Oleh: Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H. M. Didi Turmudzi, M.Si
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Tak banyak sosok organisatoris yang berjuang membesarkan organisasi dengan berpijak pada spirit pengabdian. Satu dari segelintir orang itu adalah M Didi Turmudzi (70), Ketua Umum Pengurus Besar Paguyuban Pasundan, organisasi kesundaan berorientasi nasional tertua.
Namun, siapa menyangka kiprah panjang Didi dalam berorganisasi di berbagai lembaga, sejatinya memang sudah terpupuk sejak usia belia. Ingatan mengenang Ramadan di kala kecil dan remaja saat masih bercengkerama bersama teman-teman seusia di Desa Cimeong, Kecamatan Talaga, Kabupaten Majalengka, pada kurun 1950-1960-an, menyajikan kisah tercecer bahwa seorang Didi ditakdirkan menjadi organisatoris sekaligus guru sepanjang hayat.
”Ya, lazimnya anak-anak di desa, kebiasaan menghabiskan Ramadan biasanya tak jauh dari nyeungeut lodong (menyalakan meriam karbit) menjelang Magrib atau setelah sahur dan salat Subuh. Itu kenangan yang tak terlupakan di saat saya berumur 7-9 tahun,” ungkap Didi Turmudzi yang juga menjabat Direktur Pascasarjana Universitas Pasundan.
Suara lodong yang menggelegar terbawa angin menjadi daya tarik karena juga akan dibalas suara yang sama dari lodong di seberang bukit. “Kebetulan rumah ayah terletak di atas, sedangkan jalan ada di bawah dengan pemandangan yang luas. Kenangan indah yang masih membekas Sampai saat ini,” ujar pria yang sejak dulu sampai saat ini tetap panceg berkiprah sebagai pendidik ini.
”Ari pasisiang tabuh 13 atanapi 14, kapungkur mah sok ngojay, kirang langkung dugi yuswa SMP, Aliran Sungai Cipageur biasanya dipendet oleh teman-teman menggunakan batu-batu, sehingga tercipta ‘kolam’ di tengah sungai. Kami berenang, bergembira, sekaligus menunggu datangnya Asar,” katanya.
Beranjak agak remaja usia SMP, Didi tak lagi sekadar bermain dalam menjalani Ramadan. Meski orangtuanya, Asrori, tergolong mampu secara ekonomi dan merupakan tokoh agama di lingkungannya, Asrori adalah Ketua MPP Persatuan Umat Islam (PUI) dan mempunyai pabrik kerupuk yang menjadi sumber ekonomi termasuk dalam pembiayaan sekolah Didi.
Ia sudah ditempa untuk bertani, beternak, dan ikut berjualan dan berbelanja bahan-bahan pembuatan kerupuk. “Saya masih ingat membeli aci bahan kerupuk di toko kepunyaan Pak Koyo di Cinyasag. Rupanya, Bapak (ayahanda Didi) memang sudah menanamkan nilai-nilai wirausaha selain atikan (pendidikan),” ujarnya.
Didi juga kerap ikut ayahanda berkeliling mengisi ceramah pengajian dari kampung ke kampung. Ia sendiri bahkan menjadi salah seorang anggota tagoni yang ikut tampil dalam pengajian. “Sejak itu, saya juga aktif berorganisasi baik di sekolah maupun masyarakat. Kiprah itu semakin kuat ketika saya mengambil sekolah guru dan berkuliah di IKIP Bandung pada 1970-an,” ujarnya.
Didi selalu menjadi ketua kelas di SD sampai SMP. Didi ketua ranting PI (sayap muda Masyumi,), saat berkuliah ia aktif di karang taruna, BKTG, dan kemudian KAPPI.Tak heran, jika ada yang menilai sosok Didi adalah perekat komunikasi dan menjalin kembali silaturahmi yang renggang atau putus sama sekali. (han)