Oleh Didi Turmudzi
Direktur Pascasarjana Universitas Pasundan
APA boleh buat, setahun lebih menjelang momentum Pemilu 2024, penetapan status sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek stasiun pemancar (base transceiver station/BTS) di kawasan tertinggal, terdepan, dan terluar dan kemudian berlanjut dengan penahanan Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) Johnny G Plate oleh Kejaksaan Agung, Rabu (17/5/2023), mau tidak mau telah memunculkan persepsi publik bahwa peristiwa ini lebih bermotifkan politik alih-alih penegakan hukum.
Tentu saja sah-sah saja masyarakat berpikir demikian dan memang wajar. Apalagi sebelumnya, publik disodorkan dinamika politik yang menunjukkan ada gelagat berpalingnya salah satu partai politik dari koalisi pemerintah. Partai Nasional Demokrat (Nasdem) sebagaimana diketahui telah menentukan sosok calon presiden yang dalam persepsi publik mungkin berbeda dengan pilihan pihak penguasa saat ini.
Kemudian dalam struktur kelembagaan bernegara, Kejaksaan Agung merupakan instrumen penegakan hukum (pengacara negara), berada di barisan eksekutif atau di bawah kendali langsung oleh Presiden. Hal ini bisa menimbulkan tafsir bahwa Presiden bisa mengontrol arah Kejakasaan Agung karena Jaksa Agung juga ditunjuk oleh Presiden.
Hal-hal demikian membuat logika berpikir sederhana. Publik akan mengaitkannya dengan momen kontestasi politik yang sebentar lagi menjelang. Hal demikian sangat lumrah untuk diterima. Hanya saja, kita tetap harus mendudukkan perkara seperti ini dari pandangan normatif. Kita sepakat bahwa dari sudut apapun, korupsi adalah kejahatan masif yang tentu saja harus kita enyahkan.
Meski kita juga tetap berpijak pada kritisisme agar setiap langkah penegakan hukum memang dilakukan dengan tanpa pandang bulu apalagi tebang pilih. Upaya penegakan hukum harus mutlak dilakukan demi hukum itu sendiri dan demi keadilan. Bukan dimensi politik sebagai sandaran!
Hukum sebagai Panglima
Salah seorang “bapak hukum” Indonesia, Mochtar Kusumaatmadja, pernah menyatakan bahwa hukum itu adalah “panglima”. Pendapat tersebut sangatlah tepat. Artinya, semua aspek dalam kehidupan ini haruslah diatur oleh hukum. Kemudian, Hans Kelsen dengan teorinya hukum murni (the pure theory of law) pada intinya menekankan bahwa hukum itu harus dijaga kemurniannya. Yaitu, berpegang pada norma atau kaedah yang sudah ditentukan.
Singkat kata, sejatinya hukum tidak boleh diintervensi oleh anasir-anasir non- yuridis, seperti politik, sosial, ekonomi dan sebagainya. Hal ini dimaksudkan agar hukum benar-benar dijadikan pegangan. Maka, barangsiapa yang melanggarnya harus dikenakan sanksi.
Selama ini kesan bahwa praktek penerapan hukum di kalangan masyarakat yang dilakukan oleh para penegak hukum tidak sesuai dengan yang diharapkan. Kesan seperti ini masih sangat kental mengemuka di kalangan masyarakat. Hal ini dikarenakan masih muncul penerapan hukum di negeri ini yang disalahgunakan oleh para penegak hukum untuk kepentingan sendiri atau kelompok.
Tak heran kalau masih muncul kesan bagi sebagian masyarakat, hukum tentang keadilan itu hanya seperti mitos. Kendati dinyatakan hukum adalah panglima, namun kenyataan yang terjadi, hukum hanya membawa penderitaan bagi kalangan bawah.
Momentum Kejagung
Melihat pada kontroversi kasus hukum yang diduga melibatkan salah satu menteri di jajaran kabinet saat ini, sesungguhnya merupakan momentum bagi Kejaksaan Agung untuk menunjukkan integritas lembaga ini bahwa hukum di atas segalanya.
Jika kita mengacu pada pernyataan Menkopolhukam Mahfud MD yang dinilai sebagai salah satu dari segelintir pejabat negara yang fokal, telah menepis tudingan unsur adanya politisasi pemerintah pascapencalonan capres dari salah satu parpol.
Mahfud menegaskan, penetapan tersangka kepada Johnny murni bagian dari proses hukum di Kejaksaan Agung (Kejagung) RI. Oleh sebab itu, ia berharap seluruh pihak tidak berspekulasi atau memunculkan isu liar di masyarakat.
“Penyidikan ini sudah dimulai Juni 2022, Maret minta perpanjangan, sudah diperpanjang, kok, sampai April, enggak bener. Ditinjau Mei kok enggak bener, Juni, lalu dimulai penyelidikan dan sekarang ini proses hukum terus berjalan,” kata Mahfud seperti dikutip di berbagai media.
Mari sama-sama kita pegang pernyataan tersebut ketimbang berspekulasi tanpa arah. Meski, tentu saja kita terus memantau dan mengkritisi jalannya proses hukum dugaan korupsi BTS ini. Inilah saatnya Kejaksaan Agung RI menunjukkan reformasi kelembagaan secara utuh. Waktunya bagi Kejaksaan Agung untuk membuktikan diri memang tegak lurus dalam upaya penegakan hukum. Sampaikan setiap langkah dan progres hukum tersebut secara transparan disertai bukti-bukti hukumnya.
Kejaksaan adalah institusi terdepan dalam penegakan hukum. Utamanya dalam pencegahan dan pemberantasan korupsi dan dalam mengawal kesuksesan pembangunan nasional. Kiprah kejaksaan adalah wajah pemerintah serta wajah kepastian hukum Indonesia di mata rakyat dan di mata internasional. Terlalu rendah bila Kejaksaan Agung bertindak gegabah dan berisiko hanya menjadikan kasus hukum ini semata sebagai bagian dari skenario intrik politik. Bukankah terlalu mahal risikonya bagi rasa keadilan dan kesatuan bangsa ini?!. (***)