BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM– Pemerintah Indonesia terus berupaya menjamin kebebasan warganya dalam beragama dan berkeyakinan sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 29 ayat 2 UUD 1945, kendati demikian hal ini masih perlu disempurnakan dalam aktualisasinya untuk menciptakan kedamaian dan toleransi dalam hidup yang berdampingan.
Ada enam agama yang difasilitasi oleh Pemerintah Indonesia yakni Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha dan Konghuchu. Disamping itu terdapat beberapa kelompok penganut Kepercayaan Terhadap Tuhan YME, atau yang sering disebut Penghayat Kepercayaan.
Hingga saat ini, beberapa kelompok penganut penghayat Kepercayaan masih merasakan adanya kendala dalam berinteraksi dan berbaur dalam kehidupan sosial, sebagaimana yang diutarakan oleh Wakil Ketua Pengurus Budidaya 2020 sekaligus Anggota Presidium Majelis Luhur Kepercayaan Terhadap Tuhan yang Maha Esa Indonesia (MLKI) Jawa Barat, Asep Setiapujanegara.
Asep bercerita bahwa ia sempat mengalami diskriminasi sebagai seorang penghayat, di mana identitas dalam kolom Kartu Tanda Penduduk (KTP) nya sebelum bertuliskan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME itu kosong, penghayat termasuk dirinya, dipandang negatif karena dianggap atheis hingga dianggap menjadi bagian dari Partai Komunis Indonesia (PKI) dan hal ini meninggalkan trauma.
“Hal ini traumatik karena peristiwa G30S/PKI sempat dirasakan oleh kalangan sepuh yang sempat mengalaminya, dahulu dianggap PKI karena dianggap tidak beragama,” ungkapnya.
Terkait pengakuan pernikahan, Asep juga bercerita bahwa pada tahun 2001 ia sempat menggugat kepada Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil, sampai akhirnya pernikahan sebagai penghayat dapat diakui.
“Pada tahun 2001 saya sempat menggugat Disdukcasip kabupaten Bandung di PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara) kemudian berlanjut ke PTTUN (Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara) hingga ke MA (Mahkamah Agung) dan akhirnya tahun 2007 baru bisa dicatatkan perkawinannya setelah keluarnya UU Adminduk No 23 tahun 2006,” ulasnya.
Hal ini sambung Asep mengalami banyak kendala dan tantangan, terlebih karena penghayat terbiasa menerima diskriminasi sehingga memunculkan sikap nrimo pasrah, bahkan tindakan yang ia lakukan untuk memperjuangkan hak memunculkan konflik di internal penghayat sendiri.
Asep memaparkan bahwa hingga saat ini masih ada beberapa hal yang menjadi catatan dirinya sebagai seorang penghayat ; pertama, pengakuan terhadap eksistensi kelompok penghayat oleh pemerintah yang belum sepenuhnya dirasakan, seperti tidak dilibatkannya kelompok penghayat di Jawa Barat dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) padahal FKUB adalah forum yang dibentuk oleh masyarakat dan difasilitasi oleh Pemerintah dalam upaya untuk membangun, memelihara dan memberdayakan umat beragama agar terwujud kerukunan dan kesejahteraan.
Ia melanjutkan bahwa dalam keputusan MK, penghayat disejajarkan dengan enam agama yang diakui oleh pemerintah, tidak ada pembedaan, namun sayangnya penghayat tidak dilibatkan dalam kegiatan-kegiatan yang dilaksanakan oleh FKUB.
“Saya merasa bahwa pemerintah masih setengah hati secara regulasi, perbedaannya masih dirasakan oleh kami,” tuturnya.
Padahal sambung Asep, penghayat sangat membutuhkan ruang dalam FKUB untuk bersama-sama membangun toleransi dan pencegahan dalam terjadinya konflik, salah satunya melalui MLKI yang merupakan wadah tunggal nasional bagi seluruh penghayat di Indonesia dan selama ini menjadi mitra resmi pemerintah dalam melakukan koordinasi dan konsolidasi.
Di samping itu sambung Asep adalah dalam pengisian formulir-formulir untuk beberapa keperluan, di mana belum ada kolom kepercayaan pada formulir isian yang ada kolom pilihan agamanya.
Kendati hal ini sesuatu yang kecil, namun menurut Asep ini cukup menganggu sehingga ia berharap bahwa kolom dalam lembar pendaftaran maupun pendataan dapat lebih dilengkapi lagi dengan kolom Kepercayaan Terhadap Tuhan YME.
“Saya berharap bahwa eksistensi penghayat dapat diakui sepenuhnya, seperti salam rahayu, kami sangat menanti- nanti bapak presiden, menteri ataupun pejabat daerah dapat menyebutnya juga sebagai pembuka pidatonya, karena dari salam rahayu saja dampaknya akan sangat besar. Hal ini juga menandakan bahwa penghayat diakui keberadaanya sama seperti agama-agama lainnya,” tambahnya.
Hal kedua adalah fasilitas dalam bidang pendidikan, Asep memaparkan bahwa penghayat di Kota Bandung sempat mengalami kendala dalam menempuh pendidikan, namun saat Permendikbud No 27 Tahun 2016 keluar, dari sana anak-anak penghayat sudah dapat mengikuti pelajaran agama di sekolah, karena sudah ada pelajaran agama untuk penghayat kepercayaan dan sudah ada guru atau penyuluh.
Asep juga mengapresiasi hadirnya Prodi Kepercayaan Terhadap Tuhan YME di Universitas 17 Agustus 1945 (UNTAG) Semarang sehingga ke depan pelayanan dalam pendidikan penghayat dapat difasilistasi dengan lebih baik lagi.
Asep berharap bahwa pemerintah dapat memberikan yang lebih luas bagi penghayat dalam berjejaring, membuat kebijakan yang adil dan setara, tanpa diskriminasi kemudian diimplementasikan dengan baik.
“Ada perbaikan iya, masih kurang iya… Kita hanya ingin diperlakukan sama, dan berharap bisa hidup berdampingan dengan baik tanpa prasangka dipandang klenik dan lain sebagainya untuk ritual atau kegiatan keagamaan yang kami lakukan,” tambahnya.
Terakhir ia juga mengatakan generasi penghayat saat ini memiliki tantangan untuk menghapus stigma negatif dengan cara membuka diri dan bersosialisasi serta berjejaring terutama dengan lintas agama serta membangun percaya diri bahwa kedudukan semua warganegara sama dihadapan hukum.
Sementara itu, Ketua Puan Hayati Jabar 2018- 2023, Rela Susanti menambahkan bahwa sebelum adanya Permendikbud No 27 tahun 2016 beberapa siswa penghayat mengisi kolom agama mereka dengan Islam, karena Kepercayaan Terhadap Tuhan YME belum ada, akhirnya mereka yang bersekolah di sekolah negeri diwajibkan untuk memakai jilbab terlebih belum ada regulasi layanan pendidikan penghayat, hingga akhirnya orang tua penghayat harus melakukan advokasi kepada guru agama, wali kelas, kepala sekolah, termasuk menguatkan keadaan psikologis siswa penghayat agar tetap mau bersekolah dan bersosialisasi dengan teman-teman di sekolahnya.
“Selain masalah regulasi, pemahaman masyarakat juga masih kurang terkait penghayat, sehingga kadangkala dicemooh, dianggap musyrik syirik atau klenik. Bullyan ini sangat berdampak terutama untuk anak-anak sehingga kami, organisasi penghayat mulai mengadakan kelas terkait capacity building untuk anak-anak dan remaja, agar penghayat bisa menjelaskan apa yang mereka yakini saat ada orang lain yang bertanya sehingga dapat mengurangi stigma,” ungkap Rela.
Salah satu penghayat yang berprofesi sebagai guru, Hendrik Novianto juga mengatakan bahwa ia sempat menerima bullying saat duduk di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA).
“Saat saya bersekolah di SMA sekitar tahun 1998, pihak sekolah mengetahui bahwa saya adalah seorang penghayat, tiba-tiba dalam sebuah kegiatan, seorang guru mengatakan bahwa ‘sekolah kami tidak menerima orang yang tidak beragama’ hal ini membuat saya sangat terkejut, terlebih teman-teman saya pun menyadari bahwa pernyataan tersebut ditujukan kepada saya,” ungkapnya.
“Bukan hanya dalam sekolah, diskriminasi juga dirasakan oleh penghayat yang menjual makanan, saya dengar bahkan tetangganya berkata ‘ulah dubelieun si eta mah…’ yang intinya jangan dibeli jualannya karena merupakan seorang penghayat,” tambahnya.
Kompleksnya permasalahan di bidang pendidikan ini pun membuat beberapa penghayat terhambat atau bahkan tidak memiliki pendidikan yang tinggi sehingga menyebabkan sempitnya akses dalam bekerja dan kesejahteraan penghayat juga rendah.
Menggali Akar Stigma
Ketua MLKI Kota Bandung, Bonie Nugraha menyampaikan bahwa permasalahan penghayat dimulai saat Indonesia baru merdeka, pemerintah kemudian mengakomodir agama yang dianut oleh mayoritas masyarakat, namun karena jumlah penghayat hanya sedikit sehingga tidak turut terakomodir dan mayoritas penghayat kepercayaan memutuskan untuk mengisi kolom KTP mereka dengan agama lain.
“Pada awalnya kami tidak diberi ruang atau fasilitas oleh pemerintah karena jumlahnya sedikit, sampai pada tahun 2006 pemerintah akhirnya menyadari bahwa sekecil apapun penganut agama lokal harus diperlakukan setara dan proposional, namun penghayat kepercayaan kebanyakan sudah kadung mencantumkan agama lain di KTP mereka, hal ini yang menjadi mula melahirkan stigma,” tuturnya.
Stigma ini muncul karena penghayat mencantumkan agama lain di KTP tapi masih melakukan ajaran dan tradisi penghayat sehingga yang terjadi adalah sinkretisme.
“Dari sana ada stigma seperti aliran sesat, animisme, musyrik dan lain-lain,” tuturnya.
Berbeda dengan penghayat di daerah Jawa Tengah, sambung Bonie saat pemerintah memberikan fasilitas kepada penghayat mereka berbondong-bondong untuk mengganti kolom kepercayaan mereka, namun di Jawa Barat tidak demikian, hanya sebagian kecil yang akhirnya mengganti kolom agama mereka dengan Kepercayaan Terhadap Tuhan YME di KTP.
“Hal ini terjadi dengan berbagai alasan pragmatis seperti takut tidak mendapat fasilitas, takut tidak mendapat warisan dari orang tua, takut dosa masuk neraka, takut dijauhi teman dan lain-lain ,” ujarnya.
Bonie melanjutkan bahwa para penghayat harus bisa mewujudkan identitas yang sesungguhnya dan hal ini perlu dorongan dari tokoh penghayat untuk memberikan kesadaran tersebut.
“Pemerintah sudah melaju ke arah yang baik, tinggal dioptimalkan saja baik melalui sosialisasi kegiatan lintas agama dan forum-forum lainnya,” tandasnya.
Disbudpar Menjaga Eksistensi Penghayat
Sementara itu, Kepala Bidang Kajian Budaya Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Kota Bandung, Deni Kurniadi mengungkapkan bahwa eksistensi penghayat di Kota Bandung dalam melakukan aktifitasnya dilindungi sesuai dengan UU 5 tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan.
“Kami dari Disbudpar Kota Bandung mengawal UU No 5 tentang Kemajuan kebudayaan untuk menjaga manuskrip, tradisi lisan, adat istiadat, pengetahuan tradisional, bahasa, seni hingga olah raga kebudayaan penghayat masuk di sini,” ungkapnya.
“Penghayat memiliki ritus kabuyutan kalender sunda juga teknologi tradisional sendiri hal ini yang terus kami dukung dan jaga. Kami juga menyediakan ruang di Mayang Sunda, Bandung Creative Hub, Teras Sunda Cibiru jika penghayat membutuhkan ruang untuk ritual kebudayaan,” tuturnya.
Deni melanjutkan bahwa Disbudpar juga turut melakukan segala macam diplomasi agar tradisi yang dilakukan oleh penghayat dapat masuk ke dalam Warisan Budaya Tak Benda (WBTB).
“Selain itu, kami juga mendorong agar masyarakat dapat saling menghargai dan penghayat dapat melakukan sosialisasi terkait tradisi mereka agar masyarakat lebih mengenal dan memahami agar stigma negatif dapat dikurangi. Jika komunikasi dan sosialisasi berlangsung dengan baik dari tingkat RT dan RW, maka kolaborasi dapat dilakukan, menjaga kebhinekaan dan kondusifitas dapat kita dijaga bersama,” Tandasnya.
Bakesbangpol Menjaga Kerukunan Beragama dan Berkepercayaan
Kepala Bidang Ketahanan Ekonomi, Sosial Budaya, Agama, dan Ormas Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) Kota Bandung Apep Insan Parid bahwa salah satu tugas Bakesbangpol menjaga kondusifitas Kota Bandung yang salah satunya adalah menjaga kerukunan umat beragama dan berkepercayaan.
“Melalui berbagai program kami berupaya menjaga kerukunan antar umat beragama dan kepercayaan termasuk penghayat kepercayaan agar tidak termarjinalkan dan mencegah terjadinya konflik sosial di masyarakat karena justifikasi yang salah,” ungkapnya.
Selama ini sambung Apep pihaknya juga selalu melakukan koordinasi dengan berbagai perangkat daerah di Pemerintah Kota Bandung untuk mendiskusikan pemenuhan hak yang diperlukan warga penghayat kepercayaan seperti dokumen identitas kependudukan, hak Pendidikan, serta hak-hak sipil lainnya.
“Pemerintah harus memberikan fasilitas yang sama kepada semua warga masyarakat Kota Bandung. Adapun stigma dari masyarakat hal ini seringkali terjadi karena faktor ketidaktahuan, sehingga perlu adanya keterbukaan dari penghayat terkait kepercayaan mereka sehingga tidak terjadi salah sangka dan untuk mengikis stigma tersebut,” paparnya.
“Berdasarkan data dari Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kota Bandung, sampai dengan tahun 2022, jumlah warga Kota Bandung yang sudah teregistrasi sebagai Penghayat Kepercayaan sejumlah 122 orang. Pada kenyataannya mungkin masih banyak warga penghayat kepercayaan yang teregistrasi pada data kependudukannya masih tertulis salah satu agama. menurut saya hal ini harus dibereskan dengan sikap terbuka dan keinginan untuk mengubah data kependudukan yang masih mencantumkan salah satu agama bagi para penghayat kepercayaan. Tujuannya adalah untuk mencegah miss komunikasi yang berdampak pada stigma negatif,” tandasnya.
FKUB Sinergi Tanpa Diskriminasi
Sementara itu Anggota FKUB Kota Bandung sekaligus Sekretaris PCNU Kota Bandung, KH.Wahyul Afif Al-Ghafiqi yang akrab disapa Kang Mako mengungkapkan bahwa FKUB terus bersinergi bersama penghayat kepercayaan untuk membangun NKRI berdampingan dengan agama yang lain khususnya di Kota Bandung.
“Kami terus berupaya bergandengan tangan untuk membangun kerukunan, bersinergi mewujudkan Indonesia harmonis, kendati saat ini belum ada payung hukum atau aturan dari SKB 2 Menteri terkait saudara kita dari aliran kepercayaan, namun FKUB tetap melakukan koordinasi dan melibatkan penghayat dalam program yang kami lakukan,” tuturnya.
“FKUB jangan dipandang dari sisi organisasinya saja tapi juga personal FKUB nya yang juga aktif dalam gerakan lintas iman,” imbuhnya.
Mako mengatakan bahwa peran pemerintah juga sangat signifikan dalam melindungi eksistensi penghayat di Kota Bandung melalui regulasi yang dikeluarkan.
“Fasilitasi dari pemerintah kepada penghayat terus bergerak dan akan semakin cepat jika pemimpinnya yang terjun langsung, misalnya wali kota yang datang langsung ke acara majelis luhur, ini bisa menjadi kampanye yang baik untuk melahirkan kesadaran masyarakat secara luas akan adanya penghayat sehingga dapat mengurangi stigma,” ulasnya.
Mako juga menambahkan bahwa penghayat kepercayaan dapat lebih memperkuat persatuan melalui organisasi sehingga lebih mudah dalam dalam melakukan koordinasi.
“Saat ini organisasi penghayat terpisah-pisah ada kaharingan, sunda wiwitan dan lain-lain, ini membuat agak susah bergerak, termasuk saat FKUB mengundang penghayat dalam sebuah program, karena ada banyak sehingga ada yang terlibatkan dan ada juga yang luput, namun jika dalam satu organisasi yang sama tentu koordinasinya akan jauh lebih mudah,” ungkapnya.
Kemenag : Stigma Masih Lekat di Masyarakat Indonesia
Penyuluh Agama Katolik Kemenag Kota Bandung, Maman Sutarman, SFK mengakui bahwa memang selama ini Kemenag tidak pernah melibatkan penghayat baik dalam sosialisasi maupun pengarusutamaan toleransi dan moderasi beragama.
“Pembinaan ke arah tersebut biasanya dilakukan intern oleh Dinas Pendidikan setempat dan atau bekerjasama dengan Kesbangpol,” ucapnya.
Ia juga mengungkapkan bahwa stigma mayoritas dan minoritas di Indonesia cukup komplek. Ini bisa menimpa kelompok agama yang berbeda; kelompok seagama tapi memiliki keyakinan yang berbeda (seperti antara Syiah dan Ahmadiyah), atau kelompok dari etnis atau warna kulit berbeda (seperti pribumi dan keturunan) juga mereka yang berbicara dengan bahasa yang berbeda.
“Selama stigma mayoritas dan minoritas itu dipelihara, maka kelompok minoritaslah yang akan menjadi korban. Istilah minoritas jangan hanya difahami dari segi jumlah saja Contoh: kaum perempuan di Indonesia dari segi jumlah mayoritas, Tetapi kerap kali menjadi kaum yang tertindas,” ungkapnya
Ia melanjutkan bahwa istilah minoritas lebih tepat difahami sebagai : “mereka yang secara objektif menempati posisi yang tak menguntungkan dalam masyarakat”.
Kelompok ini menghadapi beberapa persoalan sosial dan kebangsaan seperti terkait kebijakan publik, perlindungan hukum, dan stigma sosial seperti penghayat kepercayaan.
“Karena Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa lebih dipandang sebagai kebudayaan peninggalan nenek moyang dibandingkan sebagai sebuah agama, akibatnya, mereka tidak masuk dalam nomenklatur di Kementerian Agama, melainkan dibawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dan dibawah Pengawasan BAKORPAKEM,” ujarnya.
Maman memaparkan bahwa tentu penempatan penghayat sebagai “budaya” hingga kini masih terbuka untuk diperdebatkan, karena banyak sosiolog maupun antropolog berani menyebut mereka sebagai “agama asli” atau “agama leluhur” yang sudah eksis jauh sebelum agama-agama “resmi” masuk ke bumi nusantara.
“Stigma bahwa Kepercayaan Terhadap Tuhan YME bukan agama, berdampak pada kebijakan tidak diakuinya perkawinan mereka – yang di Indonesia diatur dalam UU Perkawinan 1974. Juga lama sekali mereka harus berjuang agar dalam KTP mereka bisa dituliskan sebagai Penganut Kepercayaan terhadap Tuhan YME dan baru diakomodir oleh Mendagri Cahyo Kumolo tahun 2018, setelah Kelompok Kepercayaan menang dalam gugatan di MK,” ulasnya.
Stigma bahwa Kepercayaan Terhadap Tuhan YME bukan agama, semakin menguatkan pandangan dan sikap masyarakat yang menganggap mereka “kafir”, “sesat”, “tidak sehat”, bahkan tidak beradab. Mereka lalu “dipaksa” dipertobatkan agar memeluk agama yang diakui pemerintah, sebagaimana nampak dalam UU No. 1/PNPS/1965.
Dalam penjelasan UU tersebut, misalnya, disebutkan: “Terhadap badan/aliran kebatinan, Pemerintah berusaha menyalurkannya kearah pandangan yang sehat dan kearah Ke-Tuhanan Yang Maha Esa.”
“Para pengikut minoritas agama tertentu dianggap sebagai “tidak beragama” atau “belum beragama” atau mengikuti ajaran yang sesat dan tidak sehat, sehingga mereka perlu diobati dan dibawa kembali atau dibina kepada pemahaman agama yang sehat,” ucapnya.
Stigma mayoritas dan minoritas, menumbuhkan sikap kelompok mayoritas sebagai kelompok yang punya hak yang harus dipenuhi oleh negara, yang menentukan kelompok minoritas, yang serba ingin diutamakan dalam pelayanan negara. Bila pemerintah tidak bijaksana – sangat mungkin pemerintah akhirnya distir oleh mereka.
“Bagaimana pun stigma mayoritas-minoritas perlu disudahi. Dalam wacana dan kebijakan publik stigma ini tidak boleh lagi muncul istilah mayoritas-minoritas. Semua adalah warga negara, harus diakui sebagai pribadi yang mempunyai kedudukan yang sama di mata hukum, yang punya hak dan kewajiban yang sama. Tetapi pengakuan itu harus disertai dengan pemenuhan dan perlakuan secara adil,” urainya.
Maman mengatakan bahwa masyarakat perlu dididik bersikap kritis. Mereka hendaknya tidak lagi mentolerir tindakan-tindakan yang mengatasnamakan ajaran agama yang seolah-olah membenarkan tindakan diskriminatif, intimidatif, terror dan intoleran sebagai Tindakan yang sah dan diperbolehkan.
“Bagaimana pun juga Tindakan-tindakan semacam itu merupakan perendahan terhadap keluhuran martabat manusia. Segenap lapisan masyarakat diharapkan mendukung pengarusutamaan moderasi beragama yang telah dimulai oleh pemerintah,” pungkasnya. (tiwi)