BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Gejala difteri pada setiap orang bisa berbeda-beda. Ada orang yang tidak mengalami gejala apapun saat terinfeksi difteri, ada pula yang hanya menunjukkan gejala seperti flu ringan.
Dilansir dari ALODOKTER pada Minggu (5/3/2023), gejala difteri yang paling khas adalah timbulnya lapisan tebal berwarna keabu-abuan di tenggorokan dan amandel yang disebut dengan pseudomembran. Bersamaan dengan gejala ini, ada beberapa gejala lain yang bisa terjadi, yaitu:
- Sakit tenggorokan
- Batuk dan suara serak
- Demam ringan atau menggigil
- Pembengkakan kelenjar getah bening di leher
- Sulit menelan
- Air liur menetes terus-menerus
- Sakit kepala
Selain pada hidung dan tenggorokan, ada pula jenis difteri yang terjadi pada kulit. Ciri-cirinya adalah kulit kemerahan, timbul bintik-bintik berisi nanah, dan timbul bisul di kulit. Apabila difteri sudah sembuh, bintik-bintik dan bisul pada kulit juga akan menghilang dalam waktu 2–3 bulan.
Diketahui, Difteri umumnya menyerang anak-anak berusia di bawah 5 tahun dan orang lanjut usia di atas 60 tahun.
Selain itu, difteri juga bisa terjadi pada orang dewasa yang belum pernah mendapatkan imunisasi difteri serta orang dengan kondisi gizi yang kurang baik atau tinggal di daerah yang lingkungannya kurang sehat.
Meski sebagian orang mengalami difteri dengan gejala yang ringan, penyakit ini tidak bisa diremehkan. Apabila tidak diobati dengan tuntas, difteri dapat menyebabkan berbagai komplikasi, seperti:
1. Masalah pernapasan
Seperti yang disebutkan di atas, difteri dapat menyebabkan terbentuknya lapisan pseudomembran. Lapisan tebal ini terbentuk dari sel-sel mati, bakteri, dan zat peradangan yang mengeras. Jika tidak segera ditangani, pseudomembran bisa menyebar hingga ke jalan napas dan mengganggu masuknya udara.
2. Gangguan saraf
Racun dari kuman penyebab difteri juga dapat menyebabkan gangguan saraf, terutama saraf tenggorokan. Hal ini dapat menyebabkan Anda kesulitan untuk menelan atau berbicara.
Selain saraf tenggorokan, saraf di organ lain juga bisa rusak karena racun ini, misalnya saraf yang membantu mengendalikan otot pernapasan. Jika saraf ini rusak karena racun dari bakteri difteri, otot-otot pernapasan bisa lumpuh. Akibatnya, pernapasan tidak bisa berlangsung tanpa bantuan alat.
3. Kerusakan jantung
Racun dari bakteri penyebab difteri juga dapat masuk ke aliran darah, lalu menyebar ke seluruh tubuh dan merusak jaringan. Salah satunya adalah otot jantung. Jika racun sampai ke otot jantung, akan terjadi miokarditis atau peradangan otot jantung. Kondisi ini dapat berujung dengan gagal jantung, bahkan kematian mendadak.
Difteri umumnya diobati dengan obat antibiotik dan suntikan antitoksin untuk menetralkan racun dari kuman difteri di dalam tubuh. Namun, difteri tetap berisiko kambuh meski sudah diobati, terutama jika terjadi pada anak di bawah usia 15 tahun. Jadi, pencegahan tentunya lebih baik daripada pengobatan.
Guna mencegah difteri dan komplikasinya, lakukanlah imunisasi DPT (difteri, pertusis dan tetanus) untuk bayi dan balita yang dapat diperoleh melalui program pemerintah. Imunisasi difteri untuk orang dewasa juga bisa dilakukan jika belum pernah mendapatkan vaksinasi sebelumnya. (*/ran)