Dosen Yayasan Pendidikan Tinggi Pasundan Dpk FH UNPAS, Firdaus Arifin. (foto: pasjabar)Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (UUD 1945)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Dalam wacana politik Islam kontemporer, nilai-nilai ketuhanan bukan hanya menjadi landasan normatif, tetapi juga mencerminkan moralitas publik dan orientasi spiritualitas bangsa. Di Indonesia, Pancasila sebagai dasar negara dan UUD 1945 sebagai konstitusi menjadi bukti konkret bagaimana nilai-nilai ketuhanan dilembagakan dalam sistem politik modern. Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” merupakan manifestasi komitmen bangsa Indonesia untuk membangun negara yang tidak sekular, tetapi juga tidak teokratis. Nilai ini menegaskan bahwa negara Indonesia bersifat religius-humanis, yang mengintegrasikan keimanan kepada Tuhan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal.
Ketuhanan sebagai Pilar Konstitusi
Ketuhanan Yang Maha Esa, sebagaimana tercantum dalam Pancasila, mengakar pada Pasal 29 UUD 1945 yang menyatakan: Pertama, Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa. Kedua, Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Pasal ini menunjukkan bahwa prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa tidak hanya menjadi landasan filosofis negara, tetapi juga memberi ruang bagi pluralisme agama. Dalam kerangka politik Islam, prinsip ini bersesuaian dengan konsep tasamuh (toleransi) yang diajarkan dalam Al-Qur’an, seperti dalam QS. Al-Kafirun: 6 (“Untukmu agamamu, dan untukku agamaku”). Negara Indonesia tidak mengintervensi keyakinan individu, tetapi memastikan bahwa hak untuk menjalankan ajaran agama dilindungi sepenuhnya.
Namun, penerapan nilai ketuhanan tidak berhenti pada tataran pasif. Dalam konteks negara demokrasi modern, nilai ini harus diwujudkan dalam kebijakan publik yang berlandaskan etika dan moralitas agama. Pemerintah wajib menjamin bahwa setiap keputusan politik tidak bertentangan dengan nilai-nilai keadilan, kejujuran, dan kemanusiaan sebagaimana diajarkan oleh agama-agama besar di Indonesia.
Dimensi Ketuhanan dalam Kebijakan Sosial
UUD 1945 memberikan ruang yang luas untuk mewujudkan nilai-nilai ketuhanan dalam bentuk konkret, terutama dalam kebijakan sosial. Pasal 34, misalnya, mengamanatkan bahwa “fakir miskin dan anak terlantar dipelihara oleh negara.” Ayat ini merupakan refleksi nyata dari ajaran agama tentang kepedulian terhadap sesama. Dalam Islam, konsep zakat, infak, dan sedekah menjadi instrumen utama untuk memastikan distribusi kekayaan yang adil dan pemerataan kesejahteraan.
Namun, realisasi prinsip ini masih menghadapi berbagai tantangan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2024, tingkat kemiskinan di Indonesia masih berada di angka 9,36%, meskipun telah mengalami penurunan dibandingkan tahun-tahun sebelumnya. Fakta ini menunjukkan bahwa meskipun konstitusi telah memberikan landasan moral yang kuat, implementasinya membutuhkan kebijakan yang lebih terarah dan berkelanjutan. Dalam perspektif politik Islam, negara harus memastikan bahwa setiap individu, terutama yang berada di kelompok rentan, mendapatkan haknya untuk hidup layak sesuai prinsip maqashid syariah.
Ketuhanan dalam Pendidikan Nasional
Dimensi ketuhanan juga sangat kental dalam sektor pendidikan, sebagaimana diatur dalam Pasal 31 UUD 1945. Pendidikan bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi lebih dari itu, juga membentuk manusia yang beriman dan bertakwa. Amanat ini terwujud dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang menegaskan pentingnya pendidikan karakter berbasis nilai-nilai agama.
Namun, survei Program for International Student Assessment (PISA) pada 2022 menunjukkan bahwa kemampuan literasi siswa Indonesia masih berada di peringkat bawah dibandingkan negara-negara lain. Ini menjadi tantangan bagi negara untuk memastikan bahwa pendidikan tidak hanya mengejar aspek intelektual, tetapi juga spiritual dan moral. Dalam pandangan politik Islam, pendidikan adalah sarana membangun insan kamil, yaitu individu yang unggul dalam dimensi intelektual, spiritual, dan sosial.
Penerapan Prinsip Ketuhanan dalam Hukum dan Pemerintahan
Nilai ketuhanan dalam UUD 1945 juga menjadi landasan dalam membangun sistem hukum yang adil dan berkeadilan. Pasal 24 UUD 1945 menegaskan bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya yang bebas dari intervensi kekuasaan lain. Kebebasan ini penting untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara adil sesuai prinsip amar ma’ruf nahi munkar.
Sayangnya, korupsi masih menjadi masalah akut di Indonesia. Berdasarkan data Transparency International, Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia pada 2023 berada di angka 34, menunjukkan bahwa korupsi masih meluas dalam berbagai sektor pemerintahan. Dalam konteks ini, nilai ketuhanan harus diterjemahkan sebagai komitmen moral untuk menjalankan pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab. Dalam Islam, korupsi adalah bentuk ghulul (pengkhianatan amanah) yang dilarang keras, sebagaimana tercantum dalam QS. An-Nisa: 58.
Nilai Ketuhanan dalam Demokrasi Pancasila
Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi Pancasila, Indonesia memberikan ruang bagi partisipasi rakyat dalam pengambilan keputusan politik. Nilai ketuhanan menjadi panduan etis dalam menjalankan demokrasi agar tidak terjebak pada mayoritarianisme yang mengabaikan hak-hak kelompok minoritas. Dalam konteks politik Islam, ini sejalan dengan konsep syura (musyawarah) yang menekankan pentingnya partisipasi kolektif dalam pengambilan keputusan yang adil dan inklusif.
Namun, tantangan utama dalam penerapan demokrasi berbasis nilai ketuhanan adalah menjaga integritas proses politik. Praktik politik uang, kampanye hitam, dan manipulasi data menjadi ancaman serius terhadap kualitas demokrasi. Untuk itu, nilai ketuhanan harus menjadi filter moral yang memastikan bahwa setiap proses politik berjalan sesuai dengan prinsip keadilan dan kejujuran.
Refleksi dan Tantangan ke Depan
Nilai-nilai ketuhanan yang tertuang dalam UUD 1945 telah memberikan kerangka moral yang kokoh bagi pembangunan bangsa. Namun, implementasinya membutuhkan komitmen yang kuat dari semua elemen masyarakat, terutama para pemimpin politik dan pembuat kebijakan.
Sebagai bangsa yang beragam, Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi teladan dalam menerapkan nilai-nilai ketuhanan dalam kehidupan bernegara. Namun, potensi ini hanya dapat terwujud jika kita mampu mengatasi berbagai tantangan, seperti kemiskinan, korupsi, dan disintegrasi sosial, dengan pendekatan yang mengedepankan keadilan, kebijaksanaan, dan kasih sayang.
Dalam perspektif politik Islam, keberhasilan sebuah negara tidak diukur hanya dari aspek material, tetapi juga dari sejauh mana negara tersebut mampu menciptakan masyarakat yang sejahtera, bermoral, dan beradab. Dengan menjadikan nilai-nilai ketuhanan sebagai ruh dari setiap kebijakan publik, Indonesia dapat mewujudkan visi tersebut sekaligus memberikan kontribusi yang berarti bagi peradaban dunia. (han)