Oleh: Radjo Galan Raya, Ketua Umum Gema Pasundan (Kasus Harun Masiku)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Akhir-akhir ini, kasus Harun Masiku kembali mencuat. Anehnya, kasus ini selalu menjadi sorotan menjelang Pilpres atau momen-momen politik tertentu. Dalam minggu ini, setiap hari ada organisasi kepemudaan yang silih berganti mendesak KPK untuk segera menangkap Harun Masiku.
Namun, pertanyaannya adalah, seberapa urgensi kasus Harun Masiku jika dibandingkan dengan kasus-kasus besar lainnya seperti kasus Joko Candra dengan kerugian 546 miliar, kasus korupsi PT Timah senilai 300 triliun, atau kasus BLBI dengan kerugian mencapai 138 triliun? Ataukah para demonstran ini sebenarnya sedang berlomba mengikuti sayembara yang dibuat oleh Maruar Sirait untuk mendapatkan hadiah 8 miliar?
Sayembara ini justru menimbulkan pertanyaan besar. Apakah tindakan ini tidak menginjak harkat dan martabat KPK? Maruar Sirait seolah-olah merendahkan lembaga KPK dengan langkahnya tersebut. Jika memang demikian, mengapa tidak dibuat juga sayembara serupa untuk menangkap buron lain seperti Kirana Kotama, yang hingga hari ini masih belum tertangkap? Mengapa kasus Kirana Kotama ini tidak diramaikan dan disayembarakan seperti kasus Harun Masiku? Ini tentu menjadi sebuah ironi yang pantas kita kritik.
Kasus Harun Masiku sendiri adalah kasus suap senilai 600 juta, yang menurut pandangan kami tidak memberikan dampak signifikan pada kerugian negara. Bahkan, mantan penyidik KPK menyatakan bahwa kasus ini hanya termasuk “kasus teri”.
Kasus ini bermula dari operasi tangkap tangan (OTT) yang dilakukan KPK terhadap Komisioner KPU Wahyu Setiawan pada 8 Januari 2020. Wahyu ditangkap karena diduga menerima suap dari Harun Masiku untuk memuluskan langkah Harun menggantikan Nazarudin Kiemas, anggota DPR RI dari PDIP yang meninggal dunia. Logikanya, tidak akan ada suap jika Wahyu Setiawan, sebagai eks Komisioner KPU, tidak meminta sogokan dari Harun Masiku.
Dari sini muncul pertanyaan: apakah kasus Harun Masiku ini benar-benar ditujukan kepada Harun, ataukah ada muatan lain di balik kasus ini?
Jika kita perhatikan, praktik-praktik serupa kasus Harun ini sebenarnya banyak terjadi di sekitar kita. Contohnya, dalam dunia kerja, untuk masuk ke perusahaan tertentu sering kali diperlukan “uang pelicin”. Dalam dunia pendidikan, ada praktik suap untuk masuk ke sekolah atau kampus ternama. Bahkan untuk urusan yang lebih kecil, seperti membuat KTP, terkadang muncul alasan seperti “habis blankonya” yang seolah-olah menjadi dalih untuk memunculkan praktik suap.
Kami tidak mendukung praktik suap-menyuap atau sogok-menyogok. Namun, yang kami kritik adalah adanya indikasi politisasi dan kriminalisasi terhadap kasus tertentu. Menurut kami, masih banyak hal lain yang jauh lebih mendesak untuk dikritisi, dikawal, dan dilawan bersama.
Sebagai contoh, kasus-kasus besar di institusi Polri yang justru memiliki dampak besar terhadap negara dan masyarakat. Ada kasus polisi yang diduga menjadi backing bandar narkoba, kasus polisi menembak sesama polisi, polisi menembak ibu kandung, polisi menembak anak SMK, hingga kasus intimidasi lainnya.
Kami menantang, adakah yang berani menyuarakan reformasi Polri dengan lantang? Adakah yang berani mengajak dan menyerukan pencopotan Listyo Sigit sebagai Kapolri? Karena menurut kami, masalah-masalah tersebut adalah isu yang jauh lebih mendesak untuk disuarakan. (han)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Komando Pasukan Gerak Cepat (Kopasgat) gelar latihan bersama operasi pembebasan sandera dan…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM -- Kepala KPPBC Tipe Madya Pabean A Bandung Budi Santoso mengatakan pada kinerja…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Persib Bandung menang 2-1 atas Barito Putera dalam lanjutan Liga 1 2024/2025…
WWW.PASJABAR.COM -- Timnas Indonesia dipastikan bakal tampil maksimal di laga terakhir penyisihan grup Piala AFF…
BANDUNG BARAT, WWW.PASJABAR.COM -- Setelah puluhan tahun hidup di rumah berdinding bilik dan hampir ambruk,…
WWW.PASJABAR.COM -- Satu pemain Timnas Indonesia harus berjalan dengan tongkat jelang laga melawan Filipina di…