HEADLINE

Menolak Pilkada oleh DPRD

ADVERTISEMENT
Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS, Firdaus Arifin. (foto: pasjabar)

Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH Unpas (Pilkada)

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Wacana mengembalikan mekanisme pemilihan kepala daerah (pilkada) kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) kembali muncul dalam diskursus politik nasional. Argumen yang diusung para pendukung gagasan ini adalah bahwa pemilihan kepala daerah langsung menimbulkan berbagai persoalan, seperti biaya politik yang mahal, korupsi kepala daerah, hingga politik uang yang menggerogoti demokrasi kita. Namun, apakah benar solusi itu terletak pada menghapus partisipasi langsung rakyat dalam memilih pemimpin daerah?

Saya berpendapat bahwa wacana ini adalah langkah mundur dalam demokrasi. Pilkada langsung, meskipun penuh tantangan, tetap menjadi ruang partisipasi politik rakyat yang hakiki. Menyerahkan proses itu kembali ke DPRD tidak hanya mengingkari esensi demokrasi, tetapi juga membuka pintu yang lebih lebar bagi oligarki politik lokal dan praktik transaksional yang tidak kalah berbahaya.

Demokrasi Substansial

Pilkada langsung lahir dari semangat reformasi yang ingin mengembalikan kedaulatan kepada rakyat. Sebelum tahun 2005, kepala daerah dipilih oleh DPRD, sebuah mekanisme yang sering menjadi lahan subur bagi politik uang dan lobi-lobi elite. Alih-alih menghasilkan pemimpin yang berintegritas, model ini lebih sering melahirkan pemimpin yang hanya menjadi representasi kepentingan elite lokal.

Dalam sistem pilkada langsung, rakyat memiliki hak untuk menentukan pemimpin mereka. Hak ini tidak hanya memperkuat legitimasi politik kepala daerah, tetapi juga memperkuat rasa kepemilikan rakyat atas jalannya pemerintahan daerah. Proses ini, meskipun mahal dan kadang berisiko, menjadi bagian penting dari pendidikan politik masyarakat.

Menghapus pilkada langsung sama saja dengan mengurangi keterlibatan rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Kita akan kembali ke masa ketika politik lokal hanya menjadi permainan elite. Jika alasan utamanya adalah korupsi kepala daerah, bukankah itu lebih merupakan masalah sistem pengawasan dan penegakan hukum ketimbang bentuk pemilihan?

Mitos Biaya Politik Mahal

Argumen bahwa pilkada langsung memicu biaya politik mahal sering digunakan untuk mendukung kembalinya pilkada oleh DPRD. Memang benar, biaya politik dalam pilkada langsung seringkali tidak rasional, namun itu bukan alasan untuk menghapus mekanismenya. Sebaliknya, yang perlu dilakukan adalah reformasi menyeluruh terhadap aturan main pilkada.

Penguatan peran partai politik sebagai institusi pengusung calon kepala daerah harus menjadi fokus utama. Partai politik seharusnya mampu menyeleksi calon dengan basis integritas dan kapasitas, bukan berdasarkan kemampuan finansial. Selain itu, pengaturan dana kampanye, pengawasan politik uang, dan pemberantasan korupsi politik harus diperketat.

Sebaliknya, pilkada oleh DPRD justru lebih rawan terhadap manipulasi politik. Biaya politik yang mahal tidak serta-merta hilang, tetapi bergeser menjadi praktik lobi politik yang tertutup dan sulit diawasi publik. Transaksi politik akan lebih tersembunyi, tetapi dampaknya terhadap pemerintahan daerah bisa lebih destruktif.

Oligarki Politik

Pilkada oleh DPRD cenderung memperkuat kekuasaan elite lokal. Kepala daerah yang dipilih oleh DPRD lebih berorientasi pada kepentingan kelompok kecil di legislatif daripada memenuhi kebutuhan rakyat. Hal ini membuka ruang lebih besar bagi praktik oligarki, di mana kekuasaan hanya dikuasai oleh segelintir orang.

Model seperti ini juga bertentangan dengan prinsip desentralisasi yang diusung oleh reformasi. Desentralisasi bukan hanya tentang pembagian kekuasaan antara pusat dan daerah, tetapi juga soal distribusi kekuasaan dari elite kepada rakyat. Pilkada langsung adalah manifestasi nyata dari desentralisasi politik yang demokratis.

Reformasi, Bukan Mundur

Alih-alih kembali ke pilkada oleh DPRD, sebaiknya pemerintah dan DPR berfokus pada perbaikan mekanisme pilkada langsung. Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, seperti memperbaiki tata kelola partai politik, mengatur mekanisme pembiayaan kampanye yang lebih transparan, memperkuat pengawasan penyelenggaraan pilkada, hingga meningkatkan peran pengadilan khusus pemilu.

Kita tidak boleh melupakan bahwa demokrasi adalah proses yang membutuhkan konsistensi dan penguatan berkelanjutan. Pilkada langsung, meski belum sempurna, adalah bagian penting dari proses tersebut. Menyerah pada tantangan dan kembali ke model lama hanya akan menciptakan masalah baru.

Akhirnya, demokrasi bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang keterlibatan rakyat dalam proses politik. Menolak pilkada oleh DPRD adalah menolak langkah mundur dalam demokrasi kita. Masa depan bangsa ini tidak boleh ditentukan hanya oleh segelintir elite, tetapi oleh suara rakyat yang merdeka. (han)

Hanna Hanifah

Recent Posts

Nguyen Filip Puji Penampilan Timnas Indonesia

WWW.PASJABAR.COM -- Kiper Vietnam Nguyen Filip terkesima dengan penampilan para pemain muda timnas Indonesia. Timnas Indonesia…

55 menit ago

H. Samsuri, S.H., M.Kn: Soliditas Kunci Hadapi Tantangan PPAT di Jawa Barat

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM— Soliditas dan sinergi di antara pengurus serta anggota IPPAT, menjadi kunci untuk menghadapi…

1 jam ago

Bara Zine: Menghubungkan Dunia Nyata dan Maya Melalui Karya Mahasiswa

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Dunia nyata vs Dunia maya, itulah subtema yang diangkat untuk penerbitan majalah…

2 jam ago

Wisata Malam Farmhouse Lembang, Nuansa Eropa Penuh Cahaya Menakjubkan

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Jika bosan berlibur di siang hari, datanglah ke objek wisata malam di…

3 jam ago

Resmi Dilantik, Pengwil Jabar IPPAT 2024-2027 Siap Mengemban Amanah

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM—Pengurus Wilayah Jawa Barat Ikatan Pejabat Pembuat Akta Tanah (IPPAT) periode 2024-2027 resmi dilantik…

4 jam ago

Progres Flyover Nurtanio Capai 25%, Rampung Akhir Mei 2025

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Pembangunan Flyover Nurtanio di dekat perlintasan sebidang Stasiun KA Andir, Kota Bandung,…

4 jam ago