Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
Konsumsi secara umum terkait dengan aktivitas ekonomi dan didefinisikan sebagai penggunaan barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan manusia.Dalam ekonomi Islam, konsumsi juga memiliki pengertian yang sama, tapi memiliki perbedaan dalam setiap yang melingkupinya. Perbedaan mendasar dengan konsumsi ekonomi konvensional adalah tujuan dan cara pencapaiannya harus memenuhi kaidah pedoman syariat Islam.
Di bidang ekonomi, etika Islam berarti seseorang mengonsumsi barang dengan cara yang halal dan baik. Artinya, perbuatan baik dalam mencari barang atau rezeki, baik untuk dikonsumsi maupun diproduksi, merupakan bentuk ibadah kepada Allah Swt.
Seperti disebutkan dalam Al-Ouran, Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi dengan cara yang sah dan baik. (Os al-Baqarah [2]: 268)
Oleh karena itu, orang mukmin berusaha mencari kenikmatan dengan menaati perintah Allah dan memuaskan diri dengan anugerah-Nya selama tidak melibatkan unsur-unsur yang merusak.
Allah Swt berfirman, Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia ciptakan untuk hamba-hamba Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan)? (Qs al-A’raf, 7: 32)
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut israf (pemborosan) atau tabdzir (penggunaan barang secara sia-sia). Tabdzir berarti mempergunakan barang secara salah untuk tujuan-tujuan yang terlarang, seperti penyuapan, pelanggaran hukum, atau tanpa aturan. Setiap kategori ini menyangkut beberapa jenis penggunaan harta yang hampir menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumerisme.
Mengonsumsi benda milik orang lain dengan cara batil atau tanpa izin dari pemiliknya adalah perbuatan haram. Al-Ouran melarang praktik tidak adil ini dan menyebutnya sebagai akl bi al. bathil (makan dengan cara yang batil).
Adapun dalam akhlak berkonsumsi, beberapa hal berikut harus diperhatikan, yaitu:
Banyak faktor yang mempengaruhi besarnya pengeluaran konsumsi rumah tangga. Faktor-faktor tersebut dapat diklasifikasikan ke dalam faktor-faktor ekonomi dan non-ekonomi. Faktor ekonomi adalah:
Adapun faktor non-ekonomi mencakup (1) kebiasaan masyarakat dan tingkat pendidikan, dan (2) mode dan jumlah penduduk.
Ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni tidak kikir dan juga tidak boros. Konsumsi yang melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap israf dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri Islam adalah mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan buruk dalam masyarakat. Dalam hukum (fikih) Islam, orang semacam itu dikenai pembatasan dan, bila dianggap perlu, dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan syariat, dia harus diperlakukan sebagai orang yang tidak berkemampuan dan orang yang pengurusan hartanya harus diwakilkan kepada orang lain.
Oleh karena itu, etika Islam dimaksudkan untuk membentuk pribadi-pribadi mukmin, yang tidak hanya menghasilkan kepuasan konsumtif melainkan mampu menciptakan kepuasan kreatif untuk menghasilkan kepuasan yang produktif. Pribadi-pribadi Muslim demikian tentu tidak akan menjadi musrif atau mubdzir, tetapi mampu menciptakan produktivitas yang optimal yang membawa maslahat dan rahmatan lil-alamin.
Imam al-Ghazali mengungkapkan teori konsumsi Islam. Pemikiran tentang fungsi konsumsi Al-Ghazali diawali dari sebuah pemikiran bahwa kesejahteraan (maslahah) suatu masyarakat bergantung pada pencarian dan pemeliharaan lima tujuan dasar, yaitu agama (ad-din), jiwa (nafs), harta (mal), akal (‘aql), dan keturunan (nasl).
Dalam aspek ekonomi, fungsi kesejahteraan sosial disusun secara hierarkis meliputi kebutuhan (dharuriyah), kesenangan dan kenyamanan (hajiyat) dan kemewahan (tahsinat).
Kunci pemeliharaan lima tujuan dasar terletak pada penyediaan tingkat pertama (kebutuhan atau dharuriyah) yaitu kebutuhan makanan, pakaian dan perumahan. Kebutuhan dasar ini cenderung feksibel mengikuti waktu, tempat dan sosio-psikologis. Kelompok kebutuhan kedua (kesenangan atau hajah) terdiri dari semua kegiatan dan hal-hal yang tidak vital bagi lima fondasi tersebut tetapi tetap diperlukan untuk menghilangkan rintangan dan kesukaran dalam hidup. Kelompok ketiga mancakup kegiatan-kegiatan dan hal-hal yang lebih jauh dari sekadar kenyamanan, meliputi hal-hal yang melengkapi atau menghiasi hidup.
Teori konsumsi yang dijelaskan oleh Imam al-Ghazali memberi acuan yang lebih konkret tentang perilaku konsumsi. Pertama, manusia harus memenuhi kebutuhan dasar demi pemeliharaan agama, jiwa, keturunan, harta dan akal.
Tetapi bukan berarti Al-Ghazali mengecam pemenuhan unsur kenyamanan dan kemewahan, karena apabila manusia dan masyarakat berhenti pada pemenuhan kebutuhan yang subsisten (sadd ar-ramag) dan menjadi sangat lemah dan kemudian angka kematian meningkat, maka semua pekerjaan dan kreativitas akan terhenti dan masyarakat akan binasa. Selanjutnya, agama akan hancur, padahal kehidupan dunia adalah persiapan bagi kehidupan akhirat. (*)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Aksi korporasi bank bjb kembali mencatatkan pencapaian gemilang. Obligasi Keberlanjutan atau Sustainability…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Persib Bandung kontra Borneo FC dalam lanjutan Liga 1 2024/2025 berangsung sengit. Tampil…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPR RI Cucun Syamsurijal melaporkan MA anggota DPRD Kabupaten Bandung…
KABUPATEN BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPP PKB, Cucun Syamsurijal mengatakan jika pesta demokrasi (Pilkada)…
WWW.PASJABAR.COM -- Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, memberikan pernyataan terkait peluang kiper Como 1907, Emil…
WWW.PASJABAR.COM -- Insting Shin Tae-yong sebagai pelatih terbukti dengan memasang Marselino Ferdinan sebagai starter saat…