HEADLINE

Islam dan Kesejahteraan Sosial

ADVERTISEMENT

Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)

Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (foto: pasjabar)

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Kesejahteraan pada dasarnya merupakan akumulasi dari kondisi yang baik, lahir dan batin, agama Islam pun diturunkan Allah untuk mengarahkan manusia kepada kesejahteraan yang hakiki, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Firman Allah SWT:

“Wahai Tuhan kami, berikanlah kepada kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan hindarkanlah kami dari siksa api neraka.” (Q.S. Al-Baqarah [2] : 201)

Doa yang selalu diucapkan umat Islam pada ayat tersebut, merupakan tujuan hidup yang ingin dicapai, yaitu kesejahteraan di dunia dan di akhirat. Kesejahteraan di dunia adalah terpenuhinya kebutuhan hidup yang bersifat material dan terpenuhinya kebutuhan batin dalam bentuk ketenangan dan ketentraman, sedangkan kesejahteraan akhirat adalah kebahagiaan abadi di surga jannatun na’im.

Untuk mencapai kesejahteraan hakiki tersebut agama Islam mendorong umatnya untuk bekerja keras dan bersungguh-sungguh melakukan pekerjaan atau profesinya. Bersamaan dengan itu, ia juga bersungguh-sungguh dan khusyuk dalam menunaikan ibadah. Sabda Nabi:

“Bekerjalah untuk duniamu seolah-olah kamu akan hidup selamanya, dan bekerjalah untuk akhiratmu seolah-olah kamu akan mati esok hari.” (H.R. Ibnu ‘Asakir)

Bekerja untuk dunia, yaitu bekerja dalam berbagai segi kehidupan muamalah, seperti segi ekonomi, politik dan sebagainya. Sedangkan bekerja untuk akhirat adalah kegiatan ritual atau ibadah mahdhah seperti shalat, puasa dan sebagainya.

Agama Islam mendorong umatnya untuk bekerja sungguh-sungguh dalam mencari kehidupan yang baik untuk mencapai kesejahteraan hidup di dunia. Bahkan, derajat berjuang dalam memenuhi kebutuhan hidup disejajarkan dengan berjuang membela agama. Firman Allah SWT:

“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu kebahagiaan di negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan kebahagiaanmu dari kenikmatan duniawi …. (Q.S. Al-Qoshosh [28] : 77)

Kesejahteraan sosial yang hendak di wujudkan agama Islam bukan hanya terkandung secara eksplisit dalam firman-firman Allah, tetapi juga dicontohkan secara operasional dalam kehidupan Rasul dan sahabat-sahabatnya, misalnya kewajiban zakat.

Kewajiban zakat merupakan bentuk nyata dalam mewujudkan kesejahteraan sosial. Dalam zakat, hubungan timbal balik antara kaum kaya dan miskin diatur dalam tatanan ubudiyah. Kriteria kaya ditetapkan dalam kategori muzakki dan kaum miskin dikelompokkan pada kategori mustahiq zakat. Seseorang termasuk dalam kelompok muzakki apabila ia memiliki sejumlah harta (nishab) dalam kurun waktu tertentu (haul). Kelompok yang berhak menerima zakat (mustahiq) pun ditentukan kriterianya sedemikian rupa, seperti faqir dan miskin yang ditetapkan dengan indikator yang jelas.

Dalam kewajiban zakat, terkumpul aspek ubudiyah sekaligus sosial dalam bentuk tradisi kepedulian dan penyantunan. Kewajiban zakat mengandung arti dorongan bagi umat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan mendorong untuk memiliki etos kerja produktif dan bersikap mandiri karena masyarakat yang sejahtera pada dasarnya adalah masyarakat yang mandiri.

Keberpihakan Islam terhadap penciptaan kesejahteraan masyarakat ditampakkan pula dengan penetapan sedekah dan jariah yang memiliki nilai tinggi dalam ajaran Islam. Dorongan untuk sedekah dan amal jariah demikian kuat penekanannya. Hal ini tampak dari ketentuan bahwa amal perbuatan yang dapat dinikmati pahalanya walaupun si pelaku sudah meninggal dunia, salah satunya adalah sedekah jariah. Sabda Nabi SAW:

“apabila seorang anak Adam meninggal dunia, maka putuslah amalannya kecuali tiga hal, sedekah jariah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakan kepadanya.” (H.R. Muslim)

Keberpihakkan Islam pada perwujudan kesejahteraan sosial ditampilkan pula dalam bentuk dorongan untuk bersikap peduli kepada kaum yang lemah. Nabi SAW sangat murka kepada orang yang makan kenyang, sedangkan tetangganya kelaparan. Sebagaimana Rasulullah SAW bersabda, “Tidaklah beriman kepadaku, orang yang semalaman merasa kenyang, sedangkan tetangga di sampingnya kelaparan dan ia mengetahuinya.” (H.R. Thabrani)

Keberpihakan Islam kepada kaum yang lemah merupakan butki bahwa Islam menghendaki terwujudnya kesejahteraan sosial di kalangan umatnya. Menyantuni anak-anak yatim piatu merupakan bentuk amaliah yang terpuji dan sangat dicintai Rasulullah SAW. Hal ini merupakan dorongan yang kuat bagi umat Islam untuk memiliki kepedulian terhadap kaum lemah dan kurang beruntung. Motivasi penyantunanan ini bukan atas dasar kemanusiaan saja, melainkan dorongan ibadah semata. Dengan demikian, mewujudkan kesejahteraan sosial dalam Islam merupakan tujuan ajaran itu sendiri dan kesejahteraan harus terjadi secara merata, baik bagi masyarakat pada umumnya maupun masyarakat lemah atau kurang beruntung. (han)

Hanna Hanifah

Recent Posts

Sustainability Bond bank bjb Oversubscribed Hingga 4,66 Kali

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Aksi korporasi bank bjb kembali mencatatkan pencapaian gemilang. Obligasi Keberlanjutan atau Sustainability…

1 jam ago

Sengit! Persib Kandaskan Borneo FC Lewat Gol Ciro Alves

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Persib Bandung kontra Borneo FC dalam lanjutan Liga 1 2024/2025 berangsung sengit. Tampil…

2 jam ago

Cucun Syamsurijal Laporkan Anggota DPRD Kab. Bandung

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPR RI Cucun Syamsurijal melaporkan MA anggota DPRD Kabupaten Bandung…

3 jam ago

Cucun Syamsurijal: Pilkada Ibarat Sepak Bola

KABUPATEN BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Wakil Ketua DPP PKB, Cucun Syamsurijal mengatakan jika pesta demokrasi (Pilkada)…

4 jam ago

Peluang Emil Audero di Timnas Indonesia Kata Erick Thohir

WWW.PASJABAR.COM -- Ketua Umum PSSI, Erick Thohir, memberikan pernyataan terkait peluang kiper Como 1907, Emil…

5 jam ago

Insting Shin Tae-yong Terbukti di Laga Kontra Arab

WWW.PASJABAR.COM -- Insting Shin Tae-yong sebagai pelatih terbukti dengan memasang Marselino Ferdinan sebagai starter saat…

6 jam ago