BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM— Komunitas Telusur Pedestrian, tidak hanya memilih sejarah sebagai fokus eksplorasi, tetapi juga memberikan wadah bagi warga Bandung yang memiliki minat yang serupa.
Malia Nur Alifa, seorang pecinta sejarah yang lahir dan besar di Bandung, telah menginspirasi pendirian komunitas Telusur Pedestrian.
“Komunitas ini berdiri untuk memberikan wadah bagi para teman atau warga Bandung yang satu hobi. Karena dengan sejarah kita bisa belajar banyak tentang masa lalu guna untuk masa depan yang lebih baik yakni dijadikan pelajaran,” tuturnya kepada PASJABAR.
Sebelum setiap kegiatan penelusuran sejarah, Malia dan anggota komunitasnya melakukan survey lapangan dua minggu sebelumnya untuk memastikan kelancaran dan struktur kegiatan.
Tujuan utama dari Telusur Pedestrian adalah mempelajari objek-objek sejarah yang jarang terjaga, namun sarat dengan kisah-kisah menarik.
“Kami berfokus pada beberapa objek kurang terjaga keadaannya tapi sarat akan sejarah. Biasanya malahan turnya hanya bisa dilakukan sekali saja, karena ketika selesai tur, objek tersebut dihancurkan dan diganti dengan bangunan baru,” tuturnya.
“Kami Sudah ke beberapa objek sejarah di Kota Bandung, namun jarang diketahui oleh kebanyakan orang, seperti yang akan datang, kami akan menelusuri jalur peredaran candu. Sejauh ini sih masih di Bandung dan Lembang, namun ada rencana akan ke Kota Gede mencari jejak suku kalang dan akan ke kawasan Lasem,” paparnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi adalah mengubah persepsi bahwa sejarah adalah hal membosankan menjadi hal yang menyenangkan untuk dipelajari.
“Kebanyakan orang itu masih menganggap sejarah itu hal yang membosankan, jadi tantangan saya adalah membuat sejarah menjadi hal yg menyenangkan untuk dipelajari,” ulasnya.
Dalam penggalian informasi, Malia memastikan akurasi informasi sejarah dengan melakukan riset lapangan, serta berdiskusi dengan narasumber sejarah yang ada di Bandung.
“Sejauh ini kami mengumpulkan data lisan sebanyak banyaknya dari para narasumber dan saksi sejarah yang ada, karena berpacu dengan kesehatan dan usia mereka juga. Dari sumber ini kami gali lagi data literaturnya, atau mencari dokumentasi fotonya untuk di arsipkan secara sempurna,” jelasnya.
Komunitas ini juga berkontribusi dalam upaya mendokumentasikan dan menyebarkan sejarah dengan mengumpulkan data lisan dan literatur, serta mencari dokumentasi foto untuk diarsipkan.
Selama 12 tahun, Malia telah melakukan wawancara lisan dengan narasumber sejarah, yang kemudian dijadikan dasar untuk pembuatan buku-buku, harapannya adalah agar masyarakat lebih peduli terhadap sejarah.
“Harapan saya kedepannya agar para warga masyarakat lebih perduli lagi akan sejarah, karena apabila kita telah mengenal kawasan tempat tinggal kita saja dulu dengan baik, berawal dari tau sejarah tempat tinggal kita saja dulu. Nanti akan timbul rasa sayang, karena tak kenal maka tak sayang kan, apabila sudah sayang kita akan lebih menjaga kawasan tempat tinggal kita dengan baik, melestarikan apa apa yg masih ada di kawasan tempat tinggal kita. Dan itu adil terkecil namun sangat bermanfaat kedepannya, bayangkan apabila semua orang sayang dan tau sejarah kawasan tempat tinggalnya, akan ada berapa banyak wilayah yang dapat terselamatkan cagar budayanya. Jadi dimulai saja dulu pada lingkungan terkecil kita,” pungkasnya. (tiwi)