Oleh: Firdaus Arifin, Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) merupakan institusi yang diamanatkan oleh konstitusi untuk mewakili suara rakyat dalam sistem pemerintahan Indonesia. Sebagai lembaga legislatif, DPR memiliki peran sentral dalam pembuatan undang-undang yang mengatur berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara sebagaimana diamanat oleh Pasal 20 Ayat 1 UUD 1945. Namun, dalam beberapa waktu terakhir, berkembang di kalangan masyarakat, akademisi, dan praktisi hukum mengenai apa yang dapat disebut sebagai “keangkuhan legislasi” yang diperlihatkan oleh DPR. Keangkuhan ini tercermin dalam berbagai tahapan proses legislasi DPR yang tidak hanya mengabaikan aspirasi publik, tetapi juga cenderung mengabaikan prinsip-prinsip dasar kedaulatan rakyat (demokrasi) dan konstitusi.
Proses Legislasi yang Tertutup
Salah satu kritik utama terhadap DPR dalam konteks legislasi adalah minimnya keterbukaan dalam proses pembentukan undang-undang (law making process). Di era informasi dan teknologi digital yang semakin maju, partisipasi publik seharusnya menjadi elemen utama dalam setiap tahapan pembentukan undang-undang. Namun, yang sering terjadi adalah keputusan-keputusan penting diambil secara tertutup, bahkan tanpa melibatkan pemangku kepentingan yang relevan.
Proses pembahasan undang-undang yang dilakukan secara kilat, tanpa transparansi, dan tanpa konsultasi yang memadai dengan publik, sering kali memunculkan spekulasi adanya agenda-agenda tertentu (hidden agenda) yang didorong oleh kepentingan kelompok tertentu, bukan oleh kepentingan rakyat secara luas. Hal ini tentu saja mengikis kepercayaan publik terhadap DPR sebagai lembaga yang seharusnya menjadi perwakilan mereka.
Legislasi sebagai Alat Kekuasaan
Di banyak kasus, produk-produk legislasi yang dihasilkan DPR lebih terlihat sebagai alat kekuasaan daripada sebagai instrumen hukum yang adil dan mencerminkan rasa keadilan masyarakat. Sebagai contoh, pengesahan RUU Cipta Kerja (Omnibus Law) pada tahun 2020 lalu, yang dilakukan dengan begitu tergesa-gesa di tengah pandemi COVID-19, menimbulkan berbagai kontroversi. Bukan hanya karena substansinya yang dinilai banyak pihak merugikan buruh dan lingkungan hidup, tetapi juga karena proses pembentukannya yang dinilai tidak partisipatif dan demokratis.
Hal ini mencerminkan bagaimana legislasi di Indonesia sering kali dikendalikan oleh kekuatan politik dan ekonomi yang besar (pemilik modal) sehingga undang-undang yang dihasilkan lebih menguntungkan kelompok tertentu, dan bukan untuk kesejahteraan masyarakat luas. Legislasi semacam ini menunjukkan bahwa DPR telah terjebak dalam paradigma legislasi yang memandang undang-undang sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan, bukan sebagai sarana untuk mencapai keadilan publik.
Pengabaian terhadap Masukan Publik
Keangkuhan DPR dalam proses legislasi juga tercermin dari sikap DPR yang cenderung mengabaikan masukan-masukan dari publik dan berbagai elemen masyarakat sipil. Meskipun secara formal DPR membuka ruang untuk masukan publik melalui mekanisme seperti uji publik dan dengar pendapat, namun sering kali masukan-masukan tersebut tidak diakomodasi secara serius dalam proses perumusan undang-undang.
Pengabaian ini menimbulkan persepsi bahwa DPR hanya menjalankan proses partisipasi publik sebagai formalitas belaka, bukan sebagai upaya yang sungguh-sungguh untuk menyerap aspirasi rakyat. Akibatnya, undang-undang yang dihasilkan sering kali tidak mencerminkan kebutuhan dan kepentingan rakyat, melainkan hanya menjadi produk hukum yang abstrak (law in the book) dan tidak aplikatif di lapangan (law in action)
DPR dan Krisis Legitimitas
Keangkuhan DPR dalam proses legislasi juga berdampak pada menurunnya legitimasi lembaga ini di mata rakyat. Krisis legitimasi ini dapat dilihat dari rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap DPR, yang tercermin dalam berbagai survei yang menunjukkan bahwa DPR sering kali dipandang sebagai lembaga yang korup, buta, tuli dan tidak mewakili kepentingan rakyat.
Krisis legitimasi ini sangat berbahaya, karena pada akhirnya dapat mengancam stabilitas demokrasi di Indonesia. Jika rakyat tidak lagi percaya bahwa DPR sebagai lembaga perwakilan yang dapat menjalankan fungsi legislasi dengan baik, maka legitimasi undang-undang yang dihasilkan juga akan dipertanyakan. Akibatnya, produk-produk legislasi tersebut tidak akan memiliki wibawa yang cukup untuk diterapkan di lapangan, dan hal ini pada gilirannya akan menimbulkan ketidakpatuhan terhadap hukum di kalangan masyarakat.
Rekinstruksi Proses Legislasi
Untuk mengatasi masalah keangkuhan legislasi ini, perlu ada rekonstruksi terhadap mekanisme dan proses legislasi di DPR. Pertama, DPR harus mengubah paradigma legislasinya dari yang berorientasi pada kekuasaan menjadi yang berorientasi pada kebutuhan hukum rakyat dan keadilan. Ini berarti bahwa dalam setiap proses pembentukan undang-undang, DPR harus benar-benar mendengarkan dan mengakomodasi aspirasi rakyat, serta mengutamakan prinsip-prinsip keadilan dan kepatutan terhadap konstitusi.
Kedua, transparansi harus menjadi elemen kunci dalam setiap tahapan proses legislasi. DPR harus membuka diri terhadap partisipasi publik yang lebih luas, dan memastikan bahwa setiap keputusan yang diambil didasarkan pada proses yang terbuka dan akuntabel. Ini dapat dilakukan dengan memaksimalkan penggunaan teknologi informasi untuk melibatkan publik dalam setiap tahap pembentukan undang-undang, mulai dari perumusan hingga pengesahan.
Ketiga, perlu ada mekanisme yang lebih efektif untuk mengawasi dan mengevaluasi kinerja DPR dalam menjalankan fungsi legislasi. Pengawasan ini dapat dilakukan oleh lembaga-lembaga independen, seperti Ombudsman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), serta oleh masyarakat sipil dan media. Dengan adanya pengawasan yang efektif, diharapkan DPR dapat lebih bertanggung jawab dalam menjalankan tugasnya, dan keangkuhan legislasi yang selama ini terjadi dapat dikurangi.
DPR sebagai lembaga legislatif harus menyadari bahwa wibawa sebagai wakil rakyat sangat bergantung pada sejauh mana anggota DPR dapat menjalankan fungsi legislasi dengan baik, adil, dan transparan. Keangkuhan legislasi yang selama ini diperlihatkan oleh DPR tidak hanya merugikan rakyat, tetapi juga merusak legitimasi dan kewibawaan lembaga itu sendiri.
Oleh karena itu, rekonstruksi dalam proses legislasi menjadi sangat mendesak. DPR harus meninggalkan praktik-praktik legislasi yang tertutup dan berorientasi pada kekuasaan, dan kembali pada prinsip-prinsip dasar demokrasi dan keadilan sosial. Hanya dengan cara inilah DPR dapat mengembalikan wibawa dan legitimasi mereka sebagai wakil rakyat yang sejati, dan undang-undang yang dihasilkan benar-benar mencerminkan kehendak dan kepentingan rakyat.
Last not but least, dalam konteks demokrasi yang sehat, undang-undang bukanlah sekadar produk hukum yang dihasilkan oleh kekuasaan, tetapi merupakan refleksi dari kehendak kolektif masyarakat yang diatur oleh prinsip-prinsip keadilan. Oleh karena itu, DPR harus mengingat kembali tujuan utama mereka sebagai wakil rakyat, yaitu untuk memperjuangkan kepentingan rakyat dan bukan kepentingan pribadi atau kelompok tertentu. Dengan demikian, legislasi di Indonesia dapat kembali menjadi instrumen yang efektif untuk mencapai kesejahteraan sosial dan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana termaktub dalam Preambule UUD 1945. Semoga. (han)