ADVERTISEMENT
*)CAHAYA PASUNDAN
Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
Safar adalah bepergian keluar dari negeri atau daerah tempat bermukimmenuju suatu tempat dengan jarak tempuh tertentu yang membolehkan seseorang untuk mengqashar atau menjamak shalatnya.
Berikut ini beberapa masalah fikih yang penting diperhatikan dalam safar:
- Bagi orang yang dalam perjalanan (musafir), disyariatkan untuk mengqashar shalat semenjak ia keluar dari wilayah tempat tinggalnya. Jika dalam perjalanan itu ia teringat akan shalat terlewat di saat mukim, maka ia mengqadhanya secara sempurna (tamm). Demikian pula jika ia shalat berjamaah dengan bermakmum kepada imam yang mukim, maka ia shalat empat rakaat, meskipun ia masbuq dan hanya mendapatkan tasyahud akhir bersama imam.
- Bagi musafir, tidak disyariatkan shalat sunnah rawatib, kecuali qabliyah Shubuh (shalat fajar).
- Bagi musafir, disunnahkan menjamak dua shalat. Jika musafir menjamak dua shalat, maka cukup dengan satu kali azan dan dua kali iqamat. Ia boleh menjamaknya di waktu shalat yang pertama (jama’ taqdim) atau di waktu shalat yang kedua (jama ta’khir).
- Bagi musafir, tidak diwajibkan menghadiri shalat Jumat, dan boleh menggantinya dengan shalat Zhuhur dengan qashar, walaupun imam shalat Jumat belum memulai shalat.
- Bagi musafir, boleh tidak berpuasa, dan menggantinya di hari yang lain.
- Jika musafir menjamak taqdim shalat Maghrib dan Isya’, maka setelah selesai, ia boleh melakukan shalat witir, dan tidak perlu menunggu sampai datangnya waktu shalat Isya. Demikian pendapat yang kuat dari para ulama.
- Jika seorang musafir bermakmum dan ragu apakah imamnya adalah mukim atau musafir, maka ia harus berniat shalat sempurna. Jika ternyata imamnya shalat qashar, maka musafir pun shalat qashar. Meskipun ia menyalahi niat awalnya. Hal ini dibolehkan, dan termasuk dalam bab menggantungkan niat, bukan karena keraguan. (*)
Editor:
Nurrani Rusmana