BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sebanyak 500 penari akan menampilkan tarian Ibing Baya Belenderan pada peringatan Hari Tari Sedunia di Lembah Dewata, Kecamatan Lembang, Kabupaten Bandung Barat pada 21 Juli 2024.
Acara ini diselenggarakan oleh komunitas Sekar Kliwon yang dipimpin oleh Mas Nanu Munajar, bekerja sama dengan obyek wisata Lembah Dewata Lembang. Kegiatan ini melibatkan 30 sanggar dari Jawa Barat, Banten, dan Jakarta.
Mas Nanu Munajar menjelaskan bahwa Ibing Baya Belenderan menggambarkan penari ronggeng yang menghibur penggemarnya dengan suasana yang gembira, bersemangat, dan ceria.
“Kegiatan ini awalnya direncanakan pada akhir April, namun karena ada halangan, peringatan Hari Tari Sedunia digelar pada pertengahan Juli ini,” ujar Nanu pada Senin (15/7/2024) kemarin, dikutip dari situs resmi Pemprov Jabar.
Mas Nanu juga menyebutkan bahwa sebelum tampil di Lembah Dewata, para peserta telah mengikuti pelatihan atau workshop menari Ibing Baya Belenderan.
Lokakarya ini diadakan selama tiga bulan di Gedung Pusat Kebudayaan (GPK) Kota Bandung setiap hari Sabtu.
“Para pimpinan sanggar maupun pelatih dari setiap sanggar mengikuti workshop ini, untuk nantinya diaplikasikan atau diterapkan kepada anak asuh mereka masing-masing,” tambahnya.
Mas Nanu menjelaskan bahwa Ibing Baya adalah istilah lain untuk ibing mencug, yakni menari bebas dalam hiburan pertunjukan tari Ketuk Tilu daerah Karawang.
Penari baya biasanya adalah penggemar ronggeng yang memperlihatkan kebolehan menari dengan gerak pencak silat atau gerakan spontanitas saat menari di arena pertunjukan Ketuk Tilu yang diiringi oleh gamelan.
“Dalam hiburan Ketuk Tilu, kehadiran ronggeng menjadi daya tarik utama yang menggairahkan suasana kesenian tersebut,” papar Mas Nanu.
Ia menjelaskan bahwa ronggeng awalnya menari untuk tujuan suci, menjadi mediasi antara manusia dengan leluhurnya.
Ronggeng hadir dalam upacara seperti menanam padi, netepkeun, ampih pare, atau nimang memasukkan padi ke leuit (lumbung).
“Ronggeng selalu hadir dalam persembahan untuk kesuburan dan memohon hujan, serta keselamatan. Namun, tari ronggeng sempat mengalami masa kepakuman dan hampir punah,” imbuhnya.
Mas Nanu menjelaskan bahwa istilah “Baya” dalam bahasa Sunda berasal dari kata “bahya” yang berarti berbahaya.
Dalam pertunjukan Ketuk Tilu, Baya diartikan sebagai tari mencug dengan gerakan tajam dan mendalam.
Baya juga merupakan sebutan untuk penari laki-laki dalam Ketuk Tilu gaya Karawang, yang di daerah Subang disebut “pamogoran.”
Sedangkan istilah “Belenderan” diambil dari lagu Ketuk Tilu maupun Kiliningan untuk menari bersama dengan irama sederhana, sehingga penonton dapat ikut menari dengan diiringi lagu Belenderan atau Jeruk Manis.
Pada tahun 1993, Ibing Baya ditampilkan bersama ronggeng dan dikembangkan menjadi tari pertunjukan yang awalnya untuk upacara dan pergaulan.
Sehingga, nama tariannya menjadi Ibing Baya yang ditampilkan bersama ronggeng, sedangkan “Belenderan” diambil dari nama lagu gaya Karawang.
Mas Nanu menyebutkan bahwa inspirasi Ibing Baya Belenderan berasal dari Topeng Banjet Sinar Pusaka Abah Pendul, seorang maestro topeng Banjet dari Karawang.
“Inspirasi lagu diambil dari lagu Rindik, Belenderan, Kangsreng, Gondang, dan topeng Banjet Sinar Pusaka Abah Pendul. Perpaduan gerak goyang ronggeng Ketuk Tilu dan Topeng Banjet itulah yang menjadi inspirasi Ibing Baya Belenderan untuk tarian massal yang akan digelar pada peringatan Hari Tari Sedunia 2024,” pungkasnya. (han)