BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Warga etnis Tionghoa tersebar di seluruh wilayah di Indonesia. Setelah merayakan Imlek pada hari ke-15 warga etnis Tionghoa melakukan perayaan Cap Go Meh.
Dilansir dari ANTARA pada Sabtu (24/2/2024), Tokoh masyarakat Tionghoa Kalbar, XF Asali, dalam bukunya yang berjudul Aneka Budaya Tionghoa Kalimantan Barat, menjelaskan Cap Go Meh berasal dari kata dialek Hokkien/Tio Ciu. Kata “Cap go” berarti lima belas dan kata “Meh” berarti malam. Sehingga Cap Go Meh artinya malam ke lima belas.
Di Tiongkok, negeri leluhur etnis Tionghoa Indonesia, menyebutnya sebagai perayaan Yuan Shiau Ciek yakni festival malam bulan satu.
Saat masa Dinasti Tung Han, Kaisar Liu Chang (Han Min Tie) merayakan festival ini untuk menghormati Sang Budha Sakyamuni yang menampakkan diri pada tanggal 30, bulan 12 Imlek di daratan barat. Kemudian ditafsirkan sama dengan tanggal 15 bulan 1 Imlek di daratan Timur.
Kaisar memerintahkan rakyatnya agar sembahyang syukuran, arak-arakan, memasang lampion, atraksi kesenian rakyat seramai mungkin pada malam hari tersebut.
Kegiatan Berlanjut Turun Temurun
Kegiatan itu berlanjut secara turun-temurun sampai sekarang. Kegiatan ini masih diperingati etnis Tionghoa di Indonesia yang menganut Sam Kaw atau Tri Dharma sebagai hari raya religius umat Taoisme, Budha, dan Kong Hu Cu. Sedangkan untuk etnis Tionghoa lainnya, dirayakan sebagai hari raya tradisi budaya Yuan Shiau Ciek atau Cap Go Meh.
Perayaan Festival Cap Go Meh di Indonesia diadakan sebagai penutup perayaan tahun baru. Di banyak daerah, perayaan ini diisi atraksi permainan naga dan barongsai. Juga ada karnaval kendaraan berhias lampion atau bentuk event lainnya sesuai kekhasan di daerah setempat.
Mengenai adanya tatung atau lauya yang kerasukan roh leluhur, muncul dalam versi lain cerita rakyat. Yakni saat Dinasti Tung Zhou sekitar tahun 770 SM-256 SM.
Ketika itu, para petani memasang lampion di sekeliling ladang untuk mengusir hama dan menakuti binatang perusak tanaman. Kemudian ditambahi dengan segala bunyi-bunyian, bermain barongsai, dan arak-arakan tatung sebagai tolak bala serta supaya lebih ramai.
Kepercayaan dan tradisi budaya itu, berlanjut dan berkembang terus baik di daratan Tiongkok maupun di perantauan di seluruh dunia, sesuai kondisi dan situasi di negara masing-masing, hingga ke Indonesia. (*/ran)