Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Agama sebagai sistem nilai telah lama disalahpahamkan oleh para pemikir Barat, terutama Aguste Comte dan para pengikutnya. Menurut Comte, masyarakat berkembang secara linear dari tahap teologis dan metafisik sampai tahap akhir positif. Pada tahap teologis dan metafisik, agama masih dipandang mempunyai pengaruh dominan dalam struktur masyarakat. Dengan demikian, jika terjadi peristiwa apa saja, semuanya dikembalikan dan direkonsiliasikan pada agama. Pada tahap ini, pola pemikiran masyarakat masih sangat sederhana.
Namun, setelah masyarakat mengalami kemajuan di bidang pemikiran sebagai buah dari faham rasionalisme yang ditandai kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, agama dianggap kehilangan peran sosialnya dalam masyarakat.
Pemikiran Comte itu ternyata tidak dapat dibuktikan. Ketika manusia memasuki tahap modern, peran agama tidak berhenti, bahkan lebih berkembang karena kebutuhan manusia pada ketenangan semakin menguat. Teknologi yang dihasilkan dari pemikiran materialisme dan positifisme justru melahirkan manusia yang hampa dan jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Ilmu pengetahuan yang selama ini dipaksakan netral, tanpa nilai membawa manusia pada kemampuan netral pula.
Kecenderungan manusia untuk kembali ke pangkuan agama terakumulasi dalam berbagai praktik keagamaan, dengan berbagai akibat positif dan negatif yang ditimbulkannya. Di Barat, kecenderungan ini ditandai intensitas yang tinggi yang dilakukan masyarakat untuk memasuki kehidupan spritual dan rohani. Sementara itu, di kalangan Islam semakin berkembang spiritualisme Islam yang terdapat dalam tasawuf atau tarekat. Tasawuf bukan hanya diminati oleh kalangan tradisional, tetapi justru hanya diminati oleh kalangan masyarakat kelas menengah dan modem.
Agama sebagai sumber nilai bagi manusia merupakan rujukan dan arahan, bukan sekadar tempat manusia untuk berkompensasi dari kelelahan rohaninya dan mencari ketenangan, tetapi lebih jauh lagi, yaitu memberikan landasan nilai bagi manusia. Oleh karena itu, agama berkaitan, bahkan tidak terpisahkan, dengan masyarakat dan kebudayaan.
Masyarakat dan kebudayaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena, masyarakat merupakan sumber kebudayaan sehingga tidak mungkin ada kebudayaan tanpa adanya masyarakat. Masyarakat sebagai kumpulan manusia yang ditandai adanya kesamaan tempat tinggal, harapan, dan cita-cita pada saat terbentuk melahirkan kebudayaan. Kualitas manusia terletak dalam penilaian kembali terhadap setiap produk kebudayaan yang diciptakannya sehingga menunjukkan kualitas kepribadian manusia itu sendiri.
Persoalan utama dalam melihat hubungan antara agama, masyarakat, dan kebudayaan adalah dalam pengambilan nilai-nilai dasar. Agama sebagai sumber nilai merupakan rujukan esensial bagi masyarakat. Pada pemikiran Barat yang berkembang selama ini, nilai dipandang sebagai sesuatu yang berubah setiap saat, bergantung pada kesepakatan masyarakat, dan agama merupakan salah satu nilai yang dijadikan rujukan untuk masalah-masalah yang bersifat ritual, bukan standar nilai baik dan buruk.
Mengenai hubungan antara agama dan kebudayaan, terdapat dua pandangan di kalangan para ahli. Pertama, agama merupakan bagian dari kebudayaan atau kebudayaan itu mencakup agama. Dalam pandangan ini agama disamakan dengan mitos, legenda, atau dongeng yang merupakan bagian dari tradisi masyarakat. Bagi agama tertentu (kebudayaan), pandangan ini dapat diterima karena agama-agama budaya memang lahir dari pemikiran manusia, tetapi bagi agama Islam pandangan ini tidak dapat diterima karena Islam bukan hasil pemikiran manusia. Kedua, kebudayaan merupakan bagian dari agama, atau agama mencakup kebudayaan. Dalam pandangan ini, kebudayaan manusia merupakan bagian dari agama. Pandangan ini banyak berpengaruh terhadap cara orang melihat agama dan budaya.
Di samping itu, kaitan antara agama dan kebudayaan sebagai produk masyarakat sangat terkait dengan sikap masyarakat terhadap nilai-nilai. Nilai agama diartikulasikan dalam berbagai bentuk budaya, baik dalam arti proses maupun produk. Kebudayaan dalam arti proses adalah pendayagunaan segenap potensi kemanusiaan agar berbudi dan manusiawi. Adapun kebudayaan dalam arti produk adalah segala sesuatu yang dihasilkan oleh rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan potensi alam dalam rangka meningkatkan kualitas kemanusiaannya. Dengan kata Jain, berbudaya adalah upaya manusia membebaskan diri dari segala situasi dan kondisi yang menghalangi pembebasan dan pemenuhan kebutuhan kemanusiaan dan martabatnya.
Agama dalam kaitannya dengan kebudayaan dalam arti proses berarti mengelola dan mengartikulasikan potensi fitrah manusia. Di sini agama berperan dalam memberikan dorongan-dorongan yang menggerakkan manusia sehingga melahirkan kreativitas dalam berbagai aspek kehidupan yang ditata berdasarkan nilai-nilai sehingga meringkatkan derajat dan martabat manusia.
Dalam kaitannya dengan budaya dalam arti produk, agama memberikan kekayaan material yang menggambarkan hubungan tidak terpisahkan antara kehidupan manusia dan agama. Setiap produk rekayasa manusia selalu terkait dengan gambaran hubungan spiritual manusia yang pada akhirnya bermuara pada agama. (han)