
Oleh: Firdaus Arifin, Dosen FH Unpas & Sekretaris APHTN HAN Jawa Barat (Reformasi TNI)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sejak reformasi 1998, salah satu agenda besar yang terus diperjuangkan adalah profesionalisme TNI. Militer harus fokus pada pertahanan negara dan tidak lagi terlibat dalam politik atau jabatan sipil di luar ketentuan yang telah diatur. Namun, polemik terbaru terkait pengangkatan Letnan Kolonel (Letkol) Teddy Indra Wijaya sebagai Sekretaris Kabinet (Seskab) menguji konsistensi komitmen tersebut.
Keputusan Presiden Prabowo Subianto untuk menunjuk seorang prajurit aktif sebagai Seskab menimbulkan pertanyaan serius. Apakah ini bentuk pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI), atau sekadar celah hukum yang dimanfaatkan demi kepentingan politik?
Sebagai salah satu jabatan strategis dalam pemerintahan, posisi Seskab seharusnya ditempati oleh figur sipil. Pasal 47 UU TNI secara tegas membatasi jabatan sipil yang dapat diisi oleh prajurit aktif. Dan Seskab tidak termasuk dalam daftar tersebut. Jika demikian, mengapa keputusan ini tetap diambil?
Sebuah Aturan yang Dilanggar?
UU TNI jelas menyatakan bahwa prajurit aktif hanya boleh menduduki jabatan sipil tertentu. Yaitu di kementerian atau lembaga yang berkaitan langsung dengan pertahanan dan keamanan negara. Beberapa di antaranya adalah Kementerian Pertahanan, Badan Intelijen Negara (BIN), dan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB).
Sekretariat Kabinet bukanlah lembaga yang memiliki hubungan langsung dengan pertahanan. Ini adalah institusi sipil yang bertugas membantu Presiden dalam menyusun kebijakan dan mengoordinasikan kementerian serta lembaga lainnya. Dengan demikian, penunjukan Letkol Teddy sebagai Seskab secara terang-terangan melanggar batasan yang telah diatur dalam UU TNI.
Tidak hanya itu, pengangkatan seorang perwira aktif dalam jabatan sipil berisiko menimbulkan dampak jangka panjang bagi reformasi TNI. Sejak era Orde Baru, upaya untuk mengembalikan militer ke barak menjadi agenda utama reformasi. Salah satu instrumen kunci dalam reformasi ini adalah penghapusan Dwi Fungsi ABRI. Yang dahulu memungkinkan militer terlibat dalam politik dan pemerintahan.
Penunjukan Letkol Teddy sebagai Seskab dapat menjadi preseden berbahaya. Jika ini dibiarkan, tidak tertutup kemungkinan ke depan semakin banyak prajurit aktif. Yang diangkat dalam jabatan sipil atas dasar kepentingan politik semata.
Kenaikan Pangkat yang Dipertanyakan
Selain pelanggaran terhadap UU TNI, polemik ini semakin diperparah. Dengan kenaikan pangkat Letkol Teddy yang berlangsung dalam waktu singkat. Dari seorang mayor, ia tiba-tiba naik menjadi letnan kolonel menjelang pelantikannya sebagai Seskab.
Kritik pun bermunculan dari berbagai pihak, termasuk dari dalam tubuh TNI sendiri. Beberapa organisasi seperti Imparsial dan SETARA Institute menilai bahwa kenaikan pangkat ini tidak mencerminkan sistem meritokrasi yang berlaku di militer. Mengapa seseorang yang tidak memiliki rekam jejak panjang di medan tempur bisa mendapatkan promosi begitu cepat?
Dalam sistem kepangkatan TNI, kenaikan pangkat harus melalui proses yang jelas dan ketat. Seorang prajurit harus melewati sejumlah tahapan. Termasuk pendidikan militer, pengalaman lapangan, serta rekomendasi dari atasan. Jika kenaikan pangkat bisa diperoleh dengan mudah karena faktor kedekatan politik, maka ini akan menjadi pukulan bagi sistem profesionalisme di tubuh TNI.
Di sisi lain, Mabes TNI membela keputusan ini dengan menyatakan bahwa kenaikan pangkat Letkol Teddy sudah sesuai prosedur. Namun, argumentasi ini sulit diterima ketika konteks politik turut membayangi keputusan tersebut. Apakah keputusan ini benar-benar berbasis aturan, ataukah ada intervensi dari kekuatan politik yang lebih besar?
Dinamika Politik di Balik Pengangkatan
Pihak yang mendukung pengangkatan Letkol Teddy berargumen. Bahwa jabatan Seskab bersifat administratif dan tidak bersinggungan langsung dengan politik praktis. Namun, argumentasi ini tidak cukup kuat untuk membenarkan keputusan tersebut.
Sebagai Seskab, Teddy memiliki akses langsung kepada Presiden. Dan bertanggung jawab dalam menyusun serta mengoordinasikan kebijakan pemerintahan. Posisi ini bukan hanya sekadar jabatan teknis. Melainkan memiliki peran strategis dalam roda pemerintahan.
Di sinilah kekhawatiran terbesar muncul. Jika seorang perwira aktif dapat diangkat dalam jabatan sipil strategis, maka batas antara militer dan sipil semakin kabur. Ini bukan sekadar masalah teknis hukum. Tetapi juga menyangkut integritas demokrasi dan supremasi hukum di Indonesia.
Lebih jauh, pengangkatan ini juga mencerminkan dinamika politik dalam pemerintahan Prabowo. Sebagai Presiden yang memiliki latar belakang militer, banyak pihak mengkhawatirkan. Kemungkinan kembalinya pola hubungan sipil-militer yang lebih dominan ke arah militeristik. Apakah ini langkah awal dari upaya membawa kembali peran militer ke dalam pemerintahan secara lebih luas?
Ujian bagi Supremasi Hukum
Kasus Letkol Teddy bukan hanya sekadar soal pengangkatan pejabat. Tetapi juga ujian bagi supremasi hukum di Indonesia. Jika aturan yang ada bisa begitu mudah dilanggar atau dimanipulasi demi kepentingan politik tertentu, maka ini menjadi sinyal buruk bagi keberlanjutan reformasi.
Dalam sebuah negara hukum, tidak ada alasan bagi pemerintah untuk mengabaikan peraturan yang sudah jelas. Jika Presiden tetap ingin mempertahankan Letkol Teddy sebagai Seskab, maka langkah yang paling tepat adalah memintanya untuk mengundurkan diri dari TNI terlebih dahulu. Ini akan memastikan bahwa keputusan tersebut tidak bertentangan dengan UU TNI. Dan tetap menjaga batasan antara ranah sipil dan militer.
Namun, jika pemerintah bersikeras mempertahankan posisi Letkol Teddy tanpa mengikuti aturan yang ada, maka ini akan membuka ruang bagi munculnya lebih banyak kasus serupa di masa depan. Keputusan ini akan menjadi preseden yang berbahaya bagi profesionalisme militer dan supremasi hukum di Indonesia.
Komitmen Reformasi yang Dipertaruhkan
Dua dekade lebih sejak reformasi, Indonesia masih terus berjuang. Untuk memastikan bahwa militer tetap berada dalam koridor yang sesuai dengan demokrasi. Polemik pengangkatan Letkol Teddy sebagai Seskab adalah ujian bagi konsistensi komitmen reformasi tersebut.
Jika kita ingin mempertahankan prinsip supremasi hukum, maka aturan yang ada harus ditegakkan. Tidak boleh ada kompromi dalam hal ini. Reformasi militer bukan sekadar jargon politik, tetapi fondasi utama bagi demokrasi yang sehat.
Negara hukum tidak boleh tunduk pada kepentingan sesaat. Profesionalisme TNI tidak boleh dikorbankan demi pragmatisme politik. Reformasi bukanlah sesuatu yang bisa dinegosiasikan.
Pemerintah harus segera mengambil sikap tegas. Sebelum ini menjadi awal dari kembalinya militer ke panggung politik secara lebih luas. (reformasi TNI). (han)