Oleh: U Wawan Sam Adinata, Dosen STIE Pasundan (Kolonialisme)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Satu hal yang tidak habis pikir, kenapa bangsa ini mudah lupa terhadap sejarah kelam kolonialisme yang menyakitkan, sehingga kewaspadaan terhadap kolonialisme sangat rapuh. Bukan hanya diwajarkan, dalam arti kolonialisme bisa dinegosiasi selama menguntungkan. Tidak sedikit perubahan-perubahan fundamental terjadi dalam tata kelola Negara Kesatuan Republik Indonesia, khususnya yang berhubungan dengan kebijakan ekonomi berbau kolonialis.
Kita semua mungkin lupa tentang pepatah yang mengatakan, “Kalau kita lupa sejarah, maka sejarah akan mengajarkan kita kembali,” artinya sejarah akan terulang, dan kolonialisme akan kembali menghampiri dengan wajah baru, tanpa bau.
Mengutip tulisan Arief Pranoto (GFI), jika Ekonomi Pancasila rumusan the Founding Fathers (Pasal 33 UUD 1945) dilemahkan oleh asing (via amandemen) dengan cara ditambahkannya Ayat (4) pada Pasal 33 (silakan baca/googling: Sistem Kolonialisme Gaya Baru dan Kontra Skemanya). Inilah buah peperangan nirmiliter (asymmetric warfare) yang digelar oleh Barat di Indonesia. Perang tanpa asap mesiu. Itu sesi penghancuran aspek ekonomi nasional oleh asing silam (1999–2002) yang dampaknya terasa hingga kini. Negeri kaya, namun tak sedikit rakyatnya miskin.
Memang kemiskinan bukan aib, apalagi menyalahkan nasib karena malas, tidak berpendidikan, dan lain-lain sebagai corong pembenaran atas kemiskinan yang terjadi. Kemiskinan harus dimaknai bahwa negara gagal mengelola organisasinya sesuai dengan amanah Pembukaan UUD 1945 atau tujuan daripada berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Dampak
Kemiskinan rakyat adalah buah daripada kolonialisme dan imperialisme. Itulah kenapa bangsa kita berjuang mengorbankan apa pun untuk melepaskan penjajahan dan merdeka sejatinya agar hidup layak dan bermartabat alias tidak miskin. Kalau kemiskinan masih merajalela, maka ini adalah pengkhianatan sesungguhnya terhadap cita-cita besar para pendiri negara.
Kembali ke tulisan awal, mengingatkan kembali agar tidak lupa, kolonialisme adalah praktik penjajahan suatu negara terhadap negara lain, sedangkan imperialisme adalah kebijakan yang dilakukan negara untuk menguasai negara lain. Memang sejak demokrasi menjadi ideologi baru, imperialisme drastis berkurang karena teori perluasan wilayah dan pelebaran kekuasaan seperti yang dilakukan oleh kerajaan di zaman dulu jarang terjadi, karena akan dikutuk atau jadi musuh bersama karena melanggar hubungan antarnegara yang semakin modern dan tidak ada celah untuk terjadinya imperialisme. Mungkin masih terjadi, tapi dikemas sehalus mungkin agar tindakan tersebut dibenarkan dan menunjukkan bahwa “nafsu” tersebut tidak pernah padam.
Kalau berkaca pada perkembangan dunia, di mana perang atas nama penguasaan sumber daya alam negara lain terus berlangsung dengan berbagai modusnya, maka bisa ditarik garis merah bahwa kolonialisme tidak pernah mati.
Pertanyaannya, apa yang dimaksud dengan kolonialisme era baru atau modern? Tentu saja prinsip dasarnya sama, yaitu melakukan koloni di negara lain. Kolonialisme modern atau neokolonialisme adalah bentuk kolonialisme yang lebih halus dan kompleks, yang tidak melibatkan pendudukan fisik oleh negara kolonial. Berikut beberapa ciri dan contoh kolonialisme modern yang diambil dari berbagai sumber.
Ciri dan Contoh
Secara ekonomi, dampak yang sangat jelas adalah negara maju menguasai ekonomi negara berkembang melalui investasi, perdagangan, dan utang. Perangkat penguasaannya dijalankan dengan merubah dasar negara tersebut, seperti amandemen UUD, dan sebagainya.
Secara politik, negara-negara yang disebut maju sangat kuat sekali mempengaruhi kebijakan politik negara berkembang melalui diplomasi, bantuan, bahkan intervensi, baik secara langsung ataupun tidak langsung. Termasuk ikut campur dalam negeri negara yang ditarget dengan berbagai isu dan fenomena yang melemahkan.
Secara budaya, negara maju mempromosikan budayanya di negara berkembang melalui media, pendidikan, dan pariwisata. Sebuah gerakan pencucian otak dengan tujuan penyeragaman berpikir, sehingga akar budaya bangsa yang dituju tercerabut dan bangga dengan budaya baru negara maju, kehilangan identitas, diganti dengan identitas lain.
Secara teknologi, tentu negara maju menguasai teknologi dan sumber daya alam negara berkembang. Puncak dari penguasaan adalah sumber daya alam negara bersangkutan. Penjajahan gaya baru tidak mau mencaplok wilayah selain karena biayanya mahal, juga berisiko melanggar kepatutan masyarakat dunia. Sedangkan tujuan utamanya adalah sumber daya alam, maka kolonialisme gaya baru lebih fokus, efektif, dan efisien.
Keempat poin tersebut adalah gambaran yang sangat jelas dari kolonialisme gaya baru, sebuah penjajahan tanpa sadar, penjajahan yang sangat halus dan dianggap tidak merugikan karena menguntungkan para pengambil kebijakan atau elite negara bersangkutan, atau zaman dulu kita kenal dengan istilah “boneka” penjajah.
Jejak yang Tak Dapat Dihapus
Sehalus apa pun, kolonialisme tetap meninggalkan jejak yang tidak bisa dihapus. Jejak tersebut menjadi ikon atau ciri mendasar, jejak yang berwujud menjadi contoh yang harus digarisbawahi.
Jalan mulus perusahaan-perusahaan multinasional menguasai pasar dan sumber daya di negara berkembang. Jadi, negara berkembang tetap dipelihara sebagai pangsa pasar, baik makanan, minuman, pakaian, film, dan sebagainya.
Jebakan berupa pinjaman atau kita kenal dengan istilah utang dan bantuan. Negara maju merayu, menjebak dengan memberikan utang dan bantuan kepada negara berkembang yang memang membutuhkan untuk membiayai pembangunan, dan sebagainya, dengan syarat-syarat yang menguntungkan negara maju. Sebuah syarat yang sudah lama kita lihat dan rasakan sangat merugikan (jebakan Batman).
Yang lebih kasar adalah kekuatan militer. Lihat sejarah negara gagal (tulisan sebelumnya/Pasjabar), bagaimana intervensi militer berjalan untuk memuluskan program kolonialisme gaya baru. Intervensi militer, baik di darat maupun di jalur laut, walaupun alasannya atas nama keamanan atau demokrasi.
Dampak utama kolonialisme baru adalah persis dengan kolonialisme jadul, seperti hilangnya kedaulatan negara dalam seluruh sektor. Sebuah negara yang kita sebut negara ilusi, negara tanpa kedaulatan, tanpa terasa kehadirannya untuk rakyat.
Kondisi tersebut menegaskan kembali bahwa kolonialisasi belum berakhir. Dalam tulisan yang berjudul On Some Aspect of the Historiography of Colonial India, sejarawan India, Guha, menjelaskan bahwa penindasan tidak semata-mata dilakukan oleh kelompok “luar” saja (bangsa penjajah), namun juga kelompok “dalam” (orang pribumi).
Pesan Bung Karno, “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri. Jadikan deritaku ini sebagai kesaksian, bahwa kekuasaan seorang presiden sekalipun ada batasnya. Karena kekuasaan yang langgeng hanyalah kekuasaan rakyat.” (han)