Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Pembicaraan mengenai konsep khilafah dalam Islam selalu dikaitkan dengan jejak Rasulullah SAW dalam kekhilafahannya dan para sahabatnya, terutama sahabat yang empat (khulafaur rasyidin), yaitu: Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Kemudian diperkuat lagi dengan hasil penggalian kandungan Al-Quran dan Sunnah Rasul yang dinilai berhubungan dengan masalah kekhilafahan atau pemerintahan kenegaraan.
Jejak Rasulullah SAW dalam Kekhilafahannya dan Para Sahabatnya, dalam sejarah Islam, ada suatu perjanjian antara Nabi Muhammad SAW ketika beliau sampai di Madinah dan 12 suku Arab dan 10 suku Yahudi. Perjanjian ini dinilai berkaitan langsung dengan persoalan politiik dan dianggap sebagai konstitusi tertulis yang pertama dalam sejarah manusia. Perjanjian ini terdiri atas dua bagian yang masing-masingnya ditulis pada waktu yang berlainan. Bagian pertama mengakui persaudaraan Islam dan mendirikan suatu kesatuan politik yang terpisah. Kesatuan politik ini terdiri atas 12 suku Arab di Madinah dan para Muhajirin dari Mekah. Bagian kedua merupakan aliansi militer dengan 10 sukuu Yahudi.
Ketentuan pokok dalam konstitusi yang mempersatukan populasi yang heterogen dan membentuk bibit negara Islam yang meliputi kelompok-kelompok suku, tetap ada, tetapi tetap menciptakan suatu organisme politik. Memeluk agama Islam memberi “kebangsaan” kepada semua anggota masyarakat yang sama untuk melakukan tolong menolong timbal baliik. Solidaritas, itu tidak hanya bersifat persaudaraan ke dalam, tetapi merupakan afirmasi, bahkan tuntutan ke luar.
Al-Quran mengajarkan kesatuan dan keutuhan kehidupan manusia sebagai implikasi keyakinan tauhid, baik dalam konteks kehidupan secara individuual maupun sosial. Keutuhan hidup manusia yang berbasis pada tauhid ini mengimplikasikan pula keutuhan dalam aspek-aspek kehidupan lainnya, termasuk aspek politik.
Hubungan antar Individu
Hubungan antar individu dalam komunitas Islam didasarkan pada solidaritas persaudaraan. Bersandar kepada Tuhan memperkokoh solidaritats pada anggota masyarakat dalam segala aspek kehidupan sejak Nabi Muhammad SAW berhijrah ke Madinah ketika beliau melakukan tugas sebagai nabi sekaligus tugas kepala negara, tidak ada pemisahan antara aspek materiel dan aspek spiritual.
Sesudah Nabi wafat, tidak ada ketentuan khusus untuk menetapkan siapa yang akan diangkat sebagai pemimpin. Hal ini mengakibatkan terjadinya perdebatan yang sangat tajam, perpecahan, serta peperangan politik berdarah dalam sejarah Islam. Tidak ada petunjuk yang jelas tentang organisasi umat bagi sementara kalangan sangat mengherankan, tetapi dari segi filsafat sosial Islam, hal itu logis dan wajar, karena bagaimana pun setiap kekuasaan bersifat temporal, terbatas ruang dan waktu untuk menjalankan hukum Islam secara adil dan jujur, sedangkan firman Tuhan bersifat universal dan abadi.
Khilafat Merupakan Akibat Logis
Khilafat merupakan akibat logis dari sistem Islam, tetapi tidak dianggap sebagai satu dogma yang fundamental dari Islam. Islam sebagai sistem nilai yang dianut suatu komunitas manusia karena perkembangannya membutuhkan pranata-pranata sosial lainnya, termasuk khilafat yang menampung harapan dan aspirasi umat serta sesuai dengan petunjuk-petunjuk dasar wahyu. Al-Quran tidak mengeksplisitkan aturan-aturan tentang khilafat begitu pula hadis Rasul. Oleh karena ituu, interpretatsi terhadap kekhilafahan di kalangan umat Islam sangat beragam. Begitu pula dalam sistem pergantian pemimpin (suksesi), seperti yang terjadi pada khulafaur rasyidin atau sahabat yang empat dengan menggunakan empat cara pula, yaitu:
- Pemilihan oleh elit umat, seperti suksesi Abu Bakar;
- Pencalonan oleh individu, seperti suksesi Umar;
- Pencalonan oleh dewan (syuro), seperti suksesi Utsman;
- Bay’ah (ikrar loyalitas) yang diberikan oleh rakyat, seperti suksesi Ali.
Tidak adanya petunjuk operasional dan lengkap tentang khilafah dalam ajaran Islam, mengisyaratkan bahwa masalah khilafah merupakan personal budaya manusia yang akan berkembang terus, bersamaan dengan perkembangan pikiran manusia dari waktu ke waktu serta berbeda dari satu budaya ke budaya lainnya. Oleh karena itu, Al-Quran tidak mencantumkan masalah khilafat secara eksplisit.
Sebagai sumber nilai, Al-Quran memuat prinsip-prinsip dasar aturan perilaku, bukan aturan operasional atau petunjuk teknis perbuatan. Sebagai Kitab Undang-undang, Al-Quran memberikan tempat bagi penafsiran sehingga itu memuungkinkan terjadinya keragaman tatfsir di kalangan umat. (han)