BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM— Dalam upaya mendukung literasi dan menciptakan ruang baca yang nyaman bagi masyarakat, Reiza Harits, bersama dua rekannya, Alia dan Edo, mendirikan perpustakaan independen The Room 19 yang terletak di Jl. Dipati Ukur No.66C, Kota Bandung, Jawa Barat.
Reiza, yang juga menjabat sebagai Co-Founder & Chief Librarian, berbagi inspirasi dan perjalanan mereka dalam mendirikan perpustakaan ini dalam sebuah wawancara eksklusif dengan Pasjabar.
The Room 19 digagas oleh trio Alia, Edo, dan Reiza yang sejak kecil telah dikelilingi oleh buku. “Kami bertiga tumbuh dikelilingi buku,” ujar Reiza.
Terinspirasi oleh perpustakaan kecil di Korea dan Jepang serta pengalaman masa kecil Reiza di taman bacaan keluarganya, mereka bertiga merancang sebuah ruang yang tidak hanya menyediakan buku tetapi juga menciptakan suasana yang hangat dan nyaman. Nama “The Room 19” sendiri terinspirasi dari buku yang dibaca oleh karakter dalam drama Korea Because This Is My First Life,
yang menggambarkan ruang kesendirian yang bisa menjadi tempat untuk merasa nyaman tanpa perlu merasa sepi.
Sejak dibuka pada Desember 2023, The Room 19 mendapat respon yang luar biasa dari masyarakat Bandung.
“Alhamdulillah puji syukur, sangat antusias! Terhitung sejak kami buka pada Desember 2023, sudah ada 5000+ pengunjung, 8000+ followers di Instagram yang didapatkan secara organik, serta 1200+ buku yang sudah dipinjam,” jelas Reiza.
Masyarakat juga aktif memberikan kesan dan pesan mereka melalui sticky notes yang ditempel di tiang dan gantungan lampun perpustakaan, serta berkontribusi dengan karya seni dan buku-buku titipan.
The Room 19 memiliki hampir 2000 buku yang mencakup berbagai genre. Untuk kategori nonfiksi, terdapat 16 tema seperti sejarah, psikologi, bisnis, feminisme, dan perubahan iklim. Sedangkan untuk fiksi, terdapat 13 tema termasuk sastra Indonesia, sastra Korea, dan fiksi historis.
“Kami juga memiliki buku dengan kategori seperti Pets!, Crime & Mystery, Loneliness & Existentialism, dan Self-discovery,” tambah Reiza. Rencana ke depan termasuk memperbanyak koleksi buku sastra Indonesia dengan menyediakan satu lemari khusus.
Adapun pengelolaan perpustakaan ini didanai melalui biaya masuk sebesar 35K untuk umum dan 25K untuk pelajar per shift selama 4 jam, serta biaya peminjaman buku sebesar 10K per minggu untuk buku lokal dan 20K per minggu untuk buku impor. Selain itu, disini juga menjual makanan, minuman, dan barang consignment.
The Room 19 kini berstatus nonprofit di bawah yayasan yang didirikan pada Februari 2024 ini juga aktif mencari pendanaan dari lembaga, institusi, dan individu.
“Pendanaan yang kami dapatkan akan digunakan untuk menunjang kegiatan operasional perpustakaan, memperbanyak dan memperluas jangkauan kegiatan atau aktivitas, serta tentunya menambah koleksi buku,” ungkap Reiza.
The Room 19 secara rutin mengadakan berbagai kegiatan untuk menarik minat baca masyarakat, seperti diskusi buku, workshop melukis, dan silent reading book party.
“Kami memiliki tema bulanan yang terus berganti sesuai dengan hari besar/momentum yang ada di bulan tersebut,” kata Reiza.
Mereka juga berencana untuk mengadakan lebih banyak kegiatan bekerja sama dengan komunitas lokal dan pegiat seni.
Reiza melihat perpustakaan independen seperti The Room 19 memiliki peran penting dalam mendukung literasi masyarakat.
“Aku sendiri percaya bahwa sebenarnya gak ada orang yang gak suka baca buku, yang ada adalah orang yang belum menemukan buku yang cocok untuk dirinya,” ujar Reiza.
Dengan berbagai kegiatan dan interaksi yang hangat, Reiza dan kawan-kawannya berharap dapat menyebarkan semangat membaca yang lebih luas.
Ke depan, The Room 19 berencana memperluas ruang untuk menampung lebih banyak pengunjung, serta membuka ruang khusus untuk quiet room dan area hijau. Meskipun membuka cabang di kota lain belum menjadi prioritas saat ini, mereka mendukung komunitas lokal yang ingin mengadopsi konsep perpustakaan mereka.
“Mungkin beberapa waktu ke depan, kami akan mulai mempertimbangkan hal tersebut,” kata Reiza.
Di samping itu, The Room 19 juga aktif berkolaborasi dengan komunitas lokal dan lembaga pendidikan melalui formulir kerjasama yang tersedia secara online. Mereka juga memiliki program “Mimbar Ide” untuk mendorong diskusi dan pertukaran gagasan di antara pengunjung.
“Kami memiliki formulir yang bisa diisi oleh teman-teman komunitas ataupun individu yang ingin bekerja sama melakukan kegiatan bersama kami! Formulir onlinenya bisa diakses di sini → bit.ly/theroom19events. Kami biasanya akan mengkurasi kegiatannya sesuai dengan kecocokan agenda kegiatan/tema bulanan yang kami rencanakan,” terangnya.
“Kami juga meluncurkan kegiatan bernama “Mimbar Ide” di mana setiap orang bisa menyampaikan ide/gagasan/pendapatnya di tempat kami. Teman-teman yang berminat bisa menghubungi kami via DM (lebih lanjut tentang Mimbar Ide bisa cek post @the__room19),”tambahnya.
Tantangan terbesar yang dihadapi The Room 19 adalah pendanaan. “Untuk menjaga dan memperluas impact, kami memerlukan pendanaan yang dapat menggerakkan berbagai kegiatan-kegiatan serta ide-ide dalam rangka melakukan aktivasi berbasiskan buku-buku yang kami miliki,” kata Reiza. Harapan jangka panjang mereka adalah menjadi inspirasi bagi perpustakaan lainnya dan berperan dalam pengembangan budaya membaca di Indonesia.
Dengan visi untuk memperkaya pengalaman literasi dan membangun imajinasi serta gagasan di kalangan masyarakat, The Room 19 berharap dapat menjadi pusat literasi yang lebih besar dan lebih berpengaruh di masa depan. “Kami sangat berharap kami dapat membangun jaringan antar sesama pegiat literasi, menjadi hub untuk membangun sesuatu yang lebih besar lagi!” tutup Reiza. (tiwi)