
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas (Efisiensi)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Di meja para teknokrat, efisiensi adalah mantra. Ia diucapkan dengan percaya diri, seperti sebuah kebenaran yang tak perlu diperdebatkan. Para ekonom merayakannya, para birokrat menjadikannya ukuran keberhasilan, dan para penguasa menggenggamnya sebagai dalih bagi kebijakan.
Efisiensi, kata mereka, adalah jalan menuju kemajuan. Dengan efisiensi, anggaran bisa dipangkas, proyek bisa dipercepat, produksi bisa dimaksimalkan. Semakin sedikit biaya untuk hasil yang semakin besar—itulah tujuan akhirnya.
Tetapi dalam euforia itu, kita jarang bertanya: apa yang sesungguhnya kita maksud dengan efisiensi? Dan siapa yang diuntungkan olehnya?
Rasionalitas yang Kaku
Seorang ekonom mungkin akan menjelaskan efisiensi dengan persamaan matematis: efisiensi adalah output maksimal dengan input minimal. Seorang insinyur mungkin akan menggambarkannya dalam skema mekanis: mesin yang baik adalah mesin yang tidak menyisakan energi sia-sia. Seorang pejabat publik akan menyebutnya dalam laporan anggaran: program berjalan dengan biaya serendah mungkin.
Tetapi, bisakah kehidupan manusia direduksi ke dalam rumus-rumus itu?
Kita melihat bagaimana efektivitas sering kali berjalan dengan kepastian yang kaku. Ia menjadi dalih bagi pemangkasan anggaran kesehatan, pemecatan pegawai, pengurangan subsidi, dan percepatan proses hukum. Di atas kertas, semuanya tampak rapi dan masuk akal. Tetapi di luar angka-angka itu, ada kehidupan yang berguncang: pekerja yang kehilangan mata pencaharian, pasien yang tidak mendapatkan perawatan, mahasiswa yang menghadapi pendidikan yang serba ringkas dan mekanis.
Sistem hukum kita, misalnya, kerap mengagungkan efektivitas dalam bentuk digitalisasi dan percepatan peradilan. Gugatan harus diproses dengan cepat, sidang harus selesai dalam hitungan hari, putusan harus dikeluarkan tanpa penundaan. Tetapi, keadilan yang terlalu cepat, apakah masih bisa disebut keadilan?
Dalam sistem yang terlalu efisien, manusia kehilangan tempatnya. Keadilan menjadi sekadar prosedur yang berjalan dengan lancar—tetapi tanpa napas, tanpa ruang bagi refleksi, tanpa pertimbangan bagi kompleksitas yang tak terhitung dalam lembaran laporan statistik.
Daya Hidup yang Hilang
Ada yang terasa ganjil ketika kita terlalu mendewakan efisiensi. Ia seperti mempercepat sesuatu yang seharusnya berjalan dalam ritmenya sendiri. Seperti mempercepat musik, sehingga nada-nada yang seharusnya memberi ruang bagi perasaan, kini hanya menjadi deretan suara yang tergesa-gesa.
Lihatlah dunia pendidikan. Kampus-kampus kini beroperasi layaknya perusahaan. Mahasiswa adalah “pelanggan” yang harus “dilayani” dengan “proses akademik yang cepat dan efisien.” Kurikulum disederhanakan, jumlah jam perkuliahan dikurangi, dan dosen didorong untuk menyelesaikan materi secepat mungkin.
Tetapi, apakah pendidikan adalah sesuatu yang bisa dipercepat?
Pendidikan, sebagaimana pemikiran, membutuhkan ruang untuk berkembang. Ia membutuhkan jeda, dialog, kebingungan yang panjang sebelum jawaban ditemukan. Jika efisiensi dipaksakan di dalamnya, yang kita dapatkan bukanlah pemahaman, melainkan sekadar akumulasi informasi yang cepat diproses dan cepat dilupakan.
Begitu pula dalam kehidupan sosial. Kita semakin terbiasa dengan komunikasi yang instan, keputusan yang cepat, interaksi yang tanpa kedalaman. Hubungan manusia menjadi sekadar transaksi. Waktu untuk bercakap-cakap, untuk merenung, untuk memahami satu sama lain—semakin terasa seperti kemewahan yang tidak efisien.
Tetapi kehidupan bukanlah pabrik. Ia tidak berjalan dengan logika produksi. Ia memiliki ritmenya sendiri, yang sering kali tak bisa dipercepat tanpa kehilangan esensinya.
Paradoks Efisiensi
Menariknya, dalam sejarah, peradaban-peradaban besar justru lahir bukan karena efektivitas, tetapi karena daya hidup yang tidak selalu mengikuti logika ekonomis.
Di Yunani kuno, demokrasi berkembang bukan karena sistemnya efisien, melainkan karena orang-orangnya memiliki ruang untuk berpikir, berdebat, dan merenung. Di zaman keemasan Islam, filsafat, ilmu pengetahuan, dan sastra berkembang bukan karena ada target produksi yang ketat, melainkan karena ada kebebasan intelektual yang memberi ruang bagi ketidaktergesa-gesaan.
Di dunia seni, efisiensi hampir selalu bertentangan dengan penciptaan. Seorang penyair tidak bisa dipaksa menulis puisi dalam satu jam hanya demi target produksi. Seorang pelukis tidak bisa menciptakan karya besar hanya karena ada tenggat waktu yang mendesak.
Dalam segala aspek kehidupan yang bermakna, ada paradoks: semakin kita mengejar efisiensi, semakin kita kehilangan sesuatu yang tak tergantikan.
Efisiensi yang Manusiawi
Tetapi ini bukan berarti kita harus menolak efisiensi sama sekali. Dalam beberapa hal, efektivitas memang dibutuhkan. Tanpa efisiensi, kita akan terjebak dalam birokrasi yang bertele-tele, dalam prosedur yang memakan waktu, dalam sistem yang lamban dan tidak responsif.
Maka, yang perlu kita pikirkan adalah efisiensi yang tidak membunuh kehidupan.
Efisiensi dalam hukum haruslah efisiensi yang tetap memberi ruang bagi keadilan. Ia tidak boleh sekadar menjadi alasan untuk mempercepat putusan, tetapi harus memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang cukup untuk didengar.
Efisiensi dalam pendidikan haruslah efisiensi yang tetap mempertahankan esensi pembelajaran. Ia tidak boleh sekadar mengurangi waktu belajar, tetapi harus memastikan bahwa mahasiswa tetap memiliki ruang untuk berpikir, berdiskusi, dan berkembang.
Efektivitas dalam kehidupan sosial haruslah efisiensi yang tidak menghapuskan kedalaman hubungan. Ia tidak boleh mengubah manusia menjadi sekadar angka dalam sistem, tetapi tetap memberi tempat bagi perasaan, bagi kebersamaan, bagi waktu yang tidak selalu dihitung dalam hitungan produktivitas.
Karena pada akhirnya, efisiensi yang sesungguhnya bukanlah tentang mempercepat segala sesuatu, tetapi tentang menemukan keseimbangan antara kecepatan dan makna.
Kita tidak ingin hidup dalam dunia yang berjalan seperti mesin. Kita ingin hidup dalam dunia yang masih memiliki ruang untuk manusia. (han)