BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Maraknya kasus cuci darah yang dilakukan anak dibawah umur, membuat khawatir dan rasa gelisah pada orangtua. Hal ini pun menjadi perhatian para ahli kesehatan.
Ketua Divisi Nefrologi KSM Ilmu Kesehatan Anak RSHS, Prof Dany Hilmanto mengatakan prinsipnya seseorang memiliki sepasang ginjal yang mempunyai fungsi menyaring segala racun kemudian menyerap kembali hal-hal yang diperlukan tubuh yang tadinya dikeluarkan, tapi karena dibutuhkan maka diserap kembali.
Diketahui, fungsi ginjal ialah untuk mengeluarkan sisa-sisa racun yang dihasilkan tubuh sekaligus menjaga keseimbangan cairan dan elektrolitnya. Cairan berlebih tak baik untuk tubuh begitu pun kekurangan cairan tak baik untuk tubuh.
Prof Dany pun menywbut fungsi ginjal menghasilkan hormon yang memiliki peran dalam pembentukan sel darah merah dan pelepasan hormon.
“Apabila ginjal tak berfungsi maka harus diambil alih karena cairan yang menumpuk dalam darah dan racun-racun yang menumpuk dalam darah akan memberikan beban berat bagi tubuh kita. Itulah kejadian-kejadian fungsi ginjal yang berkurang bisa terjadi secara mendadak yang kami sebut akut dan terjadi kronik di mana berlangsung lama,” ujarnya di RSHS Bandung.
Untuk itu agar tak salah persepsi di masyarakat terkait penyebab seorang anak harus cuci darah, umumnya terjadi pada jangka yang lama. Sehingga, kalau ginjal tak berfungsi maka ada dua pilihan.
“Pertama tentu harus ganti ginjalnya dengan transplantasi. Tapi, diperlukan upaya luar biasa besarnya meski transplantasi masih belum banyak digunakan, namun di RSHS sudah dilakukan,” ucapnya.
Kedua, paling sering ialah dengan cuci darah. Istilah tersebut fungsinya untuk mengurangi racun-racun yang dihasilkan tubuh karena proses metabolisme itu sendiri, kemudian karena ginjal tak berfungsi sehingga cairan sering menumpuk dalam darah yang mengakibatkan beban berat untuk jantung dan fungsi organ lainnya, maka caranya ialah dengan cuci darah.
“Cuci darah ini ada dua macam yang dikenal, yakni dengan menggunakan alat mesin dinamakan hemodialisis dan ada pula yang dengan selaput pada perut. Keduanya mempunyai kelebihan dan kekurangan. Tapi, umumnya kami saat ini lebih cenderung mendorong orang-orang yang miliki gangguan fungsi ginjal kronik termasuk anak-anak dengan cuci darah lewat selaput perut yang diberikan cairan dan didiamkan di dalam perut selama setengah jam, setelah itu baru dikeluarkan,” katanya.
Dia menyebut ada kecenderungan meningkat kasus cuci darah pada anak. Banyak informasi di masyarakat biasanya karena banyak mengonsumsi manis, garam, dan lainnya. Namun, sebetulnya tidaklah demikian.
“Apabila kita pola makan dan pola hidupnya salah, maka dalam jangka panjang bisa mengakibatkan penyakit yang beresiko ginjal kronik, misal hipertensi, diabetes, yang mengharuskan orang dewasa cuci darah karena ginjal kronik,” pungkasnya.
Sebetulnya penyakit ginjal kronik yang memerlukan cuci darah seumur hidup dibagi dalam dua kategori, tergantung usia saat dia terkena ginjal kroniknya. Jika terkena di usia lima tahun, kata Prof Dany, umumnya terjadi karena kelainan struktur saluran kemihnya, misal ada sumbatan di saluran kemih.
“Tapi, jika usia di atas lima tahun umumnya sering bocor ginjal yang penyebabnya paling sering ginjal kronik pada anak. Dari waktu ke waktu jumlahnya sebenarnya segitu saja angkanya. Sebab, penyakit ginjal kronik yang perlu cuci darah pada anak utamanya disebabkan adanya kelainan struktur pada kemih atau bocor ginjal. Setiap tahun perubahan angka itu sedikit sekali,” ujarnya.
Dari tahun ke tahun, penyakit akibat konsumsi junkfood, makanan manis dan asin melalui tahapan panjang, dimulai hipertensi dahulu, kemudian diabetes, lalu obesitas yang beresiko pada ginjal kronik, sehingga prosesnya bisa puluhan tahun untuk ke ginjal kronis.
“Umumnya saat ini usia di atas lima tahun banyaknya alami bocor ginjal yang penyebabnya pun tak diketahui. Padahal, awalnya si anak itu sehat. Maka, lihatlah dari usia si anak terkena ginjal kroniknya, bila usia 4-6 tahun itu masih bagus ketika setelah diobati, dan jika di atas enam tahun potensinya kurang bagus,” imbuhnya.
Staf Divisi Nefrologi, dr Ahmedz Widiasta menambahkan kasus anak dengan ginjal kronik yang mengharuskan cuci darah rutin sekitar 10-20 anak per bulan. Beberapa dari pasien itu telah dirujuk ke Rumah Sakit Daerah terdekat untuk menjalankan cuci darah.
“Beberapa anak itu sudah diubah menjadi cuci darah melalui selaput perut sehingga bisa dilakukan di rumah. Dan hanya sekali ke rs untuk ambil cairan atau obat. Untuk gangguan ginjal yang tiba-tiba terjadi padahal awalnya sehat itu setiap bulan tak bertambah signifikan,” jelasnya
dr Ahmedz pun memberikan tips menjaga agar tehindar dari ginjal kronik pada anak-anak, meski sebetulnya cukup dengan menu gizi seimbang dan memantau terus sedari anak. Antara lain :
1. Anak harus berdaya aktif alias tak boleh mager. Sejak kecil anak harus dididik untuk melakukan hobi yang bergerak.
2. Anaka harus kontrol tekanan darah. Utamanya ketika menginjak usia 3 tahun, karena biasanya didapatkan stadium awal dari tekanan darah dan bagus harapannya.
3. Penggunaan garam dibatasi dengan memulai biasakan tak berlebih.
4. Monitoring gula darah untuk anak.
5. Monitoring fungsi ginjal dengan terpantau melalui urin rutin dan pemeriksaan darah.
(Arf)