HEADLINE

Administrasi Negara: Para Perintis Administrasi Islam

ADVERTISEMENT
Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan, Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (foto: pasjabar)

Oleh: Prof. Dr. H. Ali Anwar, M.Si (Ketua Bidang Agama Paguyuban Pasundan) – Administrasi Negara dalam Buku Wawasan Islam

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Di antara ilmuwan Islam yang pertama kali meluncurkan ilmu administrasi dalam Islam adalah Abu Yusuf, Al-Mawardi, Al-Ghazali, Ibnu Taimiyah, dan Ibnu Khaldun. Mereka bukan hanya dijadikan rujukan bagi dunia muslim, namun juga dijadikan rujukan bagi dunia Barat.

Berikut ini adalah uraian singkat tentang sejarah mereka beserta karyaaryanya terpenting yang berkenaan dengan administrasi Islam:

  1. Abu Yusuf (113 H/731 M) – (182 H/798 M)

Nama lengkapnya adalah Yaqub bin Ibrahim Al-Anshari Al-Kufi Abu Yusuf. Ia adalah orang pertama yang mendapat gelar Hakim Agung (qadhil qudhat) dalam Islam. Ia diangkat oleh Khalifah Harun Ar-Rasyid sebagai penasihat terdekat khalifah dalam masalah-masalah administrasi secara keseluruhan, juga sebagai penasihat dalam kebijakan keuangan dan administrasi pajak. Karyanya Kitab Al-Kharaj adalah salah satu karya istimewa yang pernah ditulisnya atas dasar perintah khalifah Harun Ar-Rasyid. Kitab ini penting bagi administrasi Islam karena membahas masalah-masalah keuangan negara, penentuan pajak, hukum pidana, dan beberapa masalah serupa lainnya. Di samping itu, kitab ini memuat nasihat-nasihat kepada para khalifah, terutama kepada para adminIstrator. Di antara nasihat-nasihat yang terdapat di dalam kitab tersebut adalah:

  • Jangan menunda pekerjaan hari ini hingga besok hari. Apabila melakukannya, Anda telah menyia-nyiakan kesempatan, dan Anda akan mati ditimbun harapan.
  • Jangan menghadap Tuhan esok hari, ketika Anda meniti jalan yang menyesatkan, sedangkan hakim di hari pengadilan yang agung akan menilai orang berdasarkan apa yang telah dilakukannya, bukan berdasarkan pada kelas peringkatnya. Tuhan yang telah memperingatkanmu karena Anda memang sudah diperingatkan.
  • Ketahuilah bahwa sesungguhnya tidak ada orang yang dapat menghindari dari hadapan Allah di hari kiamat kelak. Persoalan yang akan ditanyakannya adalah tentang pengetahuan yang dimilikinya, perbuatan yang telah dilakukannya, kehidupan yang pernah dijalaninya, dan penggunaan hartanya yang telah dimilikinya.

Masih banyak lagi nasihat-nasihatnya yang ditujukan kepada para administrator dan para pemegang pemerintahan, baik yang hudup pada masanya maupun yang hidup sesudahnya.

  1. Al-Mawardi (364 H/975 M) — (450 H/1058 M)

Abu Hasan Ali Ibnu Muhammad ibnu Habib Al-Mawardi merupakan salah satu otoritas dalam pemerintahan administrasi Islam. Karya utamanya berjudul Al-Ahkam As Suthaniyah, telah dikaji secara mendalam di Barat. Pada pertengahan abad sembilan belas, M. Egner menerjemahkan dan menyunting kitab tersebut dalam bahasa Jerman dengan judul Constitution Politice. Pada permulaan abad ke-20, seorang sarjana Prancis, E. Fagnan menerbitkan karva tersebut dengan judul Les Status Gouvernementaux, ou Regles des droit publiques et administratife. Beberapa upaya telah dilakukan guna menyarikan beberapa prinsip politik dan administrasi kemudian merumuskannya dalam kemasan modern, sehingga tidak ada sebuah buku pun tentang pemerintahan dan politik Islam yarig tidak mengutip atau merujuk pada karya Al-Mawardi.

Karya Al-Mawardi ditulis pada pertengahan abad XII. Karya tersebut terdiri atas 20 bab. Topik bahasan meliputi masalah kekhalifahan atau imamah hingga penerapan keadilan, keuangan, dan sumber daya alam. Ada satu bab penuh yang membahas masalah diwan dan pengaturannya terhadap korupsi, serta bagian terakhir tentang hisbah, bahkan Al-Mawardi merupakan penulis pertama yang membahas masalah tersebut.

Nilai karya Al-Mawardi berangkat dari kenyataan bahwa beliau adalah salah seorang otoritas dalam syariah. Oleh sebab itu, setiap peraturan, pengaturan, atau hukum selalu ditopang oleh ayat-ayat Al-Quran, As-Sunnah, dan ijma para ulama. Bahkan, para sarjana Barat mengategorikan buku tersebut sebagai paparan terbesar tentang teori hukum konstitusional menurut Islam. Secara khusus, buku tersebut memuat “konstitusi” bagi sebuah negara Islam. Tujuh bab pertama berisi dasar-dasar tentang landasan yang digunakan untuk menegaskan sebuah negara, sedangkan tiga belas bab sisanya mengemukakan lembaga dan pengaturan negara yang harus dijalankan.

Sebagaimana halnya dengan para sarjana muslim lainnya, Al-Mawardi juga menulis buku tentang nasihat kepada para penguasa, yang sepenuhnya belum dikaji oleh para sarjana modern masa kini.

  1. Al-Ghazali (450 H/1058 M) – (505 H/1111 M)

Abu Hamid Muhammad Bin Muhammad At -Thusi Al-Ghazali (biasa dipanggil Imam Ghazali) merupakan salah seorang ahli ilmu kalam (teologi), ahli hukum, ahli tasawuf, pemikir orasional, sekaligus pemikir rasional serta pembaharu agama. Karyanya yang terpenting dan terbesar adalah kitab Ihya ‘Ulumu Ad-Din (menghidupkan ilmu agama). Di dalamnya mencakup banyak masalah, mulai dari pembahasan tentang dimensi dan kegiatan kemanusiaan, termasuk masalah keimanan, filsafat, ilmu pengetahuan, politik, organisasi administrasi, aketisisme (zuhud), dan meditasi (zikir), serta sifat-sifat negara Islam.

Karyanya yang banyak berkaitan dengan masalah politik adalah Nasihat Al-Mulk (nasihat bagi para penguasa) yang telah diterjemahkan dalam berbagai bahasa. Buku ini memiliki dua bagian. Bagian pertama berisi tentang keimanan, sebagaimana karya-karya lainnya, ia menyatakan bahwa penguasa yang baik dalam melakukan tugasnya senantiasa memperhatikan tuntunan agama. Bagian kedua diberi judul “Cermin bagi Seorang Pangeran” yang terdiri atas tujuh.

Bab pertama berisi tentang kualifikasi raja. Bab kedua dan ketiga berisi tentang kualifikasi wuzara atau para menteri dan sekretaris. Bab ini merupakan tiang utama birokrasi sipil negara muslim abad pertengahan. Bab keempat berisi kebijakan para raja, sedangkan bab kelima dan keenam, berisi tentang intelijen dan orang-orangnya, Bab ketujuh berisi tentang hal-hal yang baik dan buruk dari wanita. Karya tersebut memiliki arti besar yang dapat ditarik pelajaran darinya tentang moral dan etika guna perbaikan administrasi dan mesin birokrasi pada dunia muslim dewasa ini.

Di antara buah pikirannya, ada yang berkenaan dengan kualifikasi seorang khalifah, yang meliputi kualifikasi fisik dan kualifikasi moral. Kualifikasi fisik terdiri dari:

  • kedewasaan,
  • kesehatan,
  • kemerdekaan,
  • laki-laki,
  • keturunan Ouraisy,
  • sehat pendengaran dan pandangan (indera).

Kualifikasi moral meliputi:

  • keberanian militer (najdah),
  • kemampuan mengadmiustrasikan (kifayah),
  • ketulusan dan kesalehan (wara’ dan takwa), dan
  • berpengetahuan (ilmu).
  1. Ibnu Taimiyah (661 H/1262 M) — (82 H/1327 M)

Taqiyuddin Ahmad Ibnu Abdul Halim Ibnu Taimiyah merupakan salah satu bapak administrasi Islam. Ia dikenal sebagai penyumbang besar dalam bidang administrasi dan manajemen melalui karyanya yang terkenal As-Siyasah Asy-Syar ‘iyyah (prinsip-prinsip pemerintahan agama). Buku kecil yang lahir enam abad mendahului karya-karya Frederick W. Taylor dan Henry Fayol, menggunakan metode ilmiah dalam menuliskan masalah-masalah adiministrasi dalam kerangka Islam. Di dalamnya mencakup tugas dan tanggung jawab seorang eksekutif, prinsip-prinsip kompetensi dalam pemilihan personalia dengan landasan the right man on the right job. Juga membahas secara rinci tentang “kebapakan” (patronage), pavoritisme, dan nepotisme sebagai perusak administrasi efektif, dan juga membahas konsep-konsep yang akhirnya dikenal dengan sistem “konco” (spoil system). Lebih jauh lagi, ia membahas masalah-masalah persamaan dalam manajemen, keadilan dalam mengumpulkan dan membagikan dana, konsultasi, pengambilan keputusan, dan lain-lain.

Karya lain Ibnu Taimiyah yang berkaitan erat dengan masalah administrasi adalah Al-Hisbah dan Minaj As-Sunnah. Dalam Al-Hisbah, ia menyatakan pendapatnya tentang lembaga imamah (kepemimpman dan khilafah), kondisinya, metode pemilihannya, dan hubungan antara penguasa dan rakyat serta hak dan kewajibannya. Tradisi, penalaran, dan kehendak bebas merupakan tiga unsur yang diintegrasikan dan dipadukan oleh Ibnu Taimiyah dalam satu doktrin yang dipandang sebagai reformasi konservatif walaupun di dalamnya secara tegas merumuskan keimanan, penjelasan kembali ijtihad, atau penataan kembali sebuah negara.

Negara dan Agama Tak Terpisahkan

Butir terakhir yang berkenaan dengan pembangunan kembali sebuah negara disebutkan dalam kitabnya As-Siyasah. Ia mengemukakan bahwa negara dan agama adalah jalinan yang tak dapat dipisahkan. Tanpa kekuatan sebuah negara, nasib agama akan lemah bahkan terancam. Begitu juga tanpa disiplin ilmu agama (syariah), sebuah negara akan menjadi organisasi tirani. Fungsi utama negara adalah mewujudkan keadilan, menyuruh yang baik (amar ma ‘ruf), dan mencegah kejahatan (nahi munkar), menegakkan (tahqiq) tauhid, dan mempersiapkan agar masyarakat selalu mengabdi kepada Tuhan. Lebih jauh lagi, Ibnu Taimiyah memandang masyarakat muslim (ummah) sebagai persatuan (konfederasi) alami dari negara-negara.

Imamah, menurut pendapatnya adalah seorang pemegang penuh kekuasaan (wakil), penjaga (wali), dan rekan (syarik) mereka yang berada di bawah pimpinannya. Oleh sebab itu, misinya adalah membangun sistem perintah dan larangan serta memberi petunjuk bagi berbagi aspek kehidupan masyarakat. Begitu juga bagi masyarakat, hendaknya menjalankan kebaikan dan menjauhi segala bentuk kejahatan dan segala yang dapat membahayakan solidaritas (ukhuwah) serta menjaga dari faktor yang dapat memecahkan dan meretakkan ummah. Akhirnya Ibnu Taiumiyah menawarkan suatu penalaran dengan menggunakan analogi (qiyas), kemudian memperluas penetapannya terhadap seluruh kasus yang memiliki penyebab yang sama. Seperti halnya ulama-ulama lain, hingga sekarang ia masih memiliki pengaruh besar, baik di dunia Barat maupun belahan dunia lainnya.

  1. Ibnu Khaldun (733 H/1332 M) — (809 H/1406 M)

Ibnu Khaldun dikenal di kalangan sarjana Barat melalui karyanya dalam budaya dan sosiologi, yaitu Muqaddimah. Seorang pengkaji masalah organisasi dan manajemen terkemuka, Ernest Dale melihat bahwa Ibnu Khaldun adalah satu-satunya sarjana berkebangsaan Arab yang mampu memberikan nasihat tentang organisasi dan tindakan politik kepada para raja, sultan dan khalifah di Afrika Utara dan Spanyol sepanjang abad XIV.

Karyanya mengungkapkan bahwa metode-metode untuk memperbaiki organisasi dapat digunakan untuk menggeluti “sains budaya”, yang dapat digunakan untuk menggeluti berbagai jenis masyarakat dalam rangka lebih memastikan berbagai peristiwa sejarah serta memperkuat laporan sejarah. Salah satu kesimpulan yang menarik adalah sebab akhir akan berbeda dengan penyebab formal. Artinya, organisasi informal berkembang dari yang formal, praktik dari teori, dan tindakan dari perkataan.

Sumbangan terpenting Ibnu Khaldun, terutama tentang pertumbuhan organisasi, adalah konsepnya tentang organisme alamiah (natural organism). Sebagaimana halnya organisme, organisasi juga bermula dari kecil (bayi), kemudian berkembang, mencapai kedewasaan, akhirnya mati. Dengan kata lain, ia akan mencapai titik optimum, dan batas alamiah adalah di luar perkembangan.

Seorang Penafsir Morfologi Sejarah

Arnold Toynbee, seorang ahli sejarah menyebut Ibnu Khaldun sebagai penafsir morfologi sejarah yang amat unggul, ketika dunia masih amat terbelakang, serta seorang jenius istimewa dalam bidang kajian morfologi sejarah. Ia adalah orang pertama yang mengenukakan konsep esprit de corp (ashobiyah), atau kebanggan kelompok. Ja juga mengemukakan bahwa para penyelusup, yang berasal dari kaum pengembara (nomaden), yang bermukim di kawasan berpenduduk padat, akhirnya mampu mendirikan sebuah negara karena adanya perasaan kelompok yang kuat.

Sebagaimana dalam bidang sejarah dan sosiologi, karya-karya Ibnu Khaldun yang lain juga masih relevan. Dengan pengetahuan administrasi, manajemen, pertumbuhan organisasi dan pembangunan hingga sekarang belum sempat untuk dikaji secara keseluruhan.

Sebenarnya masih banyak karya ahli lain yang masih tetap bernilai. Misalnya, Nizhoma Al-Mulk (408 H/1010 M) – (485 H/ 1092 M) dalam karyanya Siyasatnamah, pemerintahan atau memerintah bagi raja, menjelaskan seni memerintah dan kewajiban seorang imam, menteri dan sekretaris. Juga mengemukakan bahwa tujuan kenegarawanan adalah mendorong keadilan, beragama sebagaimana seharusnya serta menjaga stabilitas dan kesejahteraan negara. (han)

Hanna Hanifah

Recent Posts

Erling Haaland Teken Kontrak Satu Dekade

WWW.PASJABAR.COM -- Erling Haaland mengaku bersedia teken kontrak baru berdurasi satu dekade di Manchester City…

51 menit ago

Bos FC Copenhagen Mohon Kevin Diks Tetap Bertahan

WWW.PASJABAR.COM -- Bek Timnas Indonesia, Kevin Diks, dikabarkan tengah dalam proses negosiasi kontrak baru bersama…

51 menit ago

Rekor Persib Hancur di Tangan Dewa United

BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Persib Bandung menelan kekalahan saat menjamu Dewa United dalam lanjutan Liga 1…

2 jam ago

Intimidasi Arman Tsarukyan terhadap Islam Makhachev

WWW.PASJABAR.COM -- Juara kelas ringan UFC, Islam Makhachev, sama sekali tak terganggu dengan intimidasi yang…

2 jam ago

Gegara Khabib, Rating Frontier Airlines di Tripadvisor Anjlok

WWW.PASJABAR.COM -- Insiden yang melibatkan mantan juara UFC, Khabib Nurmagomedov, dengan Frontier Airlines baru-baru ini…

3 jam ago

Dana White: Apa yang Khabib Lakukan di Maskapai Sampah?

WWW.PASJABAR.COM -- Presiden UFC, Dana White mengomentari insiden Khabib Nurmagomedov yang diusir dari pesawat saat…

4 jam ago