Bandung, WWW.PASJABAR.COM – Proses terapi rasa takut dan fobia dalam diri seseorang memerlukan peran Psikolog.
Dalam menangani kasus tersebut, psikologi memiliki prosedur intervensi yang dilakukan oleh para Psikolog.
Salah satu kendala dalam pelaksanaan prosedur tersebut adalah memiliki biaya tinggi dan tenaga pendukung yang kompeten.
Berangkat dari kondisi tersebut, Dosen Departemen Psikologi Klinis Fakutas Psikologi Universitas Padjadjaran Aulia Iskandarsyah, M.Psi., M.Sc., PhD, mengembangkan perangkat Virtual Reality (VR) berbasis Virtual Reality Exposure Therapy untuk terapi rasa takut dan fobia.
Teknologi VR memiliki keunggulan potensial dalam melakukan terapi untuk mengatasi rasa takut dan fobia.
“Pertama, penggunaannya mudah. Seseorang bisa mengundang sesuatu/lingkungan yang dia takuti tanpa harus ke dunia nyatanya,” ungkap Aulia dalam acara Hard Talk Edisi “Virtual Reality untuk Terapi Rasa Takut dan Fobia” di kanal YouTube Unpad, Selasa (1/11/2022).
Aulia mencontohkan, seseorang yang takut terbang melalui perangkat VR akan dihadirkan lingkungan virtual seolah-olah ia sedang berada di bandara atau pesawat terbang.
Jadi Esensi Penggunaan Teknologi VR
Hal ini menjadi esensi dari penggunaan teknologi VR sebenarnya, yaitu menghadirkan realitas ke dalam dunia virtual, bukan sebaliknya.
Keunggulannya lainnya adalah efektivitas biaya karena prosedur intervensi oleh Psikolog tidak perlu dilakukan dalam ruangan khusus.
Selain itu, perangkat ini mampu memberikan kepercayaan bahwa pasien/klien sendiri yang memiliki kemampuan untuk mempelajari ulang sesuatu dan mengatasi ketakutan yang dimilikinya.
“Handling-nya ada dalam diri dia (pasien),” imbuhnya.
Lebih lanjut Aulia mengatakan, rasa takut dan fobia dalam seseorang salah satunya disebabkan dari proses belajar manusia.
Karena itu, proses intervensi psikologis yang dilakukan untuk mengatasi hal tersebut adalah dengan mempelajari ulang (re-learning) sehingga seseorang lebih bisa menjadi “rasional” dalam memandang rasa takutnya tanpa mengganggu fungsi dan kualitas hidupnya.
Pengembangan VR untuk terapi rasa takut dan fobia ini telah dilakukan Aulia sejak 2017.
Pengembangan riset ini dilakukan bersama peneliti lain di Fakultas Psikologi dan Fakultas MIPA Unpad.
Dari berbagai teknologi yang dikembangkan, teknologi VR menggunakan perangkat Oculus Quest 2 ini dinilai lebih ringkas.
Studi awal yang dilakukan berupa intervensi untuk mengatasi rasa takut akan gelap.
Aulia mengatakan, mereka yang telah mencoba mengalami penurunan intensitas rasa takut gelap.
“Bukan jadi sama sekali tidak takut, tapi intensitasnya berkurang,” imbuhnya.
Studi lainnya adalah mengatasi rasa cemas untuk berbicara di depan publik.
Dalam melakukan intervensi, tim menyiapkan level tertentu yang akan dihadapi pengguna.
Perbedaan dari setiap level adalah jumlah audiens yang akan dihadapi pengguna.
“Ketika dia mengatasi satu sesi, maka dia akan masuk ke sesi (level) berikutnya, sehingga itu menambah kepercayaan dirinya. Dan hasil risetnya menunjukkan bahwa orang yang telah melakukan latihan dengan simulasi VR ini dia lebih percaya diri dan berkurang rasa cemasnya untuk melakukan prestasi di depan orang,” paparnya.
Sebagai upaya untuk meningkatkan kepercayaan diri tersebut, tim menggunakan sistem penghargaan (reward).
Jadi, ketika seseorang berhasil menyelesaikan satu level, sistem akan menampilkan reward atau ucapan yang mendukung untuk bisa melangkah ke level berikutnya.
“Ini metode untuk memperkuat,” tambahnya.
Aulia melanjutkan, teknologi VR sendiri di luar negeri sudah lama digunakan untuk terapi.
Hanya saja, Indonesia belum terlalu familiar dengan aktivitas tersebut.
“Saya kira Unpad menjadi salah satu yang pertama mengembangkan ini,” ujarnya. (*/Nis)