BANDUNG, WWW.PASJABAR COM — Seiring perkembangan era digital, era media sosial, teknologi, dan media sosial, bahasa Indonesia turut mengalami perubahan sebagai alat komunikasi.
Di era media sosial, pencampuran kosakata dengan bahasa daerah dan asing menyebabkan bahasa Indonesia terbagi menjadi formal dan informal, baik dalam percakapan lisan maupun tulisan.
Penggunaan kosakata sehari-hari pun berubah secara dinamis dan masif, memicu pergeseran makna pada beberapa kata.
Fenomena ini menunjukkan bahwa budaya bahasa Indonesia seolah mengalami kemunduran, terutama dalam aspek sosial dan budi pekerti.
Beberapa kosakata yang sebelumnya hanya digunakan oleh masyarakat tertentu kini menjadi lumrah di berbagai kalangan. Salah satu contohnya adalah kata “anjing” yang sering digunakan dalam dialog sehari-hari.
Kata ini menjadi simbol keakraban atau cara bersenda gurau di antara masyarakat umum, mulai dari remaja hingga orang dewasa.
Uniknya, kata ini memiliki berbagai makna, mulai dari ekspresi kekaguman, kaget, senang, hingga ungkapan rasa benci.
Bahkan, kata “anjing” telah diubah menjadi beberapa variasi seperti njir, njing, anjay, anjis, hingga bjir, yang sering digunakan baik dalam komunikasi lisan maupun tulisan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “anjing” merujuk pada hewan mamalia yang dikenal setia.
Namun, kata ini juga digunakan sebagai umpatan kasar. Fenomena ini termasuk dalam peyorasi, yakni perubahan makna kata menjadi lebih rendah atau negatif.
Di tengah masyarakat, kata ini bahkan dimaklumi sebagai sapaan atau imbuhan dalam percakapan sehari-hari, tanpa disadari dapat memicu dampak negatif seperti perundungan verbal.
Orang tua sering mengeluhkan minimnya sopan santun generasi muda dalam berkomunikasi. Bahkan, meskipun hanya digunakan dengan teman sebaya, penting untuk tetap menggunakan bahasa yang baik tanpa unsur kasar.
Ucapan adalah cerminan adab dan akhlak seseorang. Oleh karena itu, kontrol diri dan pengawasan dari keluarga, sekolah, serta masyarakat menjadi kunci untuk mencegah pemakluman penggunaan ungkapan kasar.
Selain itu, penerapan punish and reward di sekolah dapat membantu mengembalikan budaya budi pekerti yang bersumber pada norma agama dan sosial.
Dengan langkah ini, bangsa Indonesia diharapkan kembali menjadi bangsa yang menjunjung bahasa santun sesuai pengamalan nilai-nilai Pancasila.
*Ditulis oleh Rinda Rizekia, S.Pd.
Mahasiswi Magister Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pasundan
(*/tiwi)