Oleh: Adang, Dosen STIE Pasundan (Filsafat Kesederhanaan)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – DISONANSI STANDAR GLOBAL DENGAN KEBUTUHAN HAKIKI KARYAWAN – Pada tahun 2015, PT. Taisho Pharmaceutical Indonesia, sebuah perusahaan farmasi terkemuka, menghadapi tantangan dalam meningkatkan kinerja tim pemasaran mereka. Dalam rangka untuk meningkatkan kompetensi karyawan, manajer senior di perusahaan tersebut dihadapkan pada dua pilihan utama: pertama, melaksanakan pelatihan internal dengan pendekatan berbasis studi kasus praktis, atau kedua, mengadopsi program pelatihan dari konsultan global yang menggunakan teknologi canggih dan modul pelatihan yang lebih kompleks. Setelah mempertimbangkan tekanan dari pemangku kepentingan untuk mengikuti standar global, manajer memilih opsi kedua. Namun, setelah implementasi program, ditemukan bahwa banyak karyawan mengalami kesulitan dalam mengikuti materi yang disampaikan, karena kompleksitas program yang tidak sesuai dengan kebutuhan sehari-hari mereka. Akibatnya, program pelatihan tersebut gagal memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan kinerja tim pemasaran.
Fenomena ini terangkum dalam theory complexity bias, cara pandang terhadap kecenderungan kognitif yang mendorong individu atau organisasi untuk memilih solusi yang lebih rumit, meskipun solusi yang lebih sederhana mungkin lebih efektif. Relasi dalam pengelolaan Sumber Daya Manusia (SDM), complexity bias seringkali mengarah pada pemilihan strategi atau pelatihan yang dianggap lebih canggih atau lebih bergengsi, meskipun secara praktis tidak relevan dengan kebutuhan operasional sehari-hari. Seperti yang dijelaskan oleh Herbert Simon (1957) dalam teorinya tentang bounded rationality, keterbatasan waktu dan sumber daya menyebabkan individu memilih solusi yang dianggap memadai (satisficing), daripada yang optimal. Dalam kasus ini, meskipun program pelatihan yang lebih kompleks dianggap lebih “global” dan berkualitas, faktanya hal tersebut tidak cocok dengan konteks kebutuhan riil karyawan di lapangan.
Kaus Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM) ini menunjukkan pentingnya pemahaman yang lebih mendalam, lebih fokus terhadap kebutuhan spesifik karyawan dan organisasi dalam merancang program pengembangan. Prinsip Pareto (1906), yang menyatakan bahwa 80% hasil berasal dari 20% usaha yang paling relevan, juga dapat diterapkan dalam konteks ini. Fokus pada solusi pelatihan yang lebih sederhana dan relevan, dengan penekanan pada konteks dan kebutuhan langsung, dapat menghasilkan dampak yang lebih besar terhadap produktivitas dan kinerja karyawan.
Perspektif Psikologi Manusia
Complexity bias, atau kecenderungan manusia untuk mengasosiasikan kerumitan dengan kecanggihan, memiliki akar yang mendalam dalam sejarah psikologi manusia. Secara historis, kompleksitas sering menjadi simbol status, otoritas, dan kecerdasan. Pada era Pencerahan dan Revolusi Industri, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang kompleks dianggap sebagai penanda kemajuan peradaban. Fenomena ini mencerminkan bagaimana manusia, secara evolusioner, belajar menghargai apa yang tampak sulit dipahami sebagai sesuatu yang lebih bernilai dan superior. Dalam konteks ini, bias terhadap kompleksitas berkembang sebagai respons adaptif untuk mencari solusi terbaik di tengah lingkungan yang semakin rumit. Namun, dalam banyak kasus, kecenderungan ini justru dapat menyesatkan.
Psikologi kognitif memberi wawasan tentang bagaimana manusia memproses informasi dan membuat keputusan. Daniel Kahneman & Amos Tversky, dalam karya monumental mereka Judgment Under Uncertainty: Heuristics and Biases (1974), mengidentifikasi bahwa manusia cenderung memilih solusi yang terlihat rumit karena hal tersebut sering kali dihubungkan dengan otoritas dan keahlian. Salah satu teori mereka, yaitu heuristik representasi, menunjukkan bahwa manusia lebih mungkin percaya pada gagasan yang terlihat kompleks karena dianggap lebih valid dan berkualitas. Bias ini sering kali diperkuat oleh illusion of validity, di mana kerumitan memberikan rasa kepastian palsu, meskipun solusi sederhana sering kali lebih efektif.
Bias Kompleksitas
Bias terhadap kompleksitas juga tercermin dalam dinamika kelompok. Dalam psikologi sosial, teori Social Proof oleh Robert B. Cialdini dalam bukunya Influence: The Psychology of Persuasion (1984) menjelaskan bagaimana manusia cenderung mengikuti perilaku atau keyakinan yang tampak valid bagi kelompok besar, terutama jika sesuatu itu tampak teknis atau sulit dimengerti. Dalam konteks Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), fenomena ini sangat relevan. Pemimpin organisasi sering kali terjebak dalam pandangan bahwa strategi atau teknologi yang rumit adalah yang terbaik. Sebagai contoh, implementasi sistem perangkat lunak SDM yang kompleks sering kali dianggap lebih profesional dibandingkan alternatif sederhana, meskipun efektivitasnya belum tentu sebanding.
Bias terhadap kompleksitas ini tidak selalu memberikan hasil positif. Dalam banyak situasi, solusi sederhana justru lebih efisien dan efektif. Kesederhanaan memungkinkan organisasi untuk beradaptasi dengan lebih cepat, mengurangi risiko kegagalan, dan memastikan bahwa solusi dapat diterapkan dengan baik oleh seluruh anggota tim. Hal ini sejalan dengan filosofi yang diungkapkan oleh John Maeda dalam bukunya The Laws of Simplicity (2006), di mana ia menekankan bahwa kesederhanaan adalah elemen penting untuk mencapai efisiensi dan keberhasilan.
Complexity bias, jika dilihat dari sejarah hingga aplikasinya dalam manajemen modern, menunjukkan bahwa manusia perlu belajar menyeimbangkan apresiasi terhadap kompleksitas dengan kemampuan menghargai kesederhanaan. Pemahaman akan bias ini membuka peluang untuk menciptakan pendekatan yang lebih rasional, efisien, dan tepat sasaran dalam setiap aspek pengambilan keputusan, terutama di dunia yang semakin cepat berubah. Dengan demikian, mengenali dan mengelola complexity bias adalah langkah penting menuju pengelolaan yang lebih bijaksana dan strategis.
Complexity Bias, Bounded Rationality & Filsafat Kesederhanaan
Complexity bias tidak dapat dipisahkan dari keterbatasan kognitif yang dimiliki manusia. Jauh sebelum problematika ini terjhadi, teori bounded rationality yang dikembangkan oleh Herbert Alexander Simon pada tahun 1957, sudah menjelaskan tentang ini, bahwa manusia memiliki keterbatasan dalam memproses informasi, waktu, dan sumber daya ketika mengambil keputusan. Karena keterbatasan tersebut, individu cenderung memilih solusi yang memadai (satisficing) daripada mencari solusi yang benar-benar optimal (optimizing). Namun, complexity bias sering kali memperburuk situasi ini dengan membuat manusia keliru menganggap kerumitan sebagai indikator kualitas atau kecanggihan.
Teori bounded rationality memberikan kerangka berfikir untuk memahami mengapa complexity bias begitu mudah mengakar dalam berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam pengambilan keputusan dalam organisasi dan manajemen. Ketika dihadapkan pada berbagai pilihan, manusia sering kali menggunakan heuristic atau jalan pintas mental untuk menyederhanakan proses pengambilan keputusan. Namun, jalan pintas ini sering kali mengarahkan individu untuk memilih solusi yang tampak lebih rumit, karena kerumitan secara sosial dan budaya dianggap mencerminkan profesionalisme dan keberhasilan. Dalam hal ini, complexity bias bertentangan dengan esensi dari filsafat kesederhanaan, yang menekankan bahwa solusi yang sederhana sering kali lebih efektif dan bermakna.
Tradisi Pemikiran
Filsafat kesederhanaan telah menjadi bagian dari banyak tradisi pemikiran, baik dalam filsafat Barat maupun Timur. Dalam filsafat Barat, prinsip kesederhanaan tercermin dalam Occam’s Razor (lex parsimoniae), alternatif prinsip yang dikemukakan oleh William of Ockham pada abad ke-14. Prinsip yang menyatakan bahwa “entia non sunt multiplicanda praeter necessitatem” (entitas tidak boleh dikalikan melebihi kebutuhan), yang berarti bahwa solusi paling sederhana yang dapat menjelaskan suatu fenomena biasanya adalah yang terbaik. Dalam tradisi Timur, filsafat Taoisme juga menekankan pentingnya harmoni dan kesederhanaan, sebagaimana diajarkan dalam karya Tao Te Ching oleh Laozi, yang mengajarkan bahwa “kesederhanaan adalah akar kebijaksanaan.”
Filsafat kesederhanaan memandang implementasi dari teori bounded rationality, bahwa pendekatan sederhana tidak hanya mengatasi keterbatasan kognitif manusia, tetapi juga memungkinkan kita membuat keputusan yang lebih cepat dan efektif. Misalnya, dalam Manajemen Sumber Daya Manusia (MSDM), memilih pendekatan yang sederhana dan langsung sering kali lebih efektif dibandingkan dengan adopsi teknologi atau strategi yang terlalu kompleks, yang justru berisiko menimbulkan kebingungan dan inefisiensi (inefficiency). Namun, karena complexity bias, banyak organisasi yang memilih pendekatan yang rumit, bahkan ketika opsi yang lebih sederhana sudah tersedia.
Kesalahan
Kesalahan ini sering kali berakar pada asumsi sosial bahwa kerumitan adalah tanda kecanggihan atau keberhasilan. Buku yang cukup populer The Laws of Simplicity (2006), penulisnya John Maeda menekankan bahwa kesederhanaan tidak hanya lebih efisien tetapi juga lebih mudah diterima oleh pengguna (user-friendly). Tafsir terhadap hal ini bahwa complexity bias perlu diatasi dengan pendekatan yang menghargai kesederhanaan sebagai nilai fundamental, bukan sebagai sesuatu yang sekadar kompromi.
Dengan memahami teori bounded rationality dan mempraktikkan filsafat kesederhanaan, manusia dapat mengurangi dampak complexity bias dalam pengambilan keputusan. Pemimpin dan pembuat kebijakan perlu menyadari bahwa kerumitan tidak selalu menghasilkan kualitas yang lebih baik. Sebaliknya, keputusan yang sederhana dan terfokus sering kali menghasilkan dampak yang lebih besar. Dalam dunia yang terus berkembang, kemampuan untuk menyederhanakan tanpa kehilangan substansi adalah keterampilan yang harus dipelajari, baik oleh individu maupun organisasi. Saya melihat filsafat kesederhanaan bukan hanya solusi atas complexity bias, tetapi juga pendekatan yang membebaskan manusia dari beban kerumitan yang tidak perlu.
Dekonstruksi Tirani Bias Kompleksitas:
Dialektika Kesederhanaan dalam Pengembangan SDM
Complexity bias adalah manifestasi kognitif yang berakar pada kecenderungan manusia untuk menyamakan kerumitan dengan kecanggihan. Sebuah predisposisi epistemik yang berpotensi menghambat pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM). Dalam kerangka ini, bias kompleksitas dapat dilihat sebagai sebuah tirani implisit. Di mana kompleksitas menjadi fetis yang memanipulasi persepsi akan kualitas dan kredibilitas. Ironisnya, justifikasi semacam ini sering kali berlawanan dengan tujuan pragmatis pengembangan SDM. Yaitu menciptakan efisiensi dan efektivitas untuk mencapai keberlanjutan organisasi. Dalam upaya menanggalkan bias ini, filsafat kesederhanaan hadir sebagai kontra-narasi. Menawarkan paradigma yang menekankan esensi tanpa terbebani oleh elemen-elemen ornamental yang berlebihan.
Filsafat kesederhanaan, sebagaimana diartikulasikan dalam Occam’s Razor, menyiratkan bahwa entitas dan variabel harus diminimalkan sejauh yang diperlukan untuk mencapai tujuan. Prinsip ini menuntut dekonstruksi epistemologis terhadap bias kompleksitas yang merasuk ke dalam desain kebijakan SDM. Dalam pandangan Herbert Alexander Simon, melalui teorinya tentang bounded rationality (1957), keterbatasan manusia dalam memproses informasi. Dan sumber daya memerlukan pendekatan yang satisficing. Yaitu penyelesaian yang cukup baik alih-alih berusaha mengoptimalkan dalam ranah yang tak terbatas. Namun, complexity bias sering kali menggiring organisasi pada labirin solusi yang hiperkompleks. Memperburuk keterbatasan kognitif dan mengaburkan efektivitas yang seharusnya dicapai.
Paradigma
Paradigma filsafat kesederhanaan menuntut reformulasi pendekatan dalam pengembangan SDM. Kesederhanaan tidak sekadar reduksi; ia adalah seni mempertahankan substansi tanpa terjebak dalam eksesivitas. Dalam konteks ini, gagasan John Maeda, menjadi relevan. Bahwa penghilangan elemen yang tidak perlu menciptakan ruang bagi fungsi yang lebih terfokus dan bermakna. Maka, desain sistem SDM yang ideal bukanlah yang mengagungkan kompleksitas, melainkan yang mempermudah aksesibilitas tanpa mengorbankan kedalaman makna.
Filsafat kesederhanaan juga bersandar pada dialektika esensialisme dalam tradisi filsafat Timur, seperti yang tercermin dalam Tao Te Ching oleh Laozi. Kesederhanaan, dalam tradisi ini, tidak hanya dipahami sebagai kebajikan pragmatis. Tetapi juga sebagai imperatif ontologis yang menjaga harmoni antara manusia dengan alam dan dirinya sendiri. Dalam pengembangan SDM, pendekatan ini dapat diterjemahkan sebagai upaya menciptakan kebijakan. Yang selaras dengan kebutuhan manusiawi, tanpa distorsi oleh teknologi atau prosedur yang secara inheren mempersulit.
Kritik Filsafat Kesederhanaan
Solusi untuk menanggalkan bias kompleksitas memerlukan kritik radikal terhadap struktur epistemik yang menopangnya (struktur). Evaluasi kebijakan dan strategi SDM harus memusatkan perhatian pada pertanyaan mendasar. Apakah elemen-elemen ini esensial, atau sekadar aditif yang tidak menambah nilai? Dengan pendekatan ini, organisasi dapat menelusuri kebermaknaan setiap variabel yang mereka adopsi, membedakan yang substansial dari yang superfisial.
Akan tetapi, filsafat kesederhanaan menuntut keberanian untuk melawan arus dominasi paradigmatik yang mengglorifikasi kerumitan. Organisasi harus membangun budaya yang mengafirmasi bahwa kesederhanaan bukanlah bentuk kompromi, melainkan puncak dari intelektualitas. Dalam tradisi Kantian, kesederhanaan dapat dilihat sebagai manifestasi dari practical reason. Yaitu kemampuan untuk mengidentifikasi tujuan yang dapat diwujudkan secara nyata. Tanpa terjebak dalam ranah spekulatif yang tak terjangkau.
Mengatasi bias kompleksitas dalam pengembangan SDM bukan sekadar persoalan teknis. Melainkan sebuah tantangan filosofis yang membutuhkan transendensi dari asumsi-asumsi dasar yang membelenggu. Dengan membangun paradigma kesederhanaan yang terintegrasi, organisasi tidak hanya menciptakan efisiensi, tetapi juga mendekatkan diri pada hakikat keberlanjutan yang sejati. Dalam dunia yang semakin didefinisikan oleh kompleksitas yang terfragmentasi, kesederhanaan menjadi wacana pembebasan yang tidak hanya mereformasi sistem. Tetapi juga membebaskan manusia dari jerat kompleksitas yang melampaui kebutuhan.
Epilog: belum berakhir
Ilmu manajemen adalah disiplin yang bergerak dalam kerangka efficiency (efisiensi), effectiveness (efektivitas), dan sustainability (keberlanjutan). Tentunya memikul beban dan tanggung jawab epistemik untuk menanggapi bias kompleksitas secara strategis. Saya melihat filsafat kesederhanaan tidak hanya menyediakan alternatif pragmatis, tetapi juga memperkaya landasan ontologis. Untuk membangun pendekatan manajerial yang lebih terarah dan bermakna. Kesederhanaan mengarahkan manajemen pada fokus yang esensial, menyingkirkan redundansi yang tidak produktif. Sekaligus menciptakan harmonisasi antara tujuan, sistem, dan sumber daya yang tersedia.
Pada tahun 2023, saya telah berupaya merekonstruksi ilmu manajemen melalui karya saya. Yang berjudul Konvergensi Ilmu Manajemen: Elaborasi Multisentrisme Menuju Ilmu Manajemen Holistik. Buku ini bertujuan mendekonstruksi batasan tradisional manajemen. Dengan menempatkan multisentrisme sebagai paradigma utama, sekaligus menegaskan bahwa kesederhanaan merupakan pilar esensial dalam pengembangan sumber daya manusia menuju profesionalisme. Rekonstruksi ini tidak hanya merumuskan pendekatan konseptual baru. Tetapi juga menegaskan pentingnya keselarasan antara teori dan praktik manajerial yang berorientasi pada sustainability (keberlanjutan) dan keseimbangan sistemik.
Keseimbangan
Urgensi perhatian ilmu manajemen terhadap filsafat kesederhanaan terletak pada kemampuannya untuk menciptakan keseimbangan. Antara rasionalitas instrumental dan aspek humanistik dalam pengambilan keputusan. Pendekatan ini bukan hanya mereduksi kerumitan sistematis, tetapi juga memperkokoh daya adaptasi dan inklusivitas organisasi di tengah disrupsi global. Dengan mengintegrasikan prinsip-prinsip kesederhanaan, organisasi dapat menciptakan struktur yang lebih efficient (efisien), effective (efektif), dan tetap relevan. Dalam konteks perkembangan teknologi serta kebutuhan manusia modern.
Lanskap dunia yang semakin dinamis dan kompleks, tentunya memerlukan kesederhanaan yang berdimensi. Terhadap kebijaksanaan untuk dapat perlu diterjemahkan ke dalam setiap kebijakan dan strategi manajerial. Bukan semata-mata sebagai alat teknokratis, tetapi sebagai nilai fundamental yang menghidupi setiap elemen pengelolaan. Ilmu manajemen, melalui integrasi filsafat kesederhanaan, tidak hanya memperkuat daya saing organisasi. Tetapi juga memperdalam komitmen terhadap pembangunan Sumber Daya Manusia (MSDM) yang berdaya, berkelanjutan (sustainable), dan bermakna. Dalam tatanan global yang terus berkembang.