa mengetahui dan membedakan gejala penyakit ringan atau berat. Apabila gejalanya ringan, dokter akan berobat sendiri tanpa perlu pengobatan atau resep dokter. Namun, jika di awal sudah tampak gejala spesifik, dokter akan konsul ke spesialis.
“Saya lulusan ilmu kesehatan anak, bidang ginjal anak. Ketika ada gejala kencing manis atau diabetes pada pasien saya, saya tentu berkonsultasi dengan ahli penyakit dalam. Begitu juga dengan saya ketika sakit,” terangnya.
4. Apakah mahasiswa Kedokteran hanya bisa belajar anatomi menggunakan kadaver?
Proses pembelajaran anatomi membutuhkan kadaver (jasad manusia yang diawetkan) sebagai alat peraga. Namun, seiring berkembangnya zaman, belajar anatomi tidak selalu menggunakan kadaver.
“Urutannya, belajar dengan patung tiga dimensi dulu, lalu manekin (boneka phantom) berbahan silikon, potongan tubuh yang diawetkan (sintesa), baru kadaver,” jelas Prof. Dedi.
Hal ini karena penggunaan kadaver harus mengikuti aturan khusus. Apalagi, FK Unpas baru 4 tahun berdiri, sehingga penggunaan kadaver atau potongan tubuh yang diawetkan masih diperoleh dari perguruan tinggi pembina. (*/Nis)