
Oleh: Prof. Dr. H. Yaya Mulyana Abdul Azis, M.Si, Wakil Direktur I Bidang Akademik Pascasarjana Unpas dan Ketua Litbang Paguyuban Pasundan (Budaya Korupsi Dalam Sistem Kapitalisme dam Demokrasi)
BANDUNG, WWW.PASJABAR.COM – Sungguh sangat ironis, ditengah kesulitan ekonomi, rakyat dipertontonkan dengan berbagai temuan mega korupsi yang mengiris hati, seperti korupsi Timah, BI, Jiwasraya, pagar laut, dan yang terkahir Pertamina sampai ribuan trilyun. Dan ini bukan akhir tapi seperti puncak gunung es, di bawahnya pasti lebih banyak lagi hanya belum terungkap saja. Dan lebih miris lagi, akhir dari kasus ini menguap tidak jelas atau sengaja di pending sehingga tidak heran jika korupsi di Indonesia tidak pernah tuntas karena bermain dengan aparat hukum dan backing politik.
(Budaya Korupsi)
Dalam dunia modern yang cair, sering kali masalah politik terbesar adalah ketidakcukupan perangkat yang kita miliki untuk memerangi kekacauan.” Zygmunt Bauman (1925 – 2017). Solusi atas kondisi ketidakpastian, kesendirian, serta ketakutan akan masa depan masyarakat, tidak lagi diketemukan dalam lembaga. ”Masyarakat pun tidak lagi dilindungi oleh negara; sendirian, mereka dihadapkan pada keserakahan kekuatan, yang tidak dapat dikontrolnya” (Bauman, 2006).
Dalam penafsiran lintas sejarah, liquid modernity itu pun akan menghasilkan ”manusia-manusia kerdil” (lihat Moh Hatta, Demokrasi Kita, 1960). Hampir dalam setiap pergantian selalu muncul berbagai pergolakan, entah akibat dari bentuk upaya nepotisme, pengaturan undang-undang, penyelewengan anggaran negara, dan banyak ”keganjilan-keganjilan” lain, tersamar atau kasat mata, yang semuanya merupakan akibat dari keserakahan.
Keserakahan Manusia kerdil
Kata pepatah Latin, Radix enim omnium malorum est cupiditas (Sebab, akar dari segala kejahatan adalah keserakahan)! Keserakahan merupakan hasrat untuk memiliki hal-hal material (harta) dan non-material (kekuasaan) lebih dan lebih banyak lagi. Sesungguhnya keserakahan itu adalah kekuatan impersonal yang merusak tata kehidupan bersama manusia (Mahamboro, 2013). Dalam bahasa teologi, kekuatan ini disebut sebagai ”si jahat” (Inggris: evil), ”iblis” (Yunani: diabolos), atau ”setan” (Yunani: satanas), yang oleh orang kebanyakan dibayangkan sebagai makhluk yang bisa berkomunikasi dengan manusia, dan menggodanya untuk melakukan hal-hal yang buruk.
Awalnya, keserakahan muncul dari tindakan individual. Namun, karena kodrat sosial manusia, keserakahan tersalurkan ke dalam aneka bentuk relasi antarmanusia sehingga akhirnya mewarnai struktur sosial. Corak seperti ini membuat keserakahan menjadi daya transpersonal, yang mendistorsi dunia sosial dan budaya masyarakat. Ia berubah menjadi kejahatan sosial dan kultural. Penjajahan, kolonialisme, segala bentuk ketidakadilan, dan penyalahgunaan kekuasaan (antara lain dalam bentuk nepotisme) adalah hasil keserakahan sebagai kejahatan sosial dan kultural. Untuk apa orang ingin berkuasa, kalau tidak ingin memiliki lebih dan lebih lagi? Kekuasaan hanyalah sarana aktualisasi keserakahan.
(Budaya Korupsi)
Keserakahan itu pun merembet ke mana-mana, dari tingkat paling bawah sampai ke tingkat paling atas. Di ruang publik, misalnya, orang tidak lagi malu-malu memosterkan seluruh keluarganya sebagai anggota legislatif, eksekutif, ataupun yudikatif. Perembetan kejahatan semacam keserakahan itu diungkapkan oleh tradisi Jawa sebagai kutukan: ”lengji lengbeh, celeng siji celeng kabeh”, artinya, ‘yang satu menjadi ‘celeng’, semuanya menjadi celeng’. Itulah roh keserakahan. Orang bilang, keserakahan tak pandang bulu. Ia ternyata juga bisa merasuki orang yang semula tampak alim dan baik.
Dengan merujuk pada konsep Bauman mengenai liquid modernity, masyarakat yang tak lagi dilindungi oleh negara (terutama dalam bidang nilai-nilai dan hukum), secara sendirian harus menghadapi keserakahan sebagai kekuatan yang tidak dapat . Itulah situasi masyarakat kita saat ini. Mungkin kita mudah menemukan contoh-contoh ketamakan atau keserakahan pada orang-orang yang terkena kasus korupsi. Pada umumnya, mereka bukan orang yang tidak punya uang. Justru karena mereka sudah punya uang banyak, mereka ingin menumpuk kekayaan lebih banyak lagi.
(Budaya Korupsi)
Menurut Mohammad Hatta (1902-1980), pendiri dan proklamator Republik, ”Suatu masa yang besar telah dilahirkan oleh abad, tetapi masa besar itu menemui manusia kerdil” (Moh Hatta, 1960). Hatta, yang mengutip kata-kata itu dari pujangga Jerman, Johann Christoph Friedrich von Schiller (1759-1805), merasakan kebenarannya, ketika di era tahun 1950-1955, di satu sisi, melihat perkembangan pembangunan Indonesia, dan di sisi lain juga melihat kemunculan politisi-politisi berpikiran praktis, yang suka melakukan politisasi (Belanda: verpolitiseering) di berbagai bidang kehidupan sosial (Feith, 2007).
“Manusia kerdil” menunjuk pada orang-orang yang masuk ke sistem demokrasi negara republik, tetapi mereka tak tahu, apa itu hakikat ”republik”, yang berarti ‘kepentingan umum‘ (res publica), bukan kepentingan sekelompok orang atau golongan, apalagi keluarga. Manusia kerdil tidak akan menjadi seorang pemimpin demokratis, kendati ia hidup di dalam negara republik yang demokratis. Meski lebih halus dari ungkapan ’celeng’, ’manusia kerdil’ yang muncul dari keserakahan itu, menunjuk pada fenomena yang sama: manusia yang ditaklukkan dan dikalahkan oleh ego dirinya sendiri; manusia yang tak kuasa memunculkan pijar-pijar keutamaan. Sampai hari ini, ternyata manusia-manusia kerdil masih memegang tampuk-tampuk kepemimpinan nasional. Lawan dari manusia kerdil adalah manusia utama, manusia berjiwa besar, manusia mulia, manusia bermartabat.
Korupsi, Kapitalisme dan Demokrasi
Dalam buku, Corruption, Capitalism and Dempcracy (1997), John Girling menjelaskan posisi teoritisnya mengenai hubungan antara korupsi, kapitalisme, dan demokrasi. Dengan merujuk pada tesis Lord Acton, “power tends to corrupt, and abosulte power corrupts absolutely” Girling menyatakan bahwa demokrasi sebenarnya dapat mengurangi kecenderungan terjadinya korupsi. Dalam kaitan dengan itu, korupsi terjadi karena juga didukung oleh prosedur-prosedur legal. Overlap yang terjadi antara kapitalisme dan demokrasi menyebabkan definisi mengenai apa yang publik dan privat menjadi kabur.
Penelitian di Asia Tenggara Girling menekankan tesisnya bahwa korupsi dihasilkan oleh benturan antara demokrasi dan kapitalisme. ‘Power corruption’ atau ‘korupsi kekuasaan,’ misalnya, terjadi akibat disalahgunakannya kepentingan publik untuk keuntungan yang bersifat privat.
(Budaya Korupsi)
Dalam hal ini, kapitalisme dan demokrasi memang memiliki raison de’etre yang berbeda satu sama lain. Raison d’être negara demokrasi adalah untuk melayani kepentingan publik, sementara basis dari kapitalisme adalah pengejaran keuntungan pribadi. Namun, keduanya harus bersekongkol untuk membuat sistem ini bekerja. Penetrasi kapitalisme, nilai-nilai pasar ke dalam sistem politik demokrasi menjadi kondisi yang kondusif bagi terjadinya korupsi. Kondisi tersebut membuat praktik politik uang, pembiayaan partai atau calon peserta Pemilu oleh perusahaan, dan tentu saja korupsi, menjadi tak bisa dihindari.
Girling mencontohkan, dalam pemilu misalnya, seseorang yang mengikuti pemilu dapat mengakumulasikan modal yang ia keluarkan ketika mengikuti pemilu, saat ia menduduki jabatan politik. Itulah yang terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia dan Filipina. Mahalnya biaya kontestasi elektoral sebagai salah satu penyebab potensial dari korupsi, juga terjadi di Amerika Serikat (AS).
Girling menggunakan analisis sosial, yang mana analisis tersebut menunjukkan bahwa demokrasi kapitalis merupakan kondisi yang kondusif bagi terciptanya korupsi secara sistemik. Di sini, Girling kembali menekankan pentingnya penyelesaian permasalahan korupsi secara sistemik, dan bukan institusional sebagaimana yang banyak diterapkan di berbagai negara dengan demokrasi prosedural, termasuk Indonesia. Argumentasinya, korupsi inheren dalam kekuasaan yang unchecked (p.22), sementara idea mengenai kekuasaan dalam demokrasi ditumpukan pada mekanisme check and balances.
(Budaya Korupsi)
Girling kembali menekankan tesisnya bahwa korupsi merupakan wajah yang tidak bisa diterima dari kapitalisme. Meskipun Girling memberikan tawaran solusi berupa demokrasi yang lebih substansial dan partisipastif dalam penyelesaian korupsi, titik tekan solusi seharusnya lebih ditekankan kepada kapitalisme sebagai parasit yang menghinggapi demokrasi.
Korupsi dimungkinkan dalam situasi dimana kontrol efektif atas keberlangsungan demokrasi sangat kurang. Kondisi tersebut hanya dimungkinkan ketika demokrasi dikuasai oleh kelas kapitalis yang menjadikan politik sebagai alat untuk terus memperbesar akumulasi kapital mereka.
Titik Nadir
Korupsi di Indonesia sudah sampai pada titik nadir. Korupsi di negeri ini begitu parah, mengakar, bahkan sudah membudaya. Praktik korupsi terjadi hampir di setiap lapisan birokrasi, baik legislatif, eksekutif maupun yudikatif serta telah pula menjalar ke dunia usaha. Korupsi tidak saja akan menggerus struktur kenegaraan secara perlahan, akan tetapi menghancurkan segenap sendi-sendi penting yang terdapat dalam Negara.
Hal itu, tercermin dalam indeks persepsi korupsi yang dikeluarkan beberapa lembaga survey, diantaranya Indeks Persepsi Korupsi (Corruption Perception Index) yang dikeluarkan oleh Transparancy International dan Politically and Economic Risk Consultancy (PERC), Survei yang dilakukan oleh Transparancy International menunjukan skor Indonesia sangat rendah dan tidak mengalami kenaikan signifikan sampai dengan tahun 2013 ini. PERC bahkan menempatkan Indonesia menjadi negara terkorup di Asia Pasifik. Bahkan mantan Presiden kita, Jokowi oleh OCCRP masuk nominsi presiden terkorup di dunia. Sungguh sangat ironis, kita membanggakan sebagai negara muslim terbesar di dunia tetapai korupsinya terbesar juga, para elite berlimpah ruah kemewahwan semnatara rakyat jelata sesangara. (han)