BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM — Polemik mengenai Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RKUHAP) semakin memanas. Salah satu isu yang mencuat adalah dugaan pemberian kewenangan luar biasa terhadap salah satu lembaga hukum, yang dikhawatirkan dapat menciptakan ketimpangan dalam sistem peradilan pidana.
Ketua Lembaga Pengawas Bangsa (LPB) sekaligus aktivis hukum, Indrajidt Rai Garibaldi, menegaskan bahwa pihaknya akan terus mengawal proses legislasi RKUHAP.
Hal itu untuk memastikan tidak ada pasal yang berpotensi mencederai keadilan.
Menurut Rai, Pasal 12 dalam RKUHAP menjadi sorotan utama karena dinilai memberikan Kejaksaan Agung kewenangan yang terlalu besar.
“Tidak ada tempat bagi kesewenang-wenangan atau arogansi dalam hukum acara pidana. Kami akan terus mengawasi agar proses legislasi ini tetap transparan dan adil,” ujarnya.
Potensi Penyalahgunaan Kekuasaan
Selain kekhawatiran mengenai kekuatan lembaga hukum tertentu, polemik potensi penyalahgunaan kekuasaan juga menyeruak.
Banyak pihak menilai bahwa aturan dalam 94 halaman RKUHAP bisa membuka celah bagi tindakan sewenang-wenang.
Tindakan sewenang-wenang akan timbul terutama dalam proses penyidikan dan penuntutan.
Rai menegaskan bahwa penting bagi masyarakat untuk terus bersuara dalam mengawal RKUHAP agar tidak menjadi alat bagi segelintir pihak untuk mengendalikan sistem peradilan.
“Kami berkomitmen untuk memastikan bahwa RKUHAP yang disahkan tidak hanya berkeadilan, tetapi juga melindungi hak asasi manusia secara menyeluruh,” katanya.
Seruan untuk Keterlibatan Publik
Pakar Ilmu Hukum Indonesia, Saim Aksinuddin, menyebut bahwa pembahasan RKUHAP harus melibatkan berbagai elemen masyarakat, termasuk akademisi, tokoh masyarakat, tokoh agama, serta politisi.
Menurutnya, undang-undang yang baik harus dikaji secara komprehensif agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan antara institusi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan.
“Undang-undang harus dikaji secara mendalam dan melibatkan banyak perspektif. Jika tidak, kita hanya akan menciptakan peraturan yang berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum,” tegas Saim.
Ia juga menekankan pentingnya konsistensi dalam penegakan hukum agar tidak menimbulkan ketimpangan dan penyalahgunaan kewenangan.
“Diskusi kritis seperti ini dapat menjadi dorongan bagi para pemangku kebijakan untuk mempertimbangkan suara masyarakat sebelum mengambil keputusan penting terkait RKUHAP,” pungkasnya.
Dengan adanya kontroversi ini, masyarakat dan berbagai elemen perlu terus mengawal proses legislasi RKUHAP agar tidak hanya berpihak pada segelintir pihak, tetapi benar-benar menjadi produk hukum yang adil, transparan, dan berpihak pada keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. (Arf)