CAHAYA PASUNDAN

Agama dan Masalah Perubahan Sosial

ADVERTISEMENT

Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan) — Agama sebagai keyakinan pada umumnya memiliki ajaran yang bersifat mutlak dan tidak berubah-ubah. Faham ini berpengaruh kuat terhadap sikap mental para pemeluknya. Oleh karena itu, umat beragama dipandang tidak mudah menerima perubahan. Sebaliknya, mereka cenderung mempertahankan tradisi keagamaan yang berlaku. Dari kecenderungan ini, timbul anggapan bahwa agama menentang kemajuan masyarakat dan anti perubahan.

Kecenderungan ini juga terdapat di kalangan pemeluk Islam, terutama pada abad pertengahan. Mereka terikat pada pemahaman keagamaan yang sempit. Pada waktu itu masyarakat diatur oleh jiwa keagamaan yang tidak selalu datang dari ajaran agama itu sendiri. Tradisi yang timbul sering kali terlepas dari agama. Akan tetapi, karena direstui oleh para pemuka agama, tradisi itu dianggap sebagai ajaran agama dan sehingga bersifat mutlak dan tidak dapat diubah-ubah. Oleh karena itu. tidak heran kalau masyarakat pada saat itu bersifat statis dan menganggap perubahan sebagai pembaharuan yang dapat mengguncangkan dan mengacaukan masyarakat.

Keadaan statis ini diperkuat lagi oleh berkembangnya filsafat hidup di kalangan umat yang bersifat legalistis berdasarkan keyakinan teologi tertentu, seperti faham jabariyah. Konon faham ini sengaja disebarkan dan dianjurkan oleh raja-raja Islam pada abad pertengahan dengan maksud agar rakyat mudah dikuasai. Timbullah faham yang menyatakan bahwa segalanya ditentukan oleh Tuhan sejak zaman azali, sedangkan manusia hanya menunggu takdir yang telah ditentukan itu.

Ketika memasuki abad kesembilan belas, kesadaran umat Islam mulai bangkit dengan mengadakan reinterpretasi terhadap pemikiran-pemikiran lama dan memecahkan kebekuan interpretasi yang telah terhenti selama ratusan tahun. Mulailah para pemikir Islam mengadakan pembaharuan-pembaharuan dan revitalisasi nilai-nilai Islam.

Kesadaran para pemuka agama untuk membuka wawasan dan mengembalikan umat pada jalur yang sebenarnya melahirkan perubahan sosial yang sangat terasa. Lahirlah gerakan-gerakan dan pembaharuan pemikiran yang dimulai oleh Muhammad Abdul Wahab (1703 – 1787) di Arab, kemudian di Rif’ah Rafi Badawi Al Thonthowi (1801 – 1897), Mesir dan Muhammad Abduh (1849 – 1905). Kemudian diteruskan para pemimpin Islam lainnya di berbagai tempat dengan ide-ide pembaharuan lainnya.

Perkembangan pemikiran Islam semakin berpengaruh terhadap perubahan sosial melalui pendidikan. Jika pada di abad pertengahan, terdapat larangan untuk mempelajajri ilmu-ilmu Barat dan filsafat dalam masa selanjutnya pemikiran itu semakin lemah dan banyak ditentang oleh para pemikir pembaharu.

Para pemikir pembaharu melihat bahwa salah satu dari dasar kemajuan Barat adalah dikembangkannya ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, mereka berpendapat bahwa umat Islam harus menguasai ilmu pengetahuan dan filsafat sehingga dapat bangkit kembali.

Perubahan sosial umat Islam yang berlangsung cepat terjadi melalui jalur pendidikan. Para pembaharu mengadakan pembaharuan dengan memperkenalkan alat-alat pendidikan modern, seperti papan tulis dan sebagainya.. Ilmu pengetahuan umum dan bahasa asing mulai dimasukkan dalam kurikulum. Di sini terjadi mobilitas sosial yang pada abad kedelapan belas tidak dijumpai. Demikianlah, perubahan sosial telah terjadi di kalangan umat Islam. Perubahan-perubahan tersebut terus berjalan dengan bertambah liberalnya sikap umat Islam dengan melepaskan diri dari ikatan-ikatan tradisi dan penafsiran keagamaan yang lama. Kesanggupan membedakan ajaran dasar yang bersifat absolut dari ajaran dasar yang tidak bersifat absolut merupakan sumber dinamika umat Islam dalam menghadap perubahan sosial akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Menurut para ahli, jumlah ayat Al-Quran yang menganndung ajaran dasar dan absolut tidak lebih dari 500 ayat atau 7,5% dari seluruh ayat Al-Quran. Di antara 500 ayat itu, hanya 228 ayat atau 3,5% yang mempunyai hubungan dengan hidup kemasyarakatan (Harun Nasution: 154). Dan itu pun sedikit sekali yang bersifat qath’i atau ayat yang tidak dapat diberikan penafsiran lagi. Kebanyakan ayat Al-Quran masih memerlukan penafsiran. Dengan demikian, Islam bukanlah faktor penghambat kemajuan dan perubahan sosial. Sebab, yang menghambat adalah sikap mental yang masih bersifat tradisional. Oleh karena itu, sikap mental umatlah yang harus diubah dalam hal ini melalui pendidikan. (han)

Hanna Hanifah

Share
Published by
Hanna Hanifah

Recent Posts

Sustainability Bond bank bjb Oversubscribed Hingga 4,66 Kali

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Aksi korporasi bank bjb kembali mencatatkan pencapaian gemilang. Obligasi Keberlanjutan atau Sustainability…

13 menit ago

Sengit! Persib Kandaskan Borneo FC Lewat Gol Ciro Alves

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Persib Bandung kontra Borneo FC dalam lanjutan Liga 1 2024/2025 berangsung sengit. Tampil…

1 jam ago

Cucun Syamsurijal Laporkan Anggota DPRD Kab. Bandung

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPR RI Cucun Syamsurijal melaporkan MA anggota DPRD Kabupaten Bandung…

2 jam ago

Cucun Syamsurijal: Pilkada Ibarat Sepak Bola

KABUPATEN BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPP PKB, Cucun Syamsurijal mengatakan jika pesta demokrasi (Pilkada)…

3 jam ago

Peluang Emil Audero di Timnas Indonesia Kata Erick Thohir

WWW.PASJABAR.COM -- Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, memberikan pernyataan terkait peluang kiper Como 1907, Emil…

4 jam ago

Insting Shin Tae-yong Terbukti di Laga Kontra Arab

WWW.PASJABAR.COM -- Insting Shin Tae-yong sebagai pelatih terbukti dengan memasang Marselino Ferdinan sebagai starter saat…

5 jam ago