*)CAHAYA PASUNDAN
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
Konsumsi merupakan bagian aktivitas manusia dalam memenuhi kebutuhan vital bagi kehidupan dan sebagai fitrah untuk mempertahankan hidup.
Jika manusia masih berada dalam fitrah yang suci, maka ia sadar bahwa konsumsi memiliki keterbatasan baik dari segi kemampuan finansial maupun barang yang akan dikonsumsi sesuai kebutuhan.
Dalam Islam, aktivitas konsumsi diatur dalam bingkai syariat, sehingga menuntun seorang Muslim agar tidak terjerumus dalam keharaman.
Pertama, sumber yang berasal dari Al-Ouran dan Sunnah Rasul
“Makan dan minumlah, namun janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (Qs al-A’raf [7]: 31)
Sumber yang berasal dari Sunnah Rasul, antara lain, adalah hadis yang diriwayatkan Abu Sa’id al-Khudri Ra: Ketika kami bepergian bersama Nabi Saw, tiba-tiba datang seseorang yang berkendaraan sambil menoleh ke kanan dan ke kiri seolah-olah mengharapkan bantuan makanan. Maka Nabi Saw bersabda,
“Siapa yang punya kelebihan kendaraan hendaklah memberi kepada orang yang tidak punya kendaraan. Dan siapa yang punya kelebihan bekal hendaklah memberi kepada orang yang tidak berbekal.”
Kemudian Rasulullah menyebut jenis-jenis kekayaan hingga kami merasa tidak berhak memiliki sesuatu yang lebih dari kebutuhan. (Hr Muslim).
Tujuan utama konsumsi bagi seorang Muslim adalah sarana penolong untuk beribadah kepada Allah Swt. Mengonsumsi sesuatu dengan niat agar mendapat tenaga untuk ibadah kepada Allah Swt akan menjadikan konsumsi bernilai ibadah sehingga mendatangkan pahala. Tujuan konsumsi dalam ajaran Islam antara lain:
1. Untuk mengharap ridha Allah Swt. Tercapainya kebaikan dan dorongan jiwa mulia harus direalisasikan untuk mendapatkan ridha Allah Swt. Kehidupan dunia merupakan jalan menuju kehidupan abadi di akhirat yang merupakan tujuan orang saleh dalam setiap aktivitasnya. Allah Swt berfirman:
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan. (Qs al-Qashash [28]: 77)
2. Untuk mewujudkan kerja sama antar anggota masyarakat dan tersedianya jaminan sosial. Takdir manusia di dunia ini berbeda-beda, ada yang ditakdirkan hidup makmur dan yang sebaliknya, serta ada yang pula berada di posisi pertengahan. Tidak pantas seorang Muslim membiarkan kerabat, tetangga atau saudara Muslim kelaparan dan sengsara, tanpa melakukan apapun untuk membantunya.
3. Untuk menumbuhkan sikap tanggung jawab terhadap kemakmuran diri, keluarga dan masyarakat sebagai bagian dari aktivitas ekonomi. Islam mewajibkan pemberian nafkah terhadap beberapa kelompok masyarakat yang termasuk dalam kategori kerabat.
Dalam berkonsumsi, seorang Muslim harus memperhatikan kebaikan (kehalalan) benda yang akan dikonsumsinya. Dari segi hukum, para fuqaha mengklasifikasikan kadar konsumsi makanan baik ke dalam empat tingkatan (Ibn Muflih, 3: 197-204).
Pertama, wajib, yaitu kadar untuk mencegah kebinasaan, sehingga jika tidak mengonsumsi dalam kadar tersebut, padahal mampu, maka dikategorikan perbuatan dosa.
Kedua, sunnah, yaitu mengonsumsi yang lebih dari kadar di atas untuk mendapatkan cukup tenaga sehingga dapat menjalankan ibadah dengan mudah.
Ketiga, mubah, yaitu mengonsumsi makanan lebih kadar sunna sampai batas kenyang. Keempat, konsumsi yang melebihi batas kenyang, yang tentang hal ini ada dua pendapat; sebagian menyatakan makruh dan sebagian lagi menyebutnya haram.
Konsumsi bagi seorang Muslim hanyalah perantara untuk mendapatkan tenaga sehingga dapat menjalankan ibadah kepada Allah. Ia tidak akan mencelakakan dirinya di dunia dan akhirat dengan mengonsumsi sesuatu dalam kadar yang melampaui batas. Sehingga membuatnya hanyut dalam kesenangan duniawi sehingga melalaikan tugas utamanya dalam kehidupan ini. Allah Swt berfirman:
“Kamu telah menghabiskan rezekimu yang baik dalam kehidupan duniawi (saja) dan kamu telah bersenang-senang dengannya. (Os al-Ahqaf [46]: 20)
Maksud menghabiskan rezeki yang baik di sini adalah lupa bersyukur dan mengabaikan orang lain. Oleh sebab itu, konsumsi dalam Islam harus menjadikan ingat kepada Pemberi rezeki, sehingga tidak boros, tidak kikir, dan tidak memakan benda haram. Konsumsi dalam Islam menjauhkan seseorang dari sifat egois, sehingga ia selalu mau berbagi dengan fakir, miskin dan duafa yang mumbutuhkan. (*)