JAKARTA, WWW.PASJABAR.COM – Ikatan Dokter Indonesia (IDI) dituding sebagai lembaga “superbody” yang memiliki kekuatan (power) di dalam proses pendidikan hingga praktik kedokteran. Pengurus Besar IDI membantah tudingan soal monopoli pendidikan tersebut.
“Yang menjadi pertanyaan kita, kok tiba-tiba hari ini muncul pernyataan IDI power-nya begitu besar,” kata Wakil Ketua Umum II Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Mahesa Paranadipa Maikel di Gedung Kesekretariatan IDI Jakarta, Selasa (13/12/2022).
“Dari mana pernyataan itu (IDI monopoli pendidikan, red) karena tidak didasarkan kepada fakta yang ada di Undang-Undang dan fakta yang ada di lapangan,” sambungnya.
Dilansir dari ANTARA, Mahesa menegaskan bahwa IDI tidak memiliki peran yang dominan di dalam urusan kedokteran dari hulu hingga hilir. Peran IDI, jelas dia, didasarkan pada pelaksanaan yang diamanahkan dalam Undang-Undang (UU) No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran.
Lebih lanjut, dia menjelaskan IDI hanya berperan pada dua tempat dari seluruh rangkaian proses mulai dari pendidikan hingga praktik kedokteran, yaitu terkait dengan proses penerbitan sertifikat kompetensi dari Kolegium dan rekomendasi izin praktik oleh IDI Cabang.
Sertifikat kompetensi dari Kolegium didapatkan setelah mahasiswa kedokteran diwisuda. Mahesa menjelaskan uji kompetensi untuk mendapatkan sertifikat itu diselenggarakan oleh panitia uji kompetensi nasional yang di dalamnya ada keterlibatan dari Kemendikbudristek.
“Kalau dia sudah lulus baru diwisuda. Setelah wisuda, kemudian dia dapat sertifikat profesi, kemudian dia baru dapat sertifikat kompetensi yang dari Kolegium,” ujar dia.
Rekomendasi Izin Praktik oleh IDI Bisa Didapat Setelah Dokter Punya STR
Sementara rekomendasi izin praktik oleh IDI Cabang didapatkan setelah dokter mendapatkan Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran Indonesia (KKI).
Mahesa mengatakan saat ini memang diperlukan rekomendasi dari organisasi profesi setempat atau IDI Cabang ketika seorang dokter ingin berpraktik di wilayah tertentu.
“Misalkan ada dokter lulusan Jakarta, dia mau praktik di Sulawesi atau di Kalimantan. Dia harus mendapat rekomendasi dulu dari IDI setempat. Rekomendasi itu kemudian ditujukan ke Dinas Kesehatan atau PTSP,” kata Mahesa.
Dia menambahkan bahwa selama ini pihaknya juga tidak mempermasalahkan porsi peran yang tidak begitu besar tersebut di dalam seluruh proses urusan kedokteran. Yang terpenting, ujar Mahesa, produksi dokter di Indonesia bisa bermutu.
“Tidak begitu besar perannya organisasi profesi di sini (di dalam siklus urusan kedokteran). Terus kalau ada kata-kata bahwa IDI superbody, ini faktanya, ini pelaksanaan dari dua UU, yaitu UU Praktik Kedokteran dan UU Pendidikan Kedokteran,” kata Mahesa.
Menurut Mahesa, selama ini pihaknya tidak menemukan masalah di dalam penerbitan rekomendasi izin praktik antara IDI Cabang dan pemerintah daerah. Meski demikian, dia mengakui bahwa terdapat beberapa kasus sejawat dokter yang mengalami lamanya pengurusan rekomendasi izin praktik.
“Makanya tugas dari PB IDI untuk menerbitkan aturan, bahwa kita sudah punya aturan, paling lama tujuh hari kerja penerbitan rekomendasi itu harus diterbitkan. Jadi kalau ada yang dipersulit rekomendasinya, itu bisa dilaporkan ke IDI Wilayah bahkan bisa dilaporkan ke PB IDI karena kita tidak mau pelayanan di daerah terganggu,” kata Mahesa. (*/ran)