Oleh: Firdaus Arifin
Dosen FH Unpas & Sekertaris APHTN HAN Jawa Barat
# Kegaduhan Politik
Pemilu serentak 2024 telah menjadi peristiwa monumental dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Dengan berakhirnya pemilihan legislatif, pemilihan presiden, dan pilkada di seluruh negeri, kita kini memasuki fase baru yang penuh harapan, namun sekaligus menantang. Euforia kemenangan di satu sisi, dan kekecewaan di sisi lain, menjadi warna nyata dari demokrasi kita.
Tetapi, fase ini bukanlah akhir, melainkan awal dari tanggung jawab besar untuk menjadikan demokrasi sebagai alat pembangunan bangsa, bukan sekadar panggung perebutan kekuasaan. Tahun 2025 menjadi momen bagi bangsa ini untuk mengakhiri kegaduhan yang melelahkan dan melangkah bersama menuju pembangunan yang lebih kokoh dan bermartabat.
Kegaduhan sebagai Mesin Status Quo
Kegaduhan politik bukan sekadar produk demokrasi, melainkan mekanisme yang menjaga status quo. Ketika politisi lebih sibuk mengelola konflik daripada menyelesaikan masalah, kita menjadi saksi dari demokrasi yang terjebak dalam lingkaran retorika kosong. Kebijakan strategis seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur tidak lagi menjadi prioritas. Yang lebih diperjuangkan adalah eksistensi kekuasaan.
Namun, rakyat tidak bodoh. Mereka tahu bahwa politik gaduh hanya menguntungkan elite. Tahun 2024 menunjukkan bahwa narasi kebencian, identitas, dan populisme masih menjadi komoditas politik yang menjual. Retorika yang memecah belah menjadi alat politik yang efektif, bukan karena rakyat mendukungnya, tetapi karena mereka tidak diberi pilihan alternatif.
Kini, pada 2025, pertanyaannya: apakah kita terus mengulang pola ini? Apakah kita terus membiarkan energi bangsa terkuras oleh konflik yang tidak produktif? Ataukah kita akan beranjak menuju politik yang mendewasakan bangsa?
# Kegaduhan Politik
Demokrasi sering dipuji sebagai sistem politik yang ideal, tetapi ia tidak bebas dari cacat. Demokrasi tanpa akuntabilitas hanya akan melahirkan kebebasan tanpa arah. Di Indonesia, demokrasi sering disalahartikan sebagai kebebasan untuk berbicara, tanpa tanggung jawab untuk berpikir. Kegaduhan politik yang kita saksikan adalah manifestasi dari demokrasi yang kehilangan arah etisnya.
Dalam demokrasi yang sehat, ruang publik adalah tempat di mana ide-ide besar dibahas dengan kedalaman intelektual dan moral. Tetapi di Indonesia, ruang publik telah menjadi pasar opini dangkal. Media sosial, misalnya, lebih sering digunakan untuk memperbesar konflik daripada memfasilitasi dialog. Kegaduhan ini adalah produk dari sistem politik yang memprioritaskan popularitas daripada substansi.
Membangun bangsa bukan hanya soal teknokrasi, tetapi juga moralitas politik. Politik harus kembali menjadi instrumen untuk mengelola keberagaman dan melahirkan kebijakan publik yang adil. Demokrasi harus berorientasi pada penciptaan kesetaraan, bukan sekadar kontestasi suara.
Pada 2025, kita membutuhkan pemimpin yang tidak hanya pintar, tetapi juga bijaksana. Pemimpin yang memahami bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan hak istimewa. Rasionalitas politik yang berpijak pada data harus menjadi dasar pengambilan keputusan. Namun, data tanpa moralitas hanya menciptakan birokrasi tanpa jiwa. Maka, tugas besar kita adalah menyelaraskan keduanya: memadukan rasionalitas dengan nilai-nilai moral untuk menciptakan kebijakan yang berorientasi pada kebaikan bersama.
Politik Indonesia terlalu terfragmentasi. Partai-partai politik lebih sibuk menjaga ego sektoral daripada membangun konsensus nasional. Fragmentasi ini menjadi penghalang terbesar bagi upaya untuk menciptakan kebijakan yang kohesif dan berorientasi pada kepentingan jangka panjang.
Kita membutuhkan agenda bersama—visi Indonesia 2045 yang melampaui sekat ideologi dan pragmatisme politik. Visi ini harus mencakup prioritas kebangsaan seperti pendidikan, pemerataan ekonomi, dan perlindungan lingkungan.
2025 harus menjadi tahun rekonsiliasi, bukan dalam arti sentimental, tetapi struktural. Rekonsiliasi berarti membangun institusi politik yang transparan, efektif, dan akuntabel. Rekonsiliasi juga berarti mendidik rakyat untuk berpikir kritis, agar mereka tidak lagi menjadi objek politik, melainkan subjek yang menentukan arah bangsa.
Bangsa ini terlalu besar untuk dikelola dengan cara-cara lama. Kita membutuhkan redefinisi nasionalisme yang tidak hanya berbasis nostalgia sejarah, tetapi juga visi masa depan. Nasionalisme bukan lagi soal memuja masa lalu, melainkan keberanian menciptakan masa depan.
Redefinisi nasionalisme berarti memandang keberagaman bukan sebagai ancaman, tetapi sebagai kekuatan. Politik identitas yang selama ini menjadi sumber kegaduhan harus digantikan dengan politik inklusivitas. Nasionalisme tidak boleh lagi menjadi alat untuk mempersempit ruang kebangsaan, tetapi harus menjadi energi untuk menciptakan ruang yang lebih luas bagi semua orang.
Maka, 2025 adalah momen untuk menyusun ulang prioritas kebangsaan kita. Mengembalikan pendidikan sebagai jalan panjang mencetak manusia unggul. Membangun ekonomi yang berkeadilan, bukan sekadar pertumbuhan angka-angka. Dan yang terpenting, menjadikan keadilan sosial sebagai fondasi dari semua kebijakan.Krisis politik yang kita alami sejatinya adalah krisis institusi. Banyak institusi negara tidak mampu menjalankan fungsinya karena terjebak dalam budaya birokrasi yang korup dan tidak efisien. Reformasi institusi adalah langkah yang tidak dapat ditawar jika kita ingin membangun bangsa yang berdaya saing.
Institusi politik harus lebih inklusif, memberikan ruang yang lebih besar bagi partisipasi rakyat. Transparansi harus menjadi prinsip dasar dalam pengelolaan kekuasaan. Tanpa reformasi institusi, upaya untuk mengakhiri kegaduhan politik akan sia-sia.
Politik gaduh adalah racun yang memperlambat laju bangsa. Jika Indonesia ingin menjadi pemain global pada 2045, maka 2025 harus menjadi titik balik. Kita tidak memerlukan revolusi besar, tetapi langkah-langkah kecil yang konsisten.
Berhenti gaduh bukan berarti berhenti berbeda pendapat. Demokrasi sehat justru lahir dari perbedaan yang dikelola dengan akal sehat. Namun, perbedaan harus disinari oleh tujuan yang sama: Indonesia yang lebih baik.
Sudah terlalu lama kita membuang waktu di atas panggung politik yang tak produktif. 2025 bukan lagi waktunya berdebat tanpa arah, tetapi waktunya bertindak untuk membangun bangsa. Jangan biarkan sejarah mencatat kita sebagai generasi yang gagal.
Bergerak terus, tanpa henti; membuang yang jelek, membangun yang baik. Dengan kebijaksanaan dan keberanian, kita bisa menciptakan masa depan yang lebih baik untuk semua. (*)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Perayaan Tahun Baru Imlek identik dengan berbagai tradisi, salah satunya adalah menikmati…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Sidang promosi doktor Yanto Heryanto dari Program Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Pasundan…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung, bekerja sama dengan Komunitas Game Developer Bandung, akan…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Sidang promosi doktor Wieky Rusmanto dari Program Pascasarjana Ilmu Sosial Universitas Pasundan…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Pemerintah Kota (Pemkot) Bandung siapkan anggaran Rp.26 miliar untuk mendukung program makan…
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM - Tahukah Anda di wilayah Bandung Selatan ada sebuah desa unik yang aktivitas…