HEADLINE

Merdeka dari Presidential Threshold

ADVERTISEMENT
Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS, Firdaus Arifin. (foto: pasjabar)

Oleh: Firdaus Arifin, Dosen YPT Pasundan Dpk. FH Unpas (Presidential Threshold)

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sejak awal diberlakukannya, ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold sebesar 20 persen kursi DPR atau 25 persen suara sah nasional telah menjadi perdebatan yang tidak kunjung usai dalam sistem demokrasi Indonesia. Ketentuan yang diatur dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ini diklaim bertujuan untuk menyederhanakan sistem politik. Namun, di balik klaim tersebut, aturan ini malah menjadi penghambat lahirnya demokrasi yang inklusif dan kompetitif. Oleh karena itu, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024 untuk menghapus ambang batas ini adalah langkah bersejarah yang patut diapresiasi.

Artikel ini bertujuan untuk memperdalam analisis atas putusan MK tersebut, mengurai dampaknya bagi demokrasi, dan menggarisbawahi tantangan yang masih harus dihadapi dalam implementasinya.

Jebakan Demokrasi

Ambang batas pencalonan presiden sering kali dipromosikan sebagai cara untuk menyederhanakan proses politik, mencegah fragmentasi, dan menjamin stabilitas pemerintahan. Namun, dalam praktiknya, aturan ini justru menimbulkan masalah serius. Partai-partai besar menggunakan ambang batas ini sebagai instrumen untuk memonopoli pencalonan presiden. Hasilnya, demokrasi yang seharusnya menjadi ruang partisipasi politik seluas-luasnya berubah menjadi permainan terbatas di tangan segelintir elit politik.

Ketentuan presidential threshold telah lama menjadi subjek kritik karena bertentangan dengan prinsip dasar demokrasi. Konstitusi Indonesia, dalam Pasal 6A ayat (2) UUD 1945, menyatakan bahwa pasangan calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan pemilu. Tidak ada satu pun frasa dalam konstitusi yang mensyaratkan ambang batas tertentu. Dengan demikian, penerapan threshold adalah hasil rekayasa politik yang dilegitimasi melalui undang-undang, tetapi lemah dari perspektif konstitusional.

Terobosan atau Titik Awal?

Dalam Putusan Nomor 62/PUU-XXII/2024, MK akhirnya memutuskan bahwa ketentuan presidential threshold bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak lagi memiliki kekuatan hukum mengikat. Putusan ini merupakan buah dari perjuangan panjang berbagai pihak yang telah menggugat aturan tersebut sebanyak 27 kali sebelumnya.

Putusan MK ini penting bukan hanya karena menghapus ketentuan yang diskriminatif, tetapi juga karena memberikan landasan hukum bagi terciptanya kompetisi politik yang lebih sehat. MK menegaskan bahwa ambang batas tersebut tidak hanya melanggar hak konstitusional partai politik untuk mencalonkan pemimpin, tetapi juga merugikan rakyat sebagai pemilik kedaulatan. Dengan terbatasnya calon yang diajukan, rakyat kehilangan kesempatan untuk memilih pemimpin yang benar-benar sesuai dengan aspirasi mereka.

Putusan ini adalah terobosan, tetapi juga titik awal dari perjalanan panjang menuju demokrasi yang lebih inklusif. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan, mulai dari penyusunan regulasi baru hingga penyesuaian teknis dalam penyelenggaraan pemilu.

Demokrasi yang Lebih Inklusif

Penghapusan presidential threshold memberikan dampak signifikan terhadap sistem politik kita. Pertama, partisipasi politik akan meningkat. Tanpa adanya ambang batas, semua partai politik, termasuk partai kecil, memiliki peluang yang sama untuk mengajukan calon presiden. Ini bukan hanya soal hak partai, tetapi juga soal memberikan lebih banyak pilihan kepada rakyat.

Kedua, penghapusan threshold mengurangi dominasi oligarki politik. Sebelumnya, hanya partai besar atau koalisi yang memenuhi ambang batas yang dapat mencalonkan presiden. Kondisi ini memperkuat dominasi elit politik dan sering kali mengabaikan aspirasi rakyat. Dengan dihapuskannya threshold, dominasi ini bisa ditekan, membuka ruang bagi calon-calon potensial dari luar lingkaran kekuasaan.

Ketiga, kompetisi politik akan menjadi lebih sehat. Dalam sistem tanpa threshold, lebih banyak calon akan bersaing. Ini mendorong munculnya gagasan-gagasan baru dan debat yang lebih substansial di ruang publik. Pemilih tidak lagi dipaksa memilih dari segelintir kandidat yang disodorkan elit, tetapi memiliki kesempatan untuk menimbang beragam alternatif.

Tantangan Implementasi

Namun, perjalanan menuju demokrasi tanpa presidential threshold bukan tanpa tantangan. Salah satu isu yang paling mendesak adalah penyusunan regulasi baru yang mengatur teknis pencalonan presiden. Tanpa aturan yang jelas, ada risiko terjadinya kekacauan atau manipulasi dalam proses pencalonan.

Selain itu, partai politik harus menyesuaikan strategi mereka. Sebelumnya, banyak partai kecil bergantung pada koalisi dengan partai besar untuk memenuhi ambang batas. Dengan dihapuskannya threshold, partai-partai ini perlu beradaptasi untuk bertarung secara mandiri. Ini menuntut konsolidasi internal dan penguatan kapasitas mereka untuk bersaing dalam pemilu.

Tantangan lainnya adalah membangun kesadaran politik di kalangan masyarakat. Demokrasi tanpa threshold hanya akan berhasil jika rakyat benar-benar memahami pentingnya memilih berdasarkan visi dan program kerja kandidat, bukan sekadar popularitas atau sentimen primordial.

Putusan MK ini mendapat sambutan beragam. Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Nasdem, misalnya, menyatakan dukungannya terhadap penghapusan presidential threshold. Mereka melihat putusan ini sebagai langkah maju untuk memperkuat demokrasi. Namun, tidak semua pihak memiliki pandangan yang sama. Beberapa kalangan mengkhawatirkan fragmentasi politik yang dapat terjadi jika terlalu banyak calon presiden yang bertarung.

Kekhawatiran ini memang perlu diperhatikan, tetapi tidak seharusnya menjadi alasan untuk mempertahankan ambang batas. Fragmentasi politik bukanlah ancaman selama mekanisme pemilu dirancang dengan baik. Justru, dengan lebih banyak calon, rakyat memiliki lebih banyak opsi untuk memilih pemimpin yang benar-benar merepresentasikan aspirasi mereka.

Merdeka dari Threshold, Merdeka dari Oligarki

Putusan MK ini adalah langkah besar dalam upaya kita membangun demokrasi yang lebih sehat dan inklusif. Penghapusan presidential threshold bukan sekadar soal mengubah aturan, tetapi juga soal membebaskan demokrasi kita dari cengkeraman oligarki. Ini adalah kesempatan untuk mengembalikan demokrasi ke jalur yang benar, di mana rakyat adalah pemegang kedaulatan tertinggi.

Namun, perjalanan ini tidak akan mudah. Butuh komitmen dari semua pihak—pemerintah, partai politik, penyelenggara pemilu, dan masyarakat—untuk memastikan bahwa perubahan ini benar-benar membawa manfaat nyata bagi demokrasi kita. Kita harus terus mengawal proses ini, memastikan bahwa penghapusan threshold tidak hanya menjadi kemenangan simbolis, tetapi juga langkah konkret menuju demokrasi yang lebih baik.

Merdeka dari presidential threshold adalah sebuah keharusan jika kita ingin mewujudkan demokrasi yang sejati. Demokrasi bukanlah tentang siapa yang kuat, tetapi tentang siapa yang mampu menciptakan ruang yang adil bagi semua pihak untuk berkompetisi secara sehat. Indonesia yang besar dan beragam memerlukan kepemimpinan yang lahir dari proses demokrasi yang inklusif, bukan hasil kompromi elit.

Kini, saatnya kita benar-benar merdeka—merdeka dari ambang batas pencalonan, merdeka dari dominasi oligarki, dan merdeka untuk memilih pemimpin terbaik bagi bangsa ini. Perjalanan ini baru saja dimulai, dan masa depan demokrasi Indonesia bergantung pada langkah-langkah yang kita ambil hari ini. Mari kita songsong demokrasi yang lebih cerah, bersama. (han)

Hanna Hanifah

Recent Posts

Pilar Penting Persib Absen saat Hadapi PSBS Biak

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Persib Bandung akan memulai putaran kedua Liga 1 2024/2025 dengan melawan PSBS…

40 menit ago

Pariwisata Indonesia Lampaui Target, 2024 Jadi Rekor Kunjungan Wisman

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Performa sektor pariwisata Indonesia terus menunjukkan tren positif, ditandai dengan peningkatan jumlah…

40 menit ago

Harga Cabai di Kota Bandung Melonjak Pasca Nataru, Capai Rp 110 Ribu per Kilogram

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Pasca perayaan hari besar keagamaan dan tahun baru, harga cabai jadi bahan…

2 jam ago

Kemnaker: Usia Pensiun Sesuai PP Nomor 45 Tahun 2015, Tahun Ini 59 Tahun

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menegaskan bahwa usia pensiun pekerja telah diatur secara jelas…

3 jam ago

MoU Indonesia-Qatar: 1 Juta Unit Rumah Terjangkau untuk Rakyat

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Presiden Prabowo Subianto menyaksikan langsung penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Menteri Perumahan…

4 jam ago

Pembebasan Bea Masuk Bibit dan Benih Diperkuat Lewat PMK Baru

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Pemerintah menilai pemanfaatan fasilitas pembebasan bea masuk atas impor bibit dan benih…

5 jam ago