*)CAHAYA PASUNDAN
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
Bekerja, dalam pandangan Islam, adalah usaha yang dilakukan sungguh-sungguh dengan mengerahkan pikiran, aset dan zikir untuk memperlihatkan dirinya sebagai hamba Allah yang harus menaklukkan dunia dan memposisikan diri sebagai bagian dari masyarakat yang paling baik (khairu ummah).
Bekerja menjadi cara untuk memenuhi kebutuhan fisik, psikologis, dan sosial. Dengan jalan bekerja, manusia bisa mendapatkan kepuasan yang meliputi kebutuhan fisik, rasa tenang dan aman, dan kebutuhan sosial.
Bekerja, dalam pengertian Islam, merupakan kewajiban dan sekaligus juga ibadah sebagai bukti pengabdian dan rasa syukur dalam memenuhi panggilan Ilahi. Bumi sendiri diciptakan sebagai ujian untuk mereka yang memiliki etos terbaik.
Tidak semua pekerjaan diridhai dan bernilai mulia di sisi Allah. Pekerjaan yang diridhai dan bernilai mulai di sisi-Nya hanyalah pekerjaan yang dilandasi akhlak dan etika Islam yang sesuai dengan aturan-aturan yang telah ditentukan-Nya, antara lain:
1. Dengan niat ikhlas untuk mencari ridha Allah Swt (lillahi ta’ala). Bekerja, walaupun untuk mencari harta duniawi, akan bernilai ibadah jika diniatkan untuk mengharap ridha Allah Swt. Oleh karena itu, bekerja harus diniati dengan tulus. Artinya bekerja tidak melulu untuk mencari uang dan keuntungan tetapi, lebih daripada itu, untuk mencari nafkah agar dapat menunaikan kewajiban-kewajiban sebagai hamba kepada Tuhannya.
2. Diiringi doa. Nabi Saw bersabda, “Barangsiapa yang dibukakan baginya pintu berdoa berarti telah dibukakan baginya pintu-pintu rahmat. Tidak ada satu permohonan yang lebih dicintai daripada permohonan keselamatan, Tidak ada yang dapat menolak qadha Allah selain doa seseorang yang dipanjatkan kepada-Nya. Oleh karena itu, rajinlah berdoa.” (Hr At-Tirmidzi)
3. Disertai tawakal. Tawakal adalah berserah diri kepada ketetapan dan takdir Allah Swt. Seseorang yang bekerja, hendaklah ia bertawakal kepada Allah. Dengan tawakal, ia ikhlas atas apa pun yang diperolehnya setelah ia bekerja keras dan bersungguh-sungguh.
4. Diakhiri dengan bersyukur. Ketika seseorang telah selesai bekerja, berapa pun perolehannya, maka hendaklah ia bersyukur. Karena, apa pun yang diperolehnya adalah rezeki dari Allah Swt. Dalam Al-Ouran disebutkan:
Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih. (Os Ibrahim [114]: 7)
Cara bersyukur atas nikmat Allah adalah mengucapkan syukur (dengan hati dan lisan dengan membaca: Alhamdulillah); menjaga dan memelihara nikmat yang diberikan; dan menggunakannya untuk hal-hal yang diridhai Allah Swt.
5. Tekun dan bersungguh-sungguh (itqan). Totalitas dalam bekerja sangatlah penting dan menjadi hal yang mendasar. Sehingga akan terlihat seberapa profesional seseorang dalam pekerjaannya. Hal ini ditunjukkan dengan memenuhi kewajiban-kewajiban dalam pekerjaan, seperti kehadiran yang tepat waktu, menyelesaikan pekerjaan secara tuntas, serta tidak menunda-nunda dan mengabaikan pekerjaan. Diriwayatkan dari ‘A’isyah Ra, bahwa Rasulullah Saw bersabda, “Sungguh Allah Swt mencintai seorang hamba yang apabila ia bekerja maka ia itqan (menyempurnakan) pekerjaannya.” (Hr Ath-Thabrani)
6. Mengutamakan kejujuran dan amanah dalam bekerja. Setiap pekerjaan yang kita lakukan pasti harus dipertanggungjawabkan baik di hadapan Allah Swt maupun di hadapan manusia. Oleh karena itu, pekerjaan harus dilakukan dengan jujur dan amanah.
7. Disiplin dan bekerja secara profesional. Hal ini amat penting bagi seorang pekerja, yaitu kemampuan untuk memahami dan melaksanakan pekerjaan sesuai dengan keahlian atau disiplin ilmunya. Bekerja tidak cukup hanya dengan memegang teguh sifat-sifat amanah, berakhlak, dan bertakwa, namun juga harus disiplin dan mengerti serta menguasai benar pekerjaannya. Umar Ra pernah mempekerjakan orang dengan memilih yang profesional dalam bidangnya. Bahkan, Rasulullah Saw mengingatkan, “Bila suatu pekerjaan diserahkan kepada orang yang bukan ahlinya maka tunggulah kehancurannya.” Jadi, tanpa profesionalisme atau keahlian, suatu usaha akan mengalami kegagalan dan kebangkrutan, atau setidaknya menghasilkan produk yang tidak berkualitas. Allah Swt berfirman:
Katakanlah, “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing.” Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya. (Os al-Isra’ [18]: 84)
8. Berpegang pada prinsip-prinsip syariat. Semakin pesat kemajuan zaman, prinsip-prinsip syariat dalam bekerja sepertinya sulit dipertahankan. Tentu saja hal itu menjadi tantangan bagi seseorang yang beriman dalam pekerjaannya. Prinsip-prinsip tersebut antara lain adalah selalu memperhatikan kehalalan suatu pekerjaan dan produk yang dihasilkan, yang dapat dikategorikan ke dalam dua bagian. Pertama, dari sisi zat atau substansi pekerjaan, seperti tidak memproduksi produk yang haram dan tidak menyebarluaskan kefasadan (pornografi, hoaks, permusuhan, dan lain-lain). Kedua, dari sisi penunjang yang tidak terkait langsung dengan pekerjaan, seperti menutup aurat, menjaga pandangan, dan menghindari percampuran antara laki-laki dan perempuan.
9. Menjunjung prinsip persaudaraan. Persaingan atau kompetisi dalam pekerjaan lumrah terjadi, namun hal itu tidak boleh membuat kita jauh dari prinsip persaudaraan, terlebih lagi antara sesama Muslim. Hal-hal yang sekiranya akan menimbulkan ketidakharmonisan dan apalagi permusuhan harus dihindari, sehingga hubungan silaturahmi tetap terjaga dengan baik. (*)